Terus terang, saya, dan mungkin juga Anda sekalian merasa sedih demi melihat beberapa video yang beredar luas tentang penolakan langkah peniadaan salat Jumat di masjid, dan majelis-nmajelis yang melibatkan massa banyak lainnya di tengah situasi darurat Corona.
Di salah satu video yang beredar di media sosial, misalnya, terjereng tayangan seorang bapak sepuh marah-marah, memaksa masjid tetap buka, dan menyebut “ini paman saya yang bikin masjidnya”. Ada satu bagian si bapak menyebut ini sebagai perang umat Islam.
Di sebuah video yang lain, tepatnya di sebuah masjid raya sebuah kota besar, belasan orang mengecam langkah pemprov setempat yang menutup masjid untuk sementara waktu dan kegiatan jamaah, termasuk shalat Jumat. Belasan orang ini meneriakkan takbir, mencopot maklumat, dan menyebut masjid sebagai tempat eksklusif karena hanya bisa digunakan umat muslim.
“Yang dilarang kan tempat umum,” seru salah seorang di antaranya.
Masjid Raya Bandung yang tidak menyelenggarakan salat berjamaah karena ikhtiar menjaga keselamatan jiwa, malah didemo massa. pic.twitter.com/diByXYKIuo
— Rommy Roosyana (@RommyRoosyana) March 20, 2020
Ada pula video yang menayangkan ceramah seorang berpeci putih. Ia berbicara keras, mengatakan bahwa situasi saat ini belum darurat. Virus ini berbeda dengan wabah yang ada di era para Sahabat Nabi, di mana pagi terinveksi, sorenya meninggal. Jadi kesimpulannya: tetaplah salat jamaah seperti biasa!
Di dunia nyata, ada banyak masjid-masjid yang masih beraktivitas seperti biasanya. Meskipun terdapat pula beberapa masjid yang sudah memberi jarak, menganjurkan tidak bersalaman, dan menyediakan sabun di tempat wudlu.
Padahal, esensi seruan ini adalah: jangan kumpul-kumpul.
Dunia beberapa kali mengalami wabah. COVID-19 merupakan satu di antaranya. Virus ini satu keluarga dengan virus yang pernah ada sebelumnya seperti SARS dan MERS. Ilmuwan menyebutnya sebagai Corona. Disebut bahwa binatanglah sumber penyakitnya. Dugaan sementara, Corona versi terbaru ini dibawa oleh kelelawar.
Jauh sebelum Corona melanda, krisis pagebluk pernah juga menggebuk dunia. Yang belum lama di tahun 1918-1919 terdapat wabah yang membunuh 50 juta jiwa di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang merasakan kejadian memilukan tersebut. Ratusan ribu atau bahkan jutaan warga meninggal dunia. Tidak ada data pasti.
Yang jelas kisah ini pernah diceritakan oleh kakek nenek kita kepada ayah dan ibu kita: bahwa wabah adalah sesuatu yang menyebar begitu cepat. Semakin kita berkerumun, virus akan mudah menginfeksi.
Yuval Noah Harari, penulis buku “Sapiens” mengulas perihal darurat Corona dan wabah lainnya di times.com. Ia menceritakan bagaimana wabah biasa ditanggapi oleh masyarakat dunia. Di Eropa, misalnya, wabah pes mematikan yang disebut black death pada abad ke-14 dianggap sebagai kutukan dan kemarahan Tuhan.
Walhasil, banyak tokoh agama dan masyarakat mengorganisir doa-doa massal. Apa yang terjadi? Wabah itu semakin menggila. Karena doa bersama itu sama dengan mengumpulkan jumlah massa yang banyak dan membuka peluang untuk terinfeksi massal! Jumlah kematian di Eropa mencapai sepertiga hingga dua pertiga dari total populasi.
Apakah doa bersama itu salah? Apakah kita harus takut dengan Corona? Beberapa pertanyaan ini sering muncul, baik di percakapan santai di warung kopi atau pun di media sosial. Saya pun pernah mendapat pertanyaan, apakah korban Corona yang mati ini murni karena Corona? Ada pula yang mengatakan mengapa takut Corona? Toh, kasusnya tidak sebanyak wabah mengerikan lainnya. “Hanya” 11.000-an yang mati.
Corona memang virus yang “biasa saja”. “Hanya” flu. Coronya hanya berbahaya bagi kelompok yang imunnya rendah. Kelompok usia sepuh dan pengidap penyakit hati kronis adalah dua kategori yang paling bisa terkena imbasnya.
Sementara anak muda bisa jadi kelihatan sehat tetapi sebenarnya ia mengidap Corona dan menularkan kepada kakek neneknya atau orang tuanya yang memiliki penyakit jantung, paru-paru, dan lain sebagainya. Pemuda ini sehat tetapi kemudian memantik penyakit kronis orang tuanya yang menyebabkan kematiannya. Pemuda bisa menjadi superspreader atau penyebar virus massal tanpa disadarinya!
Inilah mengapa menjaga jarak adalah cara sederhana yang dianggap paling ampuh mengatasi pesebaran virus Corona yang kelewat darurat. Kita tak pernah tahu siapa yang terjangkiti virus ini. Jika sudah ketahuan positif, kita bisa mengisolasi. Tapi bagaimana kalau memang tidak pernah ada gejala?
Ringkasnya, Corona—sebagaimana juga flu—memang bisa “sembuh-sembuh” sendiri. Tetapi di luar sana ada banyak yang terancam oleh virus ini.
Belajar dari “Ka’bah”
Awal Maret lalu, pemerintah Arab Saudi memberlakukan langkah ekstrem. Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ditutup untuk umum. Pertengahan Maret langkah ini disusul dengan langkah ekstrem lainnya: penerbangan ke dalam dan keluar negeri disetop! Video-video dan gambar kondisi Ka’bah yang sunyi kemudian disebarkan melalui Twitter.
Pada hari-hari biasa, kawasan Ka’bah tidak dibuka untuk umum. Hanya ada Imam dan petugas yang melangsungkan jamaah. Kawasan Masjidil Haram yang bisa menampung empat juta manusia hanya diisi belasan saja.
Ketika video orang marah-marah karena masjid ditutup dan memaksa tetap salat Jumat, Arab Saudi mengeluarkan aturan untuk melakukan tidak saja lockdown tetapi shutdown bagi aktivitas di luar rumah.
Pemerintah Arab Saudi, sebagaimana diberitakan Al-Jazeera, meliburkan sekolah, menutup restoran dan mall, serta meminta orang-orang berhenti bekerja. Padahal, waktu itu kasus di Saudi baru di angka 270-an. Ini semata dilakukan untuk menekan laju persebaran virus Corona.
Apakah pemerintah Arab Saudi melarang orang untuk bertamu di Baitullah? Tentu tidak. Hal tersebut sebagai bentuk ikhtiar kita untuk menghadapi pandemi mengerikan ini. Di Kuwait, masjid-masjid bahkan menambahkan azan dengan kata “salatlah kalian di rumah masing-masing”. Ashalaatu fii buyuutikum.
Sikap Arab Saudi seirama dengan fatwa Ulama Al-Azhar menyikapi situasi darurat Corona ini. Juga, pada pandangan keagamaan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, hingga Majelis Ulama Indonesia. Jika di Arab Saudi dan negara-negara muslim lain himbauan para ulama ini ditaati, mengapa di Indonesia muncul banyak perlawanan?
Ya, mungkin karena banyak di antara kita merasa lebih memahami pandemi ini dibanding dokter yang berjibaku melawannya hingga meninggal dunia. Kita merasa lebih mengenal Tuhan daripada para ulama yang berfatwa. Mungkin saja. Wallahua’lam.
BACA JUGA Social Distancing yang Disalahpahami Umat Islam Atau Artikel-artikel tentang Virus Corona lainnya