Suatu malam, saya terhenti dan tercenung di hadapan ayat 17 dari surat Luqman ini: “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan serulah (manusia) untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan cegahlah (manusia) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk ke dalam hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Swt).”
Clue-nya adalah setelah menderaikan perintah menjalankan shalat, dihamparlah perintah kedua, yakni amar ma’ruf nahi munkar atau berdakwah atau berceramah.
Saya merenung, mengapa amanat dakwah ini didudukkan di belakang shalat, ya?
Tentu saya tidak hanya ingin mengatakan bahwa menjalankan shalat lebih utama dan lebih besar dibanding amal berdakwah. Saya cenderung untuk menuai pemahaman bahwa karena di antara hikmah shalat adalah mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, maka sungguh rasional sekali bila gerakan dakwah yang dujalankan siapa pun dan dalam bentuk apa pun semestinya selalu berada di dalam bingkai hikmah shalat tersebut. Yakni tercegah dari perbuatan keji dan mungkar –yang dalam bahasa umum ialah selarasnya diri dengan nilai-nilai etika kemanusiaan universal.
Sifat dakwah begini klop betul dengan ajaran dakwah di dalam surat an-Nahl ayat 125 yang mengerucut pada “hikmah” (cinta) –saya telah menjabarkan dengan luas peta dakwah dan asas hikmah ini dalam buku Beginilah Islamku.
Itu artinya, orang yang berdakwah dengan menggunakan cara-cara tidak etis ataupun mendampakkan hal-hal yang memicu keresahan dan kegelisahan liyan dan masyarakat, dapat dikatakan ia belumlah “selesai” dengan hikmah shalatnya sendiri. Bila belum selesai dengan dirinya, bagaimana gegabahnya untuk menuturi orang lain, bukan?
Secara lahiriah, boleh jadi ia tampak sebagai ahli shalat, bahkan segala shalat sunnah pula. Tetapi jika hikmah shalat kepada persona personalnya untuk “membuatnya tercegah dari perbuatan keji dan mungkar” belum menyublim ke dalam hatinya, pikirannya, serta tak memancar dalam seluruh gerak-geriknya, maka wajar sekali jika darinya pulalah berpotensi menguarkan ungkapan-ungkapan tidak etis, tidak humanis, tidak ihsan, dan tidak berakhlak karimah, saat mensyiarkan dakwah Islamiyah.
Maka, maaf kata, para pendakwah yang masih terlolos darinya sikap dan ucapan negatif begitu rupa, walaupun intens merujukkan materinya kepada ayat dan hadis, seyogianya jangan berceramah dululah, tetapi berkhidmatlah dulu kepada lelaku shalatnya yang sangat personal beserta samudra hikmahnya.
Kita pun mengerti secara umum bahwa gerakan dakwah sungguh bukan semata soal mekanisme transfer dalil dan ilmu (pemahaman pengkhutbah dan sederet rujukannya), melainkan sekaligus “transfer cahaya rohani”. Untuk bisa memancarkan cahaya-cahaya kemakrufan, sudah pasti si sumber cahaya ini harusnya memang telah benar-benar bercahaya makruf pada dirinya sendiri. Bukan cahaya yang dibuat-buat, lipstik, artifisial, klambi sandangan belaka. Dan cahaya makruf itu sudah tentu bersumber kepada hati yang takut kepada Allah Swt dalam segala keadaan, tulus, lillahi ta’ala, dan sepenuhnya cinta kepada Rasulullah Saw yang terpresentasikan kepada cintanya kepada sesama.
Berikutnya, diterangkan “bersabarlah”, ia bisa koheren pula dengan situasi saat belum merasuknya nilai-nilai dakwah yang kita jalankan, maka sikap kita tidak boleh selain-lainnya kecuali bersabar saja dan menyerahkan urusan berikutnya kepada Wewenang Allah Swt semata. Begitupun kepada segala hal yang terjadi kepada kehidupan kita yang notabene mesti selalu dipandang sebagai KehendakNya, TakdirNya.
Sampai di sini saja, dengan sesederhana ini, teranglah kiranya betapa pengarungan kita dalam bertauhid dan bertakwa seyogianya semata membuahkan ilmu hikmah ke dalam diri kita, hati kita, pikiran kita, serta segala sikap kita. Esensi hikmah ini adalah keihsanan. Yakni, di satu sisi kepada diri sendiri, kepatuhan hakiki untuk beribadah kepadaNya seolah-olah melihatNya dan jika tidak hendaknya diyakini benar bahwa Allah Swt senantiasa menyaksikannya, dan sisi lain ke luar diri, dengan wujud semata welas asih dan kasih sayang kepada semua manusia, semua makhlukNya.
Jika hati kita selalu berada dalam rengkuhan keyakinan yang mantap bahwa Allah Swt senantiasa menyaksikan seluruh ucapan dan perbuatan kita, bagaimana mungkin kita akan berani bermaksiat kepadaNya, berpura-pura adiluhung hati kita di hadapan Mata MutlakNya, baik dalam urusan peribadatan maupun relasi sosial? Tentu mustahil.
Ketika surat Luqman ayat 18 dan 19 menegaskan lebih lanjut jangan berbuat sombong dan angkuh kepada siapa pun, bukankah hati yang selalu meyakini disaksikan oleh Allah Swt takkan punya nyali berani melanggar ketentuanNya tersebut?
Ilustrasi yang dipakai, “jangan memalingkan muka dari manusia (dengan perasaan sombong)”, menisbatkan pemahaman bahwa otomatis tanpa syak seluruh ucapan dan perbuatan yang menyebabkan hati orang lain tersinggung atau tersakiti merupakan pantangan untuk dilakukan oleh hati yang takut kepadaNya.
Kini pikirkan hal sebaliknya, jika ada seseorang yang ahli shalat, tetapi enteng betul melecehkan dan menghina orang lain yang belum seistiqamah dirinya dalam beribadah, mungkin dengan tudingan ahli maksiat, sesat, dan kafir, di sisi manakah hal itu ada koherensi sahihnya dengan keterangan di atas? Jelas tak ada.
Itu artinya, begini yang mesti kita renungkan dengan mendalam kemudian, kita rupanya belumlah “selesai” dengan hikmah shalat itu, sebagai sebuah fardhu ‘ain yang disebutkan dalam sebuah hadis sahih sebagai “amal yang pertama kali dihisab kelak dan jika baik shalatnya maka baiklah seluruh amalnya dan jika buruk shalatnya buruk pulalah seluruh amalnya”.
Seyogianya, intensif bermuhasabah diri telah cukup untuk selalu kita jadikan jalan permenungan mendalam perihal bagaimana kira-kira derajat rohani dan takwa diri di hadapanNya.
Clue yang kiranya penting kita jadikan titik muhasabah ialah “jika akhlak kita masih saja dinodai ucapan dan sikap negatif kepada orang lain akibat masih bertahtanya kesombongan dalam hati (seperti merasa diri telah ahli ibadah, ahli ilmu, dan sebagainya), itu isyarat nyata bagi masih bermasalahnya amal shalat kita; jika shalat kita pun yang sangat personal masihlah mengidap masalah, dapat dipastikan bahwa seluruh amal kita, termasuk syiar dakwah kita di ruang publik, sejatinya juga masih penuh dengan masalah.
Apakah kita akan berani menghadap Allah Swt dengan kondisi rohani personal bermasalah begitu dengan terus memaksakan diri bersyiar kepada publik?”
Kiranya lebih arif untuk menahan diri dari berceramah di ruang publik dulu jika begitulah situasi diri ini. Minim-minim, masalah diri kita takkan termuntahkan ke lantai publik dan menambah sederet madharat yang jelas-jelas dibenci-Nya.
Wallahu a’lam bish shawab.