Salah satu strategi pendidikan dalam masyarakat tradisional adalah melalui pepatah. Pepatah bisa merangkum keluasan sebuah ajaran normatif dalam sebuah kalimat yang sederhana. Kesederhanaannya memudahkan sebuah pepatah dituturkan tanpa membutuhkan prasyarat infrastruktur sebagaimana sebuah pendidikan formal di masyarakat modern.
Dalam banyak hal, masyarakat Jawa juga menggunakan strategi yang sama dalam mengajarkan filosofi kehidupan yang dipegangnya. Salah satu pepatah Jawa yang sering kita dengar, misalnya, “ajining raga saka busana; ajining diri saka lati”. Artinya bebasnya adalah sebagai berikut: Nilai tubuh diukur dari pakaian yang membungkusnya, sedang nilai diri atau pribadi seseorang ditentukan bagaimana ia menjaga lisannya.
Pepatah di atas bisa dimaknai dengan cara sederhana, bahwa kemenarikan penampilan fisik seseorang salah satunya ditentukan dari pakaian yang dikenakannya. Pakaian yang berasal dari bahan mewah dan ditangani oleh desainer profesional akan membuat pemakainya tampak menarik. Tentu saja, pakaian di sini juga menyangkut seluruh aksesoris yang melekat pada badan wadag seseorang yang membuatnya terlihat bagus atau buruk rupa.
Jika kebagusan penampilan fisik bisa dilihat dari busana dan segala aksesoris yang yang melekat padanya, lalu bagaimana cara menilai kualitas pribadi seseorang. Orang Jawa menyatakan bahwa kualitas diri seseorang bisa dilihat dari apa yang keluar dari mulutnya.
Kualitas diri seseorang ditentukan bagaimana seseorang menjaga perkataannya.
Filosofi orang Jawa bisa dikatakan mengikuti pandangan dualisme tubuh dan Jiwa. Tubuh dan jiwa memang saling terhubung, namun keduanya memiliki eksistensi sendiri-sendiri. Kemuliaan jiwa bisa terpancar melalui badan wadag seseorang, namun sama sekali tidak bisa diterima oleh orang Jawa bahwa orang yang memiliki penampilan fisik buruk pasti menunjukkan keburukan jiwanya.
Sebaliknya, orang bisa saja memiliki penampilan fisik yang gemilang, tapi itu sama sekali tidak secara otomatis menunjukkan kemuliaan jiwanya.
Sepenting apakah menjaga mulut itu sehingga orang Jawa melekatkan harga diri kepadanya? Perkataan seseorang adalah perwujudan dari apa yang ada di dalam batinnya. Memang, bahasa ketika sudah diucapkan maupun dituliskan selalu menyederhanakan keluasan konsep atau ide yang dibatinkan seseorang. Namun, sebuah komunikasi akan kehilangan makna jika ia tidak mengungkap maksud dan tujuan (ide/konsep) yang ada di dalam diri seseorang.
Sebegitu pentingnya makna sebuah perkataan, tidak mengherankan jika di hampir semua tata bahasa, salah satu bagian penting yang dipelajari adalah kalimat sempurna. Kalimat sempurna adalah kalimat yang secara teknis kebahasaan setidaknya mengandung subjek dan predikat dan membentuk makna yang logis. Dalam pelajaran nahwu (tata Bahasa Arab), kalimat sempurna ini disebut dengan istilah ‘kalam’.
Sebuah perkataan dianggap sebagai kalam tidak semata-mata karena telah memenuhi kelengkapaan unsur-unsur teknis kebahasaan, tapi juga memiliki tujuan yang disadari oleh si pembicara dan dipahami oleh si penerima. Karena itu, sekomplet apapun unsur-unsur teknis kebahasaan, jika kalimat itu disuarakan oleh orang yang sedang ngelindur, ia tidak disebut kalam.
Dalam banyak hal, seseorang berhadapan dengan konsekuensi tertentu bermula dari perkataannya. Seseorang dipercaya atau tidak dipercaya orang lain salah satunya karena apa yang dikatakannya. Bahkan dari perkataan, seseorang bisa menciptakan surga dunia atau perang yang sangat mematikan. Karena itu, jeratan hukum menjangkau perkataan seseorang. Jika pun dusta seseorang tidak berkonsekuensi pada hukuman, masyarakat tetap menganggap dusta sebagai sesuatu yang hina.
Merenungi filosofi masyarakat Jawa tentang nilai tubuh dan diri di atas, adalah menarik mengamati fenomena banyaknya orang yang dilabeli ustadz (biasanya berjubah, bersorban, dan beberapa embel-embel aksesoris lain) berkata ngawur dan dusta di depan umat yang memercayainya. Misalnya, ada seorang ustadz yang ke sana-kemari menyebarkan tuduhan bahwa RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) adalah upaya legalisasi perzinahan.
Ada juga seorang ustadz yang berapi-api menyatakan bahwa kematian anggota KPPS adalah karena diracun. Dan, masih banyak contoh-contoh kebohongan dan kedustaan lain yang semua itu keluar dari lisan orang yang selama ini dipanggil ustadz.
Setelah kebohongannya terbongkar, mereka dengan entengnya meminta maaf. Permintaan maaf, bagaimanapun juga, adalah sikap yang mulia. Namun, sadarkah para ustadz itu bahwa lisan yang berdusta, menabar fitnah, dan mengobarkan permusuhan, memiliki daya rusak yang sangat dalam.
Daya rusak dusta seorang ustadz bahkan jauh lebih mematikan daripada kebohongan orang biasa karena yang pertama dianggap oleh umatnya sebagai manusia suci-panutan yang semua perkataannya merepresentasikan kebenaran titah Tuhan.
Ketika ada seorang ustadz yang ditangkap oleh aparat keamanan karena menyebar kebohongan, apakah hal itu akan melahirkan kesadaran kritis umatnya? Beberapa kasus menunjukkan bahwa umat tersebut tetap menganggap bahwa ustadznya adalah manusia suci yang menjadi korban dari kezaliman para musuh Tuhan. Karena kesadaran seperti itu, bahkan seorang ustadz yang jelas-jelas melakukan kejahatan pun dibela mati-matian.Kompas kebenaran hancur berkeping-keping.
Mengapa umat yang begitu bersemangat dalam beragama tidak kuasa membedakan antara kebenaran dan kedustaan? Jawabannya adalah karena umat itu selama ini telah digarami oleh dusta-dusta si ustadz tersebut. Setiap perkataan ustadz selalu dianggap sebagai kebenaran Tuhan, sementara si ustadz gemar menebar dusta yang dilabeli agama. Inilah yang disebut dengan dlallun mudlillun (kesesatan yang menyesatkan). Dan,
inilah bahayanya jika kualitas seorang ustadz ditentukan dari penampilan fisiknya, bukan kualitas pribadinya. Fenomena “mendadak ustadz” ini mengkhawatirkan persis karena tingginya gairah orang beragama namun justru yang ditemukan adalah orang-orang yang hanya berbusana jubah dan surban tanpa diikuti dengan kualitas keilmuan yang mumpuni dan kepribadian yang mulia.
Fenomena ini juga bisa menjelaskan mengapa ada sekelompok umat Islam yang mencibir ketika ada seorang menteri non-Muslim yang gemar memakai songkok, karena songkok dianggap sebagai kualitas keislaman. Persis hal yang sama juga kita temukan ketika ada sekelompok umat Islam memprotes sebuah bangunan gereja yang berkubah karena kubah dianggap desain eksklusif bangunan masjid.
Jadi, semua bermula dari perkataan. Sebegitu pentingnya sebuah perkataan hingga Nabi Muhammad dengan tegas bersabda: “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yaqul khairan a liyasmuth” (Barang siapa berimana kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik, atau diamlah!).[]