Kulub dan Kia tiba di Kebun Binatang Ragunan. Setelah masuk lewat pintu utara 3, mereka sampai di kandang gajah. Meski tak berpagar, ada lubang seperti sungai kering yang memisahkan gajah dengan para pengunjung.
“Kamu nggak kasihan dengan binatang-binatang itu? Seharusnya mereka hidup bebas di hutan atau alam liar?” Tanya Kulub. Kia menjawab pertanyaan Kulub tentang kasihan, bak diplomat ulung; “Kalau Kakak melihatnya dengan sudut pandang itu, tentu saja kasihan. Tapi, kalau dengan perspektif lain, seperti menjaga kelestarian hewan, ilmu pengetahuan dan penelitian, dan pandangan-pandangan positif yang lain, gimana?” Kulub terdiam.
“Tapi, kok di sini gak ada cebong atau kampret ya? Padahal cebong ama kampret lagi viral di media sosial!?” seloroh Kulub.
“Udah deh, Kak. Gak usah mempolitisir hiburan ini ah.”
Kulub tertawa. “Eh, tapi ini perlu dipertimbangkan oleh pengelola dan pengurus Kebun Binatang ini. Keduanya menjadi semacam hiburan loh. Semacam dagelan di dunia perpolitikan Indonesia,” ucapnya yang kemudian menjelaskan tentang bagaimana kedua kubu pendukung capres menggunakan akal pikiran dan perspektifnya masing-masing untuk meraih simpati masyarakat. Tentu saja dengan tujuan memilih capres dan cawapres yang didukung.
Kulub teringat dengan Demokrasi Binatang yang pernah ditulis Kuntowijoyo dengan judul Demokrasi Gajah, Demokrasi Kuda, dan Demokrasi Anjing. Esai tersebut ia temui di buku Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, terbitan mizan, Bandung, tahun 2002.
Kuntowijoyo menulis gajah dalam sirkus: sudah ada target yang ditentukan oleh pelatihnya, dan pelatih selalu memberi hadiah kepada gajah ketika berhasil melakukan sesuatu yang diperintah. Kuntowijoyo menghubungkan hal tersebut dengan demokrasi. “Bila demokrasi sudah ditargetkan seperti itu namanya masyarakat tertutup. Dan itu bertentangan dengan demokrasi itu sendiri,” jelasnya.
Pemberian hadiah dapat diartikan sebagai upah yang diberikan atas kepatuhan menjalankan perintah dari pelatih (baca penguasa). Kesimpulannya ialah demokrasi gajah bukanlah demokrasi yang sebenarnya. Kulub pun teringat dengan istilah sepak bola gajah yang segalanya sudah diatur sebelumnya. Terutama tentang hasil dan skor pertandingan.
Selain demokrasi gajah, Kuntowijoyo pun mengungkap tentang demokrasi kuda. “Mengatur orang tak ubahnya seperti mengatur dan mengendalikan kuda. Kita harus menyatu dengan kuda; kalau kuda ingin merumput, kita harus tahu. Kuda itu kita anggap saudara kita. Kuda itu tahu. Akan tetapi, siapa yang menentukan arah kemana kuda harus menuju? Ya, tentu saja penunggangnya,” ungkapnya.
Setidaknya ada dua hal; Pertama, yang menentukan arah, tetap penunggangnya. Kedua, kuda itu tetap menjadi kuda tunggang, tidak bebas seperti kuda liar. Satu-satunya keuntungan bagi kuda adalah ia terbebas dari gangguan satwa liar, seperti harimau.
Tak ketinggalan, Kuntowijoyo menyebut pula demokrasi anjing. “Menghubungkan anjing dengan demokrasi tidaklah sulit,” tegasnya. “Seperti diketahui, anjing butuh jalan-jalan. Dalam hal ini, yang empunya anjing terpaksa menurut. Jadi, seolah-olah anjing berada di atas angin. Akan tetapi, anjing itu tetap dimiliki. Dan jangan lupa anjing itu harus pulang ke rumah tuannya,” tambahnya tentang demokrasi anjing.
Kulub pun tak ketinggalan. Dalam diamnya sambil melihat Kia yang masih sibuk mengambil gambar burung-burung, keisengan di otaknya membisiki: demokrasi ala cebong dan kampret, mungkinkah?
Sayangnya, Kulub urung menghubungkan demokrasi dengan cebong dan kampret. Karena ia melihat, cebong dan kampret hanya istilah negatif yang seharusnya tidak ada. Sebab, pendukung dua capres dan cawapres yang ada semuanya manusia. Terlebih teman-temannya sendiri. Kulub terbayang wajah teman-temannya yang saling adu argument. Lalu menyayangkan ketika kata cebong dan kampret terlontar dalam adu gagasan dan argument tersebut. Dan Tiba-tiba ia teringat Gusdur yang mengatakan: “yang kebih penting politik adalah kemanusiaan”.
“Ya, bagaimanapun mereka adalah manusia. Toh kalaupun kelakuan mereka seperti cebong atau kampret seperti yang dilontarkan masing-masing kubu, sepertinya tidak etis dan tidak bermoral jika sebutan itu terus terlontar. Cebong tetaplah cebong. Kampret tetaplah kampret. Manusia tetaplah manusia, walau kelakuan terkadang seperti binatang, bahkan lebih buruk,” pikir Kulub.
Jika Kuntowijoyo menyebut demokrasi dengan nama-nama binatang, itu lebih kepada gambaran tentang bagaimana demokrasi dilaksanakan. Dan di akhir tulisannya pun ditegaskan tentang demokrasi pancasila yang mesti terus dijaga. Ya, Kuntowijoyo lebih menekankan pada bagaimana bukan siapa pelakunya. Walau ujung-ujungnya, itu akan mengarah pada pelakunya, pada siapanya (Bersambung)