Saya punya adek di kampus, orang-orang bilang adek ketemu gede. Dia perempuan berpakaian gamis, sebelas-dua belas dengan mukenah, yang kira-kira kalau dilihat kaum adam pengen buru-buru jadi imam. Imam dalam rumah tangganya, mkaksudnya. Kalau kata Abdur Arsyad (komika) dia tipikal perempuan yang seperti sajadah; bersamanya kita mau beribadah.
Akun media sosial adek itu sesuai standar muslimah unyu-unyu jaman now; screenshot ayat, captionnya memakai dalil dan tentu saja sesuatu tentang menjaga diri demi mendapatkan imam yang baik yang terinspirasi dari buku ‘imam besar’ (tidak sopan sebut nama) muslimah millenial.
Saya tidak ada masalah dengan itu, proses orang mencari keberkahan dalam hidup beranekaragam, tapi ketimbang menjadi muslimah yang menye-menye dan unyu-unyu, yang sisa usianya hanya untuk mengabdi kepada suami dan urusan domestik rumah, ya mbok dipikir juga masyarakat dan umat milenial jaman now.
Sekali waktu muslimah milenial perlu mengkaji tentang diri Khadijah binti Khuwaylid, istri Rasulullah. Beliau seorang saudagar, tokoh masyarakat dan perempuan strong, yang tidak berpangku tangan terhadap suami saja. Di awal dakwah nabi, Khadijah melimpahkan hartanya untuk membantu mensukseskan dakwah nabi. Belum lagi istri nabi Aisyah yang merupakan salah satu cendekiawan Islam bidang ilmu fikih dan beberapa kali di dalam peperangan, Aisyah yang bergelar Ummul Mukminin turut mengangkat senjata.
Sejarah dan kiprah kedua istri nabi adalah sesuatu yang perlu diperhatikan muslimah unyu-unyu jaman now. Mereka bukanlah perempuan yang kesibukannya bukan hanya wilayah domestik –mengurus suami serta mendidik anak– tapi juga aktif di ruang-ruang publik. Lalu selayaknya juga, perempuan memperhatikan perjuangan emansipasi perempuan yang dilakukan zaman nabi. Tapi itu haram bagi perempuan? Kata siapa? Itu sah! Secara agama dan secara konstitusional.
Sebuah ucapan bijak mengatakan ‘Perempuan adalah pilar sebuah bangsa. Jika pilarnya kuat, maka bangsanya akan kuat. Apabila perempuannya lemah, maka bangsa itu pun akan lemah,’ sebaiknya ucapan ini tidak dipahami kekuatan perempuan/muslimah pada akhlak dan moral semata. Tidak sesempit itu. Hal ini tentang kualitas sepenuhnya; fisik, psikis dan kontribusi pada masyarakat.
Baik, perempuan dan laki-laki posisinya sama di mata Tuhan dan sebagai manusia. Kedua gender ini memiliki kesempatan yang sama untuk membangun peradaban dunia dan Islam yang lebih baik.
Saya secara pribadi, merindukan muslimah semacam Malala dan Kartini datang kembali. Mereka kuat tidak merasa dirinya lebih rendah pada sesama, dalam hal ini pria. Lalu bagaimana dengan sebuah ayat yang berbunyi arrijalu qawwamuna ‘alan nisa (Annisa 34)? Penulis punya pandangan berbeda. Tanpa merasa sebagai penafsir profesional, tapi saya lebih suka bertanya; apakah kata rijal (pria) dan nisa (perempuan) dipahami sebagai bentuk fisik ataukah psikis?
Jika lelaki memang lebih baik dari perempuan, tentu kurang terkesan bahwa ayat ini seakan mendeskriditkan salah satu gender. Bukankah di zaman ini kedudukan perempuan dan pria dalam berbagai posisi sama, baik dalam tataran sosio-kultural dan urusan domestik.
Bagaimana kalau pria dan perempuan dalam ayat itu dimaknai sebagai majas, bahwa pria yang dimaksud karakter maskulin dan perempuan itu adalah feminin, bukankah terkadang disekitar kita banyak perempuan yang lebih maskulin dan gantle daripada pria yang pura-pura sakit karena terkena kasus? Ah sudahlah.
Tentu saja, Islam fi kulli zaman wa makan, namun penafsiran al Qur’an juga harus tidak melihat teks melulu, tetapi juga aspek kontekstualisasi zaman. Dan urusan dalam hidup ini bukan hanya untuk soal berkembang biak, tetapi bermanfaat pada sesama; sebaik-baik manusia yang bermanfaat kepada sesama, begitu sabda nabi.
Entah itu manusia sebagai bentuk pria dan perempuan, semua sama yang membedakan kontribusi pada kehidupan (amal ibadah). Wallahu ‘alam bishowab.