Saya masih merasa mengganjal dengan ceramah yang dilakukan Ustadz Khalid Basalamah yang menyebutkan perempuan hanya boleh bekerja sebagai perawat dan guru (baca: Ceramah Ustdadz Khalid, Perempuan hanya boleh di rumah saja.) Seandainya perempuan mengambil pekerjaan dibidang lainnya, ada banyak catatan yang dilakukan. Salah satunya, tidak berduaan di dalam mobil walaupun hanya dengan supir yang mengantarnya.
Di era yang semakin digital, interaksi manusia yang semakin banyak tidak bisa terelakan pertemuan antara perempuan dan laki-laki.
Misalkan, dalam pekerjaan yang dulu saya geluti, saya harus membuat janji dengan seorang narasumber di sebuah kafe untuk wawancana sedangkan kafe tersebut cukup sepi. Bahkan, saat ini saya sering menggunakan grab yang dimana di dalam mobil hanya saya dengan supir tersebut. Dan saya ternyata baik-baik saja. Supir yang mengantar saya sibuk mengendarai mobil dan saya juga sibuk di dalam mobil dengan pekerjaan saya. Jika menghindari hal tersebut untuk menghindari terjadi hal tidak menyenangkan pada perempuan, bagi saya ceramah ustad Basalamah kurang tepat.
Bagaimana jika seorang pemimpin perusahaan adalah seorang perempuan, haruskah anjuran dari Ustad Basalamah dihindari? Nampaknya, sangat kurang tepat dilaksakan. Apalagi mengingat pemerintah Indonesia, saat ini sedang meningkatkan partisipasi perempuan beberapa posisi dan pengambilan kebijakan. Salah satunya, dengan adanya kouta 30 persen perwakilan perempuan di politik.
Bahkan, Ustad Khalid Basalamah telah menampikan sejumlah peraturan yang telah dibuat oleh pemerintahan Indonesia. Gus Dur telah membuat Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender agar perspektif gender ini bisa masuk dalam segala pembangunan yang akan dilaksanakan di Indonesia. Bahkan, Gus Dur juga membuat sejumlah peraturan turunan untuk menginstitusionalisasikan perspektif gender dalam perencanaan, implementasi, monitoring evaluasi dan penganggaran, yang telah dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Permendagri No. 67 tahun 2011 tentang Perubahan Permendagri No. 15 tahun 2008, yakni tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah.
Bagaimana dengan keadaan dunia? Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Global Gender Gap Report 2020 mengatakan jika 11 negera maju ini memiliki tingkat partisipasi perempuan yang tinggi. Peringkat pertama diraih oleh Islandia, sebagai negara yang sudah mencapai kesetaraan gender secara optimal. Posisi kedua diraih Norwegia, kemudian disusul oleh Finlandia pada peringkat ketiga, Swedia meraih peringkat keempat, Nicaragua peringkat kelima, Peringkat keenam hingga kesepuluh diraih oleh New Zealand, Irlandia, Spanyol, Rwanda dan Jerman.
baca juga: ceramah Ustadz Khalid Basalamah dan bagaimana sebagai perempuan saya belajar darinya
Cara pandang Ustadz Basalamah akan memperburuk kondisi Indonesia yang mana dalam laporan yang sama mengatakan jika partisipasi kerja perempuan yang hanya mencapai 54 persen cenderung masih rendah jika dibandingkan laki-laki yang mencapai 83,9 persen.
Tak hanya itu, Indonesia juga masih harus berhadapan dengan isu kesenjangan distribusi pendapatan di mana pendapatan yang diperoleh pekerja perempuan hanya 7,8 persen, setengah dari yang didapatkan laki-laki sebesar 15,4 persen.
Bagaimana keadaan yang pada zaman Nabi Muhammad? Pada zaman tersebut, ada banyak perempuan yang bekerja dan memiliki keahlian tertentu. Misalkan, Zainab bin Jahsy Ra yang memiliki home industry, Zainab ats-Tsaqafiyah Ra dalam bidang yang sama, Qilah al-Anmariyah Ra berdagang pada umumnya, Malkah ats-Tsawafiyah Ra sebagai pedagang parfum, Sa’irah al-Asadiyah Ra sebagai penenun dan Ummu Ra’lah al-Qusyairiyah Ra sebagai perias wajah.
Bahkan, dalam beberapa hadist menyebutkan para perempuan pada zaman nabi biasa bekerja bebersih, berdagang dan pekerjaan lainnya yang lumrah dan berada di ruang publik. Bahkan, para perempuan juga biasa menyusui bayi orang lain (Shahih Muslim, no 6168), menggembala ternak (Shahih Bukhari, no 5559) dan para perempuan yang memainkan music pada saat nabi Muhammad SAW dan para sahabat dijamu makanan (Sunan al-Tirmidzi). Nampaknya, perlu banyak teks hadist yang menyebutkan partisipasi perempuan dan bekejasama dengan laki-laki di ruang publik.
Perlu dipahami jika perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi menjadi fitnah dan aurat, baik di ruang domestic dan public. Baiknya, ruang domestic dan public harus menjadi ruang bersama dan tanggungjawab bersama yang kebaikannya dan manfaatnya dirasakan bersama. Di mana Islam menggariskan mengenai kebersamaan dan tata karma yang positif. Serta menghindari hal-hal yang bias berakibat fitnah negatif.
Jadi, saya merasa kok ya Islam yang harusnya begitu memuliakan perempuan dan menghargai pilihan-pilihannya justru tampak sekali mundur ketika mendengar ceramah-ceramah. Atau mungkin saya saja yang–ehm–seperti yang kerap dibilang, terlalu mengandalkan perasaan? Ah tidak, perempuan dan laki-laki saja kok, yang membedakan cuma Iman dan Taqwa kita kepada Allah, bukan?