Sekitar bulan Juli seperti saat ini, sejumlah mahasiswa baru tengah asik memasuki dunia baru, yakni dunia perguruan tinggi. Selama beberapa tahun ke depan, para mahasiswa ini akan menghabiskan waktu dengan melakukan aktivitas akademik, berorganisasi baik organisasi baik yang terafiliasi dengan institusi perguruan tinggi langsung (intra-kampus) atau atau organisasi yang tidak terafiliasi pada institusi kampus langsung (ekstra-kampus).
Di bulan-bulan awal perkuliahan, para mahasiswa baru biasanya akan diajak untuk bergabung dengan organisasi kemahasiswaan, baik intra-kampus maupun ekstra-kampus. Secara pribadi, aktif dalam sebuah organisasi merupakan keharusan setiap mahasiswa. Sebab di dalamnya, para mahasiswa akan dibekali jiwa kepemimpinan, sikap kritis dan kemampuan berorganisasi yang sangat berguna di dunia pekerjaan pasca-mahasiswa.
Akan tetapi, dalam memilih organisasi tempat mengembangkan diri, para mahasiswa baru hendaknya berhati-hati. Sebab, di antara sebagian besar organisasi mahasiswa yang terdapat di perguruan tinggi, terdapat sejumlah organisasi yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme secara terselubung. Ada banyak data yang menunjukkan tingginya angka mahasiswa atau pelajar yang mendukung gerakan radikalisme kekeraasan dan terorisme.
Beberapa waktu lalu, misalnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyebut sekitar 23 persen mahasiswa terpapar radikalisme dan setuju pembetukan negara khilafah. Di level yang lain, angka pendukung radikalisme juga tak kalah besar. Dari sumber yang sama, tingkat dukungan pada radikalisme dan negara khilafah juga tinggi. Di tingkat SMA, sekitar 23,3 persen. Sementara itu 18,1 persen pegawai swasta memgatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, 19,4 persen PNS dan 9,1 pegawai BUMN (Detik.com, 2019).
Sederhananya, apabila ada 100 mahasiswa di kelas baru, berdasarkan statemen Menhan tersebut, besar kemungkinan 23 orang di antara mereka terpapar ajaran radikalisme. Angka itu bisa berdampak lebih besar, mengingat, mereka umumnya memiliki keseriusan dan keuletan dalam menyebarkan ajarannya pada kelompok di sekitarnya.
Dikutip dari sebuah wawancara di NU Online, pakar politik Islam Indonesia dari Universitas Deakin, Australia, Greg Barton mengonfirmasi bahwa ajaran radikalisme di lingkungan pendidikan termasuk perguruan tinggi cenderung berkembang. Walupun kelompok radikal yang ekstrem tak berjumlah banyak, akan tetapi kelompok ini memiliki pengaruh yang sedemikian besar. Pengaruh itu diraih melalui militansi, disiplin, dan fokus yang tinggi dalam melakukan gerakan untuk melebarkan pengaruhnya.
Walau begitu, radikalisme di tingkat mahasiswa tak melulu dikarenakan pergaulan ketika menjadi mahasiswa. Sebab menurut temuan Badan nasional Penanggulangan Terorisme, ada pula kelompok mahasiswa yang sudah terjangkit paham radikalisme tersebut sejak SMA. BNPT bahkan menyebut, ada sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur, yang tujuh puluh persen mahasiswanya terpapar paham radikalisme sejak dari SMA.
Statemen BNPT sejalan dengan temuan Wahid Foundation mengenai berkembangnya bibit radikalisme di level pengurus Rohani Islam (Rohis) SMA. Dalam sebuah beberapa yang digelar Wahid Foundation terungkap, keterpaparan para siswa Rohis di SMA umumnya berasal dari kakak ekstrakulikuler keagamaan mereka yang mereka sebut dengan ‘Murobbi’ atau pengajar dalam bahasa Arab. Para Murobbi inilah yang berperan besar dalam menentukan arah pandangan keagamaan para siswa Rohis ini, termasuk pandangan yang menyetujui berdirinya negara Khilafah Islamiyah. Menurut pengakuan para siswa, pengaruh para Murobbi ini ditanamkan di jam-jam ekstra sekolah.
Mengenal ciri-ciri kelompok pendukung radikalisme
Untuk itu, saya kira, penting bagi para mahasiswa baru untuk mengenali kelompok pendukung radikalisme ini secara dini melalui ciri-ciri yang bisa diidentifikasi. Mengutip hasil riset Joanna Plinner (2013) sebagaimana ditulis dalam buku ‘Kontestasi Wacana Keislaman Dunia Maya, yang diterbitkan Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (2018), ada 21 indikator yang terdapat dalam seseorang yang mengalami proses radikalisasi.
Kesemua indikator ini dikelompokkan pada lima kategori, yakni: cara mereka mengidentifikasi diri, pandangan dikotomis tentang masyarakat antara ‘kami’ dan ‘mereka’, cara mereka dalam berinteraksi dengan kelompok sosial, ciri ke pribadian mereka, dan komunitas mereka.
Dari kesemua indikator tersebut, ada lima yang paling banyak disebut, yakni: 1) perubahan pada penampilan fisik, termasuk pakaian, 2) memutuskan diri dari komunitas terdahulu, 3) ungkapan verbal melawan pemerintah, 4) ungkapan perasaan keterputusan, dan 5) berhubungan dengan kelompok teroris.
Ciri-ciri ini mirip dengan yang dicirikan Direktur Pencegahan BNPT Brigjend Pol Hamli terhadap kelompok radikal. Ia bahkan menjelaskan mengenai tahapan perubahan seseorang menjadi radikal. Dalam pengamatan profesionalnya, ada tiga tahap perubahan hingga menjadi terorisme. “Pertama, intoleransi, berupa orientasi negatif atau penolakan seseorang terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang ia tidak setuju,” jelasnya dalam sebuah keterangan.
Kedua, menganut paham radikalisme yaitu ideologi yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau ekstrim. Cirinya, paham ini menyuburkan sikap intoleran, anti-Pancasila, anti-NKRI, penyebaran paham takfiri (mengkafirkan orang lain), dan menyebabkan disintegrasi bangsa.
Ketiga, terorisme yaitu perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Jika hendak ditarik lebih jauh lagi, ciri-ciri di atas, mulai dari bentuk ketertutupan dari kelompok lain, ungkapan kebencian pada mereka yang berbeda hingga dukungan pada paham kekerasan, tidak melulu diungkapkan secara verbal. Kita juga bisa mendeteksi (dengan stalking) ciri khas organisasi tertentu melalui akun media sosial organisasi mereka atau pengurusnya secara personal, termasuk dengan mendeteksi website yang kerap direferensi atau dibagikan.
Memilih organisasi kemahasiswaan secara hati-hati sangat perlu untuk dilakukan. Sebab bagaimanapun, masa menempuh ilmu perguruan tinggi merupakan momen emas bagi setiap orang untuk menentukan masa depannya, demi cita-cita yang diimpikan. Namun cita-cita mulia itu akan berakhir nahas, apabila salah dalam memilih organisasi untuk menunjang kemampuan leadership dan berorganisasi.
Namun, apabila masih ragu dalam menentukan pilihan, saya menyarankan mahasiswa baru untuk memilih bergabung dengan organisasi yang terafiliasi dengan organisasi yang mendorong Islam ramah seperti Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah. Sebagai contoh, di tingkat perguruan tinggi Nahdlatul Ulama melahirkan organisasi kemahasiswaan; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang diamanati mandat untuk menyebarkan nilai Ahlussunnah Waljamaah ala Nahdlatul Ulama atau bisa ke Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) maupun organisasi lain yang sesuai dengan penjelasan di atas biar tidak terjebak di lingkungan yang terindikasi radikal atau yang ekstremis. Kira-kira begitu.