Melihat foto Jia Xi berseliweran di beranda medsos rasanya sesak sekali. Ingatan saya melayang pada brutalitas aparat keamanan dalam negeri. Tujuan mereka sama, membungkam suara kritis. Suara-suara yang enggan tunduk pada kesewenang-wenangan.
Deng Jia Xi adalah mahasiswi berusia 19 tahun yang melakukan aksi untuk menentang kudeta di Myanmar. Ia tertembak di bagian kepala. Saat meninggal, Jia Xi mengenakan kaos hitam bertuliskan “EVERYTHING WILL BE OK” dan meninggalkan pesan supaya organnya kelak didonasikan. Sebuah kebaikan bertubi-tubi yang sulit dilupakan.
Semangat menegakkan demokrasi dalam jiwa-jiwa pemuda adalah bara yang berharga. Keberanian untuk menghadapi aparat bersenjata adalah pertaruhan yang bisa ditukar nyawa kapan saja. Jia Xi tahu itu, dan dia melakukannya. Ia mati demi menghendaki kehidupan yang lebih baik. Kehidupan untuknya, keluarganya, atau anak-cucunya kelak. Ia memperjuangkan haknya sebagai warga yang bebas mengutarakan pendapatnya, termasuk kehendak untuk memilih siapa pemimpinnya.
Masalahnya, pihak oposisi dan militer Myanmar tidak memberi kesempatan itu semua. Mereka adalah pembungkam ulung. Kelompok ini bahkan tak membiarkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang menang pemilu untuk memimpin. Partai pimpinan Aung San Suu Kyi itu dianggap melakukan kecurangan, meski Komisi Pemilihan mengatakan tak ada bukti atas klaim tersebut. Itulah dalih yang menjadi latar belakang kudeta pada 1 Februari lalu.
Kini pemerintahan Myanmar diambil alih oleh jenderal militer Min Aung Hlaing, panglima tertinggi sekaligus politisi yang berpengaruh. Riwayatnya cukup “berdarah” sebagaimana pimpinan junta militer pada umumya. Ia adalah orang yang bertanggungjawab atas pembantaian dan pengusiran etnis Rohingya oleh tentara pada 2017.
Kita tahu, belakangan ini situasi di Myanmar memang semakin memanas. Banyak korban jiwa berjatuhan. Sampai hari ini sudah lebih dari lima puluh orang yang meninggal akibat protes antikudeta. Arogansi polisi di lapangan sulit dibendung. Jangankan mau bicara soal hak asasi manusia, saya kira satu-satunya entri yang mereka miliki dalam kamusnya hanyalah kekerasan.
Tapi semua sudah terjadi. Demokrasi yang kemarin sempat hidup, kini telah mati suri. Aung San Suu Kyi yang selama ini dikenal sebagai pembela demokrasi nomor satu di Myanmar kembali menjadi tahanan rumah. Sama seperti sebelumnya. Perjuangan Deng Jia Xi dan semua rakyat Myanmar yang turun ke jalan adalah upaya mahal untuk mencegah demokrasi benar-benar mati selamanya.
Di sini lain, media sosial kini menjadi alat yang cepat mengabarkan kondisi terbaru dalam huru-hara berlarut-larut tersebut. Dunia internasional juga mulai banyak yang mengecam, termasuk Indonesia sendiri. Meski harus diakui Indonesia seperti tak punya malu memberi wejangan soal represi yang dilakukan aparat Myanmar, mengingat kita punya banyak catatan merah terkait kekerasan aparat kepada warga sipil. Tapi bukan berarti kita harus diam.
Soal ini, saya teringat dengan perseteruan antara Filipina dan Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Tepatnya ketika Presiden Filipina Rodrigo Duterte mulai menjadi sorotan karena kerasnya menindak para bandar dan pengedar narkoba hingga menewaskan banyak orang. Ia hanya bergeming, bahkan memaki Presiden Obama dan Amerika Serikat (AS) yang mengecamnya terkait hak asasi manusia (HAM). Ia sadar bahwa AS juga punya banyak borok HAM atas invasinya ke negara-negara lain.
Saya kira apa yang dilakukan Indonesia dan AS sudah sepatutnya. Dukungan pada kemanusiaan, demokrasi, dan penolakan pada segala bentuk kekerasan harus disuarakan oleh siapa pun. Terlepas Indonesia dan AS masih punya PR besar terkait hal yang sama, itu persoalan lain. Kita bisa menyelesaikannya sambil jalan. Sebab komitmen itulah yang akan menjadi dasar bagi kebijakan atas penyelesaian masalah. Komitmen itu pula yang tak dimiliki Myanmar. Jangankan itikad untuk berdialog, para elite Myanmar bahkan mengancam akan melakukan “tindakan efektif” jika rakyat sipil terus melawan.
Militer Myanmar juga telah siap menghadapi sanksi dan isolasi internasional pada negaranya. Sepertinya mereka sudah tak peduli lagi perihal demokrasi. Rasanya sulit bagi mereka melepas kenikmatan otoritarianisme yang dulu sempat mencengkram Myanmar berpuluh-puluh tahun.
Pers, pilar keempat demokrasi itu tidak digubris. Kemarin militer menangkap enam jurnalis Myanmar hanya karena meliput protes antikudeta. Para wartawan ditahan dengan tuduhan menyebabkan ketakutan, menyebar berita palsu, dan menyulut amarah pegawai pemerintah. Tidak ada lagi kebebasan pers. Hukum hanya jadi pernak-pernik indah pelengkap formalitas negara. Kebenaran dimonopoli oleh penguasa. Ini adalah sesuatu yang sama bahayanya seperti UU ITE di Indonesia. Hanya beda bentuk dan pengaplikasiannya saja.
Saya sebenarnya juga tidak terlalu suka dengan Aung San Suu Kyi. Sejak menang pemilu tahun 2015, ia juga ikut bertanggungjawab atas pembantaian dan pengusiran etnis Rohingya bersama Min Aung Hlaing dan Ashin Wirathu, pemimpin biksu yang mendapat julukan “the face of buddhist terror” oleh Majalah TIME. Saya sepakat dengan pencabutan hadiah Nobel Perdamaian yang diterima Suu Kyi pada 1991. Tapi bagaimanapun kita harus menghormati proses demokrasi yang berlangsung. Terpilihnya Win Myint sebagai Presiden Myanmar dan Suu Kyi sebagai pemimpin de facto adalah hasil dari pilihan rakyat Myanmar sendiri.
Melakukan aksi protes di tengah pandemi bukan hal yang mudah. Apalagi melawan segerombolan orang berseragam yang menenteng senjata lengkap. Sedangkan warga sipil hanya bermodal batu, helm, dan botol Cola sebagai alat perlawanan. Bagi warga Myanmar hari ini, bahkan lebih sulit membedakan mana yang lebih mematikan antara Covid-19 atau junta militer yang mencoba kembali mencengkram leher mereka.
Kita perlu terus menyuarakan, atau minimal berpihak pada hak mereka. Entah itu hak-hak warga sipil Myanmar hari ini, hak warga Thailand yang dikekang pemerintahan monarki absolut berjubah monarki konstitusional itu, hak warga Hong Kong yang direpresi otoritarianisme negaranya, atau bahkan hak kita sendiri yang tak kalah tercekiknya dengan negara-negara Asia lainnya.
Bahwa kesewenang-wenangan tidak bisa dibenarkan. Bahwa hukum yang hanya berpihak pada elite penguasa adalah omong kosong yang tak perlu. Bahwa kekerasan harus dihentikan. Bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Dan bahwa di bawah bendera kemanusiaan, pelanggaran atas hak-hak itu semua adalah bentuk kejahatan yang mutlak.