Tanpa ada faktor yang melatarbelakangi dan juga jejak sejarah, tiba-tiba publik Indonesia dikejutkan dengan munculnya Kerajaan Agung Sejagat. Melalui foto-foto yang beredar di media sosial terlihat bahwasanya orang yang mengaku dan mengklaim tersebut memang benar-benar serius. Tidak hanya dari kostum yang digunakan, peralatan tempur yang ditunjukkan, melainkan juga pasukan yang berbaris rapi menyambut kaisar dan ratunya. Simbol-simbol yang digunakan di wilayah rumah Chikmawan, perangkat desa yang berada di Desa Juru Tengah, Kecamatan Bayan Purworejo, juga menunjukkan keteguhan dari keseriusan tersebut. Dengan gagah berani, menggunakan pakaian layaknya Raja Thailand, Totok Santoso Hadiningrat mengaku sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang menguasai dunia.
Saat melihat foto-foto tersebut, tidak sedikit dari warganet yang heran bercampur geli ketika muncul kerajaan tersebut. Keheranan ini tentu saja merupakan bentuk pertanyaan, “Kenapa bisa hari gene orang bisa klaim memiliki kerajaan?” Jawaban yang diajukan biasanya juga sederhana dan penuh curiga; orang-orang itu mengidap halusinasi akut. Sementara itu, dalam kacamata hukum, mereka dianggap melanggar karena melakukan kebohongan publik dan penipuan ratusan orang.
Alasan ini yang membuat polisi setempat kemudian menangkapnya. Namun, jika memang itu bentuk penipuan dan akal-akalan, mengapa mengapa banyak orang percaya dan bersedia membayar uang 3 juta untuk menjadi abdi dalem dan bahkan ada warga yang bersedia menyediakan lahan rumahnya cukup besar untuk kerajaan tersebut?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak bisa hanya membangun asumsi bawah mereka orang-orang kecil yang bisa diperdaya begitu saja. Hal ini terlalu menggeneralisasi persoalan. Memang perlu ada riset yang lebih mendalam mengapa kerajaan itu bisa muncul dengan turun lapangan, wawancara, sekaligus memahami bagaimana konteks kerajaan itu bisa tiba- tiba muncul. Setidaknya mengetahui lebih jauh bagaimana mitos itu bekerja dan tumbuh di masyarakat dan kemudian menjadi kepercayaan primordial dan komunal di masyarakat menjadi bagian yang penting untuk didiskusikan.
Sebagaimana diketahui, laju modernitas dengan pembangunan dan akumulasi kekayaan yang hanya dinikmati dan dipegang oleh segelintir orang, membuat masyarakat yang mengalami proses pemiskinan dari kondisi struktural membuat diri mereka merasa kalah. Rasa kekalahan ini ditandai dengan kesulitan mencari pekerjaan, membayar listrik, membayar uang sekolah, dan mencukupi kehidupan sehari-hari mereka.
Di sisi lain, agama yang mereka yakini hanya mengajarkan untuk bersabar, bekerja keras, dan berdoa sebagai kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ironisnya, setiap hari, mereka disuguhkan oleh realitas korupsi yang dilakukan oleh elit politik sekaligus kemudahan orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk mendapatkan jabatan yang mereka inginkan. Selain melalui televisi, informasi yang muncul di media sosial dan grup-grup Whatsapp yang diikuti adalah konsumsi harian yang mereka dapatkan.
Jauh sebelum itu, mitos mengenai Ratu Adil dalam kebudayaan Jawa dan Imam Mahdi dalam Islam menjadi semacam prakondisi pengetahuan yang mereka miliki. Kehadiran Keraton Jogja yang masih memiliki kekuasaan penuh menciptakan semacam kekaguman bagi orang-orang kecil sekaligus kecemburuan dalam merefleksikan dirinya dengan membandingkan Keraton Jogja tersebut aset properti yang dimilikinya.
Dengan demikian, struktur sosial tersebut dan adanya prakondisi sebelumnya yang telah tumbuh dan hidup di masyarakat menjadi bekal bagi Totok Santoso untuk melakukan penipuan dengan membangun membangun dan mengembangkan mitos-mitos sebelumnya. Narasi mengenai mitos-mitos tersebut yang disampaikan dari mulut ke mulut membuat orang kemudian percaya.
Konteks inilah yang seringkali tidak dilihat sehingga menganggapnya sebagai bentuk hiburan bagi yang membaca informasi kemunculan kerajaan sejagat tersebut. Namun, mengapa cara pandang hiburan ini tidak digunakan saat melihat dinasti politik dan oligarki membangun imperium kerajaannya baik dengan menempatkan anak-anaknya ke dalam pemerintahan sekaligus memperkuat pundi-pundi uangnya melalui monopoli usaha dan pengebirian kebijakan? Apalagi struktur yang dipraktikkan itu sebenarnya sama.
Di sini, paradoks modernitas dalam melihat mitos yang menganggap bahwasanya kerajaan dalam bentuk oligarki dan dinasti politik sebagai semacam kewajaran. Kerja keras, rasionalitas, dan pembangunan dengan mengikuti denyut peradaban teknologi ini berjalan seakan menjadi bagian dari konsekuensi individu yang ingin hidup dalam gelombang tersebut. Padahal di balik itu; penindasan kepada mereka yang melawan karena tanahnya dirampas, mereka yang bersuara kritis karena menyuarakan ketidakadilan dengan hasil di penjara, kongkalikong dengan pembuat kebijakan untuk mempermulus akumulasi kapital melalui usahanya.
Akibatnya, ketika kita tidak bisa bersaing dalam arus keras tersebut dan adanya rasa tidak terima, dunia medis dan psikologis akan menyebutkannya sebagai hasil stress dan mengalami kesehatan mental. Salah satu penyembuhannya adalah relaksasi untuk meregangkan otot. Desa sebagai tempat di mana mitos-mitos primordial ini muncul justru jadi tempat pelarian dan obat terbaik.
Padahal, terlepas dari niatnya raja tersebut untuk melakukan penipuan, klaim kerajaan yang menguasai seluruh dunia ini dengan membangun referensi Majapahit sebelumnya adalah bentuk pelarian dari ketidakmampuannya bersaing dengan modernitas yang ini dialami juga dengan kondisi yang berbeda dengan masyarakat urban. Dari aspek ini, orang-orang desa akan mentertawai masyarkat urban yang seringkali mau diperbudak oleh pekerjaan dan uang. Semakin mereka bekerja keras untuk sebuah perusahaan justru semakin mereka menambah pundi-pundi kekayaan para oligarki dan kapitalisme.
Ironisnya, kondisi ini dianggap sebagai sebuah kewajaran dan menjadi bagian kehidupan masyarakat urban, termasuk saya, bukan merupakan sebuah kesalahan struktural dari sistem yang tidak adil.