Baru-baru ini ada tuduhan negatif dari Khalid Bassalamah, seorang pendakwah terhadap Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta. Di youtube, ia menuduh UIN Yogyakarta menganut faham Islam liberal dan menjadi penyebab bencana di Yogyakarta.
Tidak seperti yang dituduhkan, UIN Yogya justru banyak berkontribusi pada kemajuan santri dan pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Inilah argumentasinya.
Setiap lulusan SLTA pasti ingin kuliah, tidak terkecuali santri yang biasanya lulusan Madrasah Aliyah. Yang dia incar pertama biasanya universitas-universitas ternama non agama seperti ITB (Institut Teknologi Bandung, UI (Universitas Indonesia), UGM (Gajah Mada), dan UNAIR (Airlangga).
Di samping karena reputasi dan fasilitasnya yang mentereng dan dihuni orang-orang beken, universitas-universitas ternama ini diminati karena menawarkan biaya kuliah yang relatif murah dan berlokasi di kota. Buat seorang santri, tinggal dan belajar di kota adalah langkah awal untuk berinteraksi dengan dunia.
Tetapi, santri adalah anak desa yang hanya terlatih dengan ilmu-ilmu agama. Sedangkan universitas-universitas tersebut mensyaratkan kemampuan dasar yang berbeda, biasanya bahasa Inggris dan matematika. Malangnya, kedua bidang ini telanjur “disumpahi” sebagai mata pelajaran kurang islami di kalangan santri. Akibatnya santri jadi kena “batunya”, sedikit sekali jumlah santri yang berhasil diterima di universitas idaman mereka. Padahal mereka sudah mengerahkan segala macam usaha seperti bimbingan belajar dan do’a.
Lalu apa pilihan yang tersedia?
Bagi yang keluarganya cukup berada, santri bisa memilih universitas-universitas swasta, atau bahkan kuliah ke Timur Tengah seperti Khalid Bassalamah. Tetapi santri seperti ini hanya segelintir saja. Kebanyakan santri lainnya berekonomi terlalu lemah. Mereka tidak mampu menanggung biaya kuliah yang diminta oleh universitas-universitas swasta.
Maka, kuliah di UIN adalah pilihan paling realistis mereka. Fakultas agama Islam UIN memenuhi semua kriteria yang dimiliki mereka. Lokasi nya di kota. Persyaratan masuknya menekankan pada kemampuan dasar ilmu-ilmu agama. Bahasa Inggris cukup ala kadarnya. Dan yang paling penting, tidak perlu lulus ujian matematika.
Biaya kuliahnya murah karena disubsidi negara. Bahkan kalau beruntung, bisa dapat tambahan subsidi melalui berbagai skema; mulai beasiswa yang disediakan negara, swasta hingga sumbangan para seniornya. Untuk meringankan sewa kos nya, banyak santri mengabdi sebagai takmir atau marbut di masjid-masjid dan mushola sehingga bisa tinggal di salah satu ruangannya.
Jadilah UIN tempat persinggahan utama para pendekar ilmu ‘ndeso’ ini. Jika tidak ada UIN, entah ke mana mereka akan berkelana; bisa-bisa ikut kelompok teroris Jamaah Islamiyah atau jihad ke Syria. Atau, mereka mungkin akan kembali ke desa sebagai ustadz kampung yang ‘nyambi’ jadi kuli kebun dan sawah.
Apa yang dipelajari di UIN?
Sebenarnya buat kebanyakan santri, mata kuliah keislaman yang diajarkan di UIN hanyalah pengulangan dari yang mereka dapatkan di pesantren. Misalnya fiqh ibadah. Di semester awal, mata kuliah wajib ini mengajarkan tentang macam-macam najis, cara berwuduk, mandi besar, dan dalil-dalil yang menjadi landasannya. Materi-materi dasar semacam ini sudah ‘khatam’ diserap santri, bahkan sejak mereka belajar di bangku madrasah tsanawiyah (SLTP).
Tetapi yang berbeda adalah cara membahasnya. Walaupun topik nya sama, UIN membolehkan mahasiswa berdebat dengan kawan dan dosen nya. Bahkan beberapa dosen sengaja menantang mahasiswa untuk membangun agumentasi yang berbeda dari yang diajarkannya. Misalnya, ketika membahas fiqih munakahat (Hukum Perkawinan Islam), seorang dosen melemparkan gagasan tentang perlunya me’larang’ perceraian. Karena menurutnya, sesuai hadith Nabi, perceraian adalah praktik halal yang paling dibenci Tuhan.
Menyanggah gagasan dosen tersebut, sang mahasiswa justru mengungkapkan padangan berbeda. Menurutnya, perceraian justru lebih baik dipermudah. Kalau perlu dengan subsidi negara. Ini menurutnya akan membantu banyak istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Karena tergantung secara ekonomi pada suaminya, mereka takut bercerai. padahal mereka menderita. Jika ada subsidi ‘jaminan hidup’ dari negara, dia yakin para isteri korban KDRT bisa terbantu untuk bercerai sebagai solusi mengakhiri penderitaannya.
Menanggapi sanggahan mahasiswanya, alih-alih marah, sang dosen justru memutuskan memberikan nya nilai A. Dosen ini merasa ‘surprise’ dengan pandangan mahasiswa nya. Walaupun berbeda, argumentasi mahasiswa nya sangat logis dan kritis.
Pemikiran kritis, apa gunanya?
Penemuan-penemuan besar hanya bisa muncul dari pemikiran kritis. Kemajuan teknologi informasi, demokrasi, hukum, ekonomi dan globalisasi yang kita nikmati hari ini adalah produk dari pemikiran kritis.
Di Indonesia, pandangan kritis melahirkan berbagai produk hukum Islam di Indonesia yang inovatif dan melindungi Hak Azasi Manusia (HAM). Misalnya di Indonesia pernikahan harus dicatatkan oleh pejabat negara, perceraian harus di depan pengadilan, poligami harus seizin isteri pertama, usia minimal perkawinan bagi pria dan wanita ditetapkan masing-masing 18 dan 16 tahun.
Aturan ini adalah produk hukum Islam Indonesia yang ‘dimodifikasi’ dari ketentuan asli nya. Bahkan perempuan Indonesia bisa jadi hakim di pengadilan agama. Bandingkan dengan perempuan di Saudi Arabia. Hanya untuk menyetir mobil nya sendiri saja, mereka masih tidak leluasa.
Pemikiran kritis juga dipercaya dapat mencegah umat Islam dari ketidakmampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Orang yang tidak mampu beradaptasi akan mudah merasa terlienasi dan membenci sana sini. Lalu, mereka mudah terprovokasi dan menjadi sasaran radikalisasi.
Pemikiran kritis semacam bukan muncul tiba-tiba, tetapi buah dari proses banyak membaca, berefleksi, dan berinteraksi dengan dosen, berbagai kalangan dan sesama mahasiswa. UIN menyediakan suatu lingkungan akademik yang membuat mahasiswa merasa nyaman untuk berpendapat berbeda.
Dengan kampusnya yang berlokasi di kota, UIN juga berjasa memberikan mahasiswanya kedekatan akses ke perpustakaan, seminar-seminar, event-event budaya, pelatihan-pelatihan kepemimpinan di organisasi-organisasi kemahasiswaan, hingga kesempatan untuk ambil bagian dalam jaringan advokasi untuk membela kepentingan mereka yang lemah. Singkatnya, UIN menyediakan platform bagi santri-santri untuk terkoneksi dengan arus besar dunia akademik, intelektual dan gerakan sosial.
Hasilnya, santri-santri lulusan UIN menjadi tidak saja kuat dengan ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga matang dalam berpikir akademik dan kritis, bersikap terbuka, memiliki keterampilan menulis dan berkomunikasi dengan orang dari berbagai kalangan masyarakat. Dengan keterampilan-keterampilan ini, santri tidak saja menjadi mampu beradaptasi tetapi memimpin pergerakan sosial, ekonomi dan politik di level nasional dan daerah.
Inilah jasa UIN Yogyakarta. Bersama UIN lainnya, ia menjadi tempat ribuan santri bertransformasi dari anak desa, berekonomi lemah menjadi individu yang bermutu sehingga mampu menjadi penopang keluarga dan kemajuan bangsa. Kok bisa UIN Yogyakarta dituduh sumber bencana?