“Untuk memasuki dunia sufi, seseorang harus terlebih dahulu mejadi ‘Ibu’, termasuk mereka yang secara kodrati telah terlahir sebagai perempuan.”
Demikian wejangan seorang Syaikh kepada salik yang hendak menempuh jalan-Nya. Jelas sekali ungkapan tersebut menyiratkan pesan bahwa seorang laki-laki juga mesti menjadi ‘ibu’ ketika hendak memasuki dunia sufi, dan di sisi lain secara tidak langsung juga mengafirmasi bahwa tidak semua perempuan otomatis adalah seorang ibu.
Di Indonesia, ihwal laki-laki yang menjadi ‘Ibu’ bahkan telah diabadikan dalam kisah pewayangan yang tidak hanya dijadikan tontonan, tetapi telah menjadi tuntunan. Khususnya tuntunan bagi mereka yang melakukan suluk, yaitu orang-orang yang menempuh laku sufistik; melakukan penempuhan di jalan Allah dengan cara berusaha terus menerus untuk membersihkan pelbagai kotoran batin di dalam diri. Ya, Lakon Dewa Ruci dalam pewayangan Jawa yang diyakini oleh sebagian orang merupakan gubahan Sunan Kalijaga, jelas sekali menunjukkan kesesuaian dengan ungkapan Syaikh di atas.
Kisah Werkudara bertemu Dewa Ruci
Lakon Dewa Ruci dimulai dari kegelisahan Werkudara, ksatria kedua dari Pandawa Lima. Dia masyghul mengamati hidup dan kehidupan yang disaksikan dan dialaminya sendiri. Kegelisahannya itu ia ungkapkan kepada Begawan Durna, gurunya. Pada era sekarang, Durna adalah tipikal pemuka agama atau Kyai yang terjun dalam politik praktis, dan hidup dari aktivitas berpolitiknya. Dimana secara diametral berbeda dengan tokoh agama seperti Mbah Mun Sarang (KH Maimun Zubair), misalnya. Yaitu Kyai yang terjun dalam kancah politik untuk memberi warna bahkan menghidupkan politik dengan ruh kekyaiannya.
Karena kegelisahan Werkudara terjadi menjelang Perang Baratayudha, maka naluri Durna yang berpihak pada Kurawa pun bereaksi dengan sendirinya. Mula-mula Werkudara hendak dicelakakan dengan disuruh mencari apa yang diistilahkannya sebagai kayu gung susuhing angin yang terdapat di puncak Gunung Candramuka. Namun karena tipu dayanya tidak berhasil, lalu disuruhnya Werkudara untuk menemukan tirta pawitra alias air kehidupan yang berada di dasar samudra minangkalbu. Padahal samudra minangkalbu itu dikuasai oleh seekor naga raksasa yang sangat ganas.
Berbekal tekad yang kuat dan prasangka baik terhadap apa dan siapa saja, termasuk kepada Durna, gurunya, Werkudara bergeming untuk mendapatkan tirta pawitra. Bahkan naga ganas penguasa samudra minangkalbu pun berhasil ditaklukkannya. Dengan tabah dan tak kenal menyerah, Werkudara terus menyelam sampai ke dasar samudra terdalam hingga bertemulah dia dengan sosok Dewa Ruci.
Seorang dewa yang dilukiskankan hanya memiliki tubuh sebesar jari kelingking kanak-kanak, dan wajahnya selalu menyerupai siapa saja yang menatapnya. Namun Dewa Ruci memiliki rahim yang maha luas, yang dapat memuat apa saja. Berikut ini adalah suasana pertemuan dan contoh dialog singkat antara Werkudara dan Dewa Ruci dalam pagelaran wayang Jawa.
“Hai anak kecil mungil yang menyerupaiku, siapakah engkau?,” tanya Werkudara.
“Aku Dewa Ruci. Ada keperluan apakah kamu wahai Werkudara? Mengapa kamu sampai berpayah-payah hingga ke kediamanku ini?”
“Aku mencari tirta pawitra.”
“Wekudara, mestinya kamu tak perlu jauh-jauh mencarinya. Tirta pawitra itu air suci yang berada dalam hatimu sendiri. Dalam hatimu yang suci, yang tidak dikuasai oleh nafsu, di situlah tirta pawitra berada. Sedang wujudnya adalah aku, Dewa Ruci, jatidirimu sendiri.”
“Waduh, sebenarnya bagaimana ini?”
“Werkudara, ketika kamu masuk ke samudra ini, diterjang ombak dan diserang naga yang menguasainya dan kamu selamat, itu adalah tanda bahwa kamu sudah bisa mengendalikan hawa nafsumu. Apakah kamu tidak merasakannya?”
“Waduh, Dewa Ruci dewaku! Aku jadi bingung sendiri. Aku sampai sini karena mengikuti petunjuk Ramanda Guruku, Begawan Durna. Mohon jelaskan saja padaku tentang jalan menuju kesempurnaan dan kebahagiaan hidup sebagaimana yang disampaikannya padaku, agar aku bisa terlepas dari kerisauan di dalam memikirkan dan menjalani hidup di dunia.”
“Baiklah Werkudara, kululuskan permintaanmu. Sekarang juga, masuklah kamu ke dalam rahimku. Jika tekadmu kuat, mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala mengabulkannya.”
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, Werkudara masuk ke dalam rahim Dewa Ruci. Di dalam rahim itu, tempat dimana setiap bayi mengawali proses untuk menjadi, Werkudara merasa sedemikian dekat sekaligus jauh dengan Sang Mahasuci. Sangat dekat namun tidak sampai bersentuhan, dan terasa jauh tapi tak berjarak. Seketika, Werkudara pun merasakan kenyamanan yang luar biasa. “Wah, sungguh tenteram hatiku berada di tempat yang luas tak berbatas ini, tenteram tanpa kesedihan.”
“Werkudara, kamu sudah berhasil menyingkap tabir untuk dekat dengan Sang Mahasuci. Kamu tak perlu lagi terkejut dengan beragam cahaya yang beraneka warna yang saat ini bersamamu.”
“Wah, bahagianya hatiku, izinkanlah aku untuk berdiam di sini selama-lamanya, wahai Dewa Ruci dewaku!”
“Jangan Anakku, belum saatnya kamu berdiam selamanya di situ!”
“Mengapa, wahai Dewa Ruci dewaku?”
“Ketahuilah, pertama masih ada tugas yang harus kamu selesaikan. Kedua, ibarat orang makan, kamu baru mencicipinya. Kelak, kalau sudah tiba waktunya, kamu akan mendapatkan ketentraman yang kekal. Maka keluarlah segera dari dalam rahimku, wahai Werkudara!”
Begitu Werkudara keluar, Dewa Ruci yang serta-merta menyatu ke dalam tubuhnya tak lagi dapat terlihat oleh pandangan mata. Werkudara, Sang Bima Suci, pun kembali menjalankan tugas kehidupan sehari-harinya di dunia. Ia tetap menjadi murid Begawan Durna, menjadi suami dan ayah yang semakin baik bagi istri dan anak-anaknya, serta kian bertanggung jawab kepada lingkungan sekitarnya. Demikianlah akhir kisah Dewa Ruci dalam pewayangan Jawa. []