Utusan Khusus Presiden dan Dai Miftah Maulauna atau Gus Miftah mungkin bukan kelompok, namun beliau adalah sosok otoritas agama yang memiliki kuasa untuk mendominasi. Dan, tiba-tiba saya teringat obrolan dengan kawan baik .
“Satu misteri yang hingga hari ini sulit terpecahkan adalah mengapa kudapan yang dijual kala khutbah Jumat itu lezat sekali?”ucapnya kepada saya.“Di mana kelas sosial si kaya dan si miskin bersatu? Di hadapan penjual kudapan selepas salat Jumat,” tambahnya.
Ungkapan ini jelas menggelitik rasa humor kita.
Di banyak kegiatan keagamaan, para pedagang asongan seakan tak pernah absen. Mereka selalu ada memanfaatkan ruang dan momentum sekecil apapun itu untuk mencari rezeki. Eksistensi para pedagang asongan di tengah kegiatan keagamaan masih sering dianggap tidak resmi, namun kehadiran mereka mengisi “ruang kosong” yang bisa memuaskan dahaga atau rasa lapar kita.
Dagangan mereka biasanya disambut kerumunan jemaah yang kehausan atau kelaparan. Namun, ungkapan satir di atas seakan tak bermakna kala kemarin kita digegerkan video Gus Miftah yang melempar kata hinaan nan kasar kepada pedagang minuman di satu kegiatan keagamaan, sepertinya tabligh akbar. Tak pelak video tersebut langsung viral.
Warganet pun bersikap tegas, mengkritik, hingga balik berkata kasar pada sosok pendakwah nyentrik itu. Walaupun pembelaan lewat narasi guyonan juga Gus Miftah mengunggah video permintaan maaf, sikap pendakwah yang hari ini menjadi pejabat publik tersebut jelas tidak bisa diterima. Apa yang sebenarnya terjadi?
Baca juga: Gus Miftah, Itachi Uchiha di Naruto dan Fenomena Gelar dalam Masyarakat
***
Otoritas agama, sebagaimana dijelaskan oleh Ismail Fadjrie Alatas, selalu bertumbuh bersama dengan masyarakatnya atau jemaahnya. Alatas menyebut proses bertumbuh tersebut dengan “Membangun Jemaah.” Otoritas agama tidak mungkin dilepaskan dari jemaah yang adsa di sekitar kehidupannya.
Namun, relasi antara otoritas agama tentu turun-naik. Untuk itu, apa yang terjadi di tabligh akbar tersebut sebenarnya bisa dilihat lewat teori Dominasi Sosial, yang merujuk pada cara struktur sosial hierarkis terbentuk dan dipertahankan, serta bagaimana dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain terjadi di berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, otoritas juga bisa terjebak atau menjelma menjadi kelompok dominan.
Gus Miftah mungkin bukan kelompok, namun beliau adalah sosok otoritas agama yang memiliki kuasa untuk mendominasi. Adapun kelas sosial atau ekonomi, yakni kaya atau miskin, tidak sekedar dilihat sebagai hierarki sosial, namun juga menjadi dasar pengelompokan antara dominan dan kelompok subordinat.
Kala ada otoritas menghina kelompok lemah, seperti yang dilakukan Pimpinan Ponpes Ora Aji Yogyakarta ini, maka bisa dilihat sebagai usaha mempertahankan posisi mereka dalam hierarki sosial. Posisi otoritas agama biasanya dipertahankan lewat teks atau interpretasi agama tertentu yang menjadi mitos legitimasi. Di saat bersamaan, juga menjadi pembenaran ketidaksetaraan, seperti mengklaim bahwa kelompok lemah “memang pantas” berada di posisi subordinat.
Padahal, jika kita merujuk apa yang ungkapkan Alatas, maka seorang otoritas agama tidak seharusnya menjelma sebagai kelas sosial dominan yang mesubordinasi kelas sosial lainnya. Posisi mereka sebagai pengayom tidak dibangun dari hubungan hierarkis. Seorang otoritas agama “sebenarnya” selalu hadir bersama jemaahnya, bukan mengatasinya.
Otoritas agama di banyak kelompok masyarakat hidup berdampingan dengan jemaah yang dibangunnya. Ia menjadi tempat bertanya, konsultasi, mengadu, dan menjadi penengah banyak masalah yang dihadapi jemaahnya. Masyarakat bisa merasakan kehadiran sang otoritas dalam kehidupan mereka, bahkan menjadi bagian di dalamnya.
***
Sisi lain dari kasus ini yang juga menarik adalah media sosial. Viral kembali menjadi “senjata” bagi kelompok subordinat atau rentan. Karna dalam kasus tersebut, antara kejadian perkara hingga viral yang berujung pada permintaan maaf terdapat jeda waktu yang panjang. “No viral, No justice” kembali menjadi jalan bagi seorang pedagang yang dihina mendapatkan keadilan.
Selain itu, gelombang masyarakat yang terlibat dan berempati pun berbondong-bondong menyatakan sikap, membantu langsung, hingga turut bersuara lewat beragam konten atau kolom komentar. Menariknya, beberapa sikap yang menuntut keadilan bagi pedagang yang dihina Gus Miftah terdapat beberapa pemengaruh dan pendengung yang terlihat “memanfaatkan” kejadian ini.
Di konten-konten para pemengaruh dan pendengung tersebut terdapat beberapa konten yang terlihat bermuatan provokatif. Jika kritik atas perilaku Gus Miftah tersebut berujung pada inkompetensi atas jabatan yang diampunya di pemerintahan Prabowo tentu masih bisa diterima, namun beberapa konten mulai mengarahkan “serangan” kepada ormas hingga afiliasi keberagamaan sang pendakwah.
Gus Miftah diasosiasikan representasi Muslim tradisionalis menjadikannya contoh kegagalan dakwah santuy, yang banyak dianut oleh pendakwah dari kelompok yang sama. Bahkan, ada pemengaruh yang membandingkan keseriusan pada dakwah Islam yang dia konsumsi pada kelompoknya, tentu sangat berbeda dan tidak akan ada kemungkinan kasus seperti Gus Miftah bisa terjadi.
Ada lagi seorang pemengaruh besar cum pendakwah populer memanfaatkan kasus Gus Miftah untuk menyerang beragam model dakwah humanis adalah kegagalan pemahaman atas Islam. Dakwah santai yang penuh dengan guyonan yang akrab di masyarakat Muslim tradisionalis memang seringkali menjadi
Bercanda atau guyonan, memang, tidak bisa menjadi alasan untuk mengeluarkan kata-kata penghinaan atas seseorang. Dakwah santai dan penuh dengan bercanda adalah metode untuk mendekatkan Islam yang ramah dan humanis kepada masyarakat kita, bukan menghina mereka.
“Humor itu cara untuk meringankan beban hidup” mungkin bisa membuat kita sedikit tersenyum setelah banyak kecewa di berbagai kesempatan. Mungkin apa yang pernah dibilang Gus Dur bisa menjadi pelajaran bagi kita, Gus Miftah, juga para pemengaruh dan pendengung, “Humor itu tidak untuk menghina, tetapi untuk menertawakan diri sendiri dan menyadarkan kita agar tidak terlalu serius.”
Fatahallahu alaina futuh al-arifin