Bagi John Locke, identitas itu dipengaruhi oleh pemikiran dan memori. Jika definisi ini kita adaptasi pada konteks manusia sebagai makhluk sosial, dan bahwa cara kerja mind dalam melahirkan pemikiran selalu dipengaruhi oleh kultur dan realitas sosial, maka dua item itu bisa kita sebut sebagai: arus pemikiran dan narasi sejarah sebagai collective sekaligus cultural memory.
Dan jika kita berbicara mengenai identitas Islam di Indonesia, arus pemikiran yang mewakili narasi sejarah itu sepertinya mula-mula, adalah arus pemikiran Islam tradisional yang lekat dengan sufisme, diwakili oleh komunitas Jawa di Mekah dan Wali Songo.
Proses dialektika antara Islam dan kultur Indonesia, oleh kalangan tradisionalis, telah bersumbangsih memperkokoh basis Islam dengan wajah yang tersenyum.
Kemudian, arus pemikiran modernis masuk. Sebagian dipengaruhi gerakan pan-Islamisme ala Muhammad Abduh, yang kemudian mempengaruhi Kiai Ahmad Dahlan, dan melahirkan Muhammadiyah. Pembentukan Muhammadiyah disusul beberapa tahun kemudian oleh pendirian NU sebagai ‘pesantren besar’. Kecuali dalam kesediaan dan kesadaran berkebangsaan, kedua organisasi ini mewakili dua identitas berbeda dalam stream Muslim moderat.
Pengaruh lain dari modernisme yang masuk ke Indonesia adalah gerakan wahabisme atau kadang disebut juga salafisme. Dikenal lebih puritan dan tekstual, flow dari arus ini diperkuat penguasaan mereka akan media.
Tetapi, gelombang ini bukan yang terakhir. Datang pula gelombang pemikiran yang tumbuh dari tangan pemikir semisal, antara lain, Fazlur Rahman, dan menginspirasi Islam liberal.
Entah karena sengitnya perlawanan kalangan konservatif puritan atau semata tak tersampaikannya ideal semangat kontekstualisasi Islam demi keadilan sosial, terma liberal dianggap selangkah lebih dekat pada kekafiran.
Terlepas dari itu semua, penting untuk menguji dua usaha pembodohan yang terkait dengan narasi sejarah sebagai collective memory.
Pertama, ada kalangan (tentu engkau tahu) yang mengklaim bahwa Wali Songo tidak pernah ada. Tujuannya tentu untuk memutus narasi sejarah kalangan tradisionalis.
Ketika usaha ini gagal, dimunculkanlah narasi Wali Songo sebagai semata utusan Ottoman dan tercerabut dari ikatan dengan komunitas Jawa. Tujuannya juga untuk melemahkan sanad keilmuan yang dijaga ketat di pesantren. Usaha ini juga gagal. Halusinasi fiktif mereka direspon riset mendalam dan serius.
Kedua, narasi Gajah Mada sebagai Gaj Ahmada. Bahwa Majapahit adalah kesultanan. Ini juga pembodohan dan sepertinya terkait dengan kampenye kekhilafahan.
Begini, Majapahit adalah bagian tak terpisahkan dari narasi sejarah Indonesia. Kerajaan Hindu ini adalah ideal negara berbineka. Banyak jargon yang masyhur di masa Majapahit yang kemudian dipakai sebagai falsafah dan slogan bangsa kita, termasuk Bineka Tunggal Ika.
Kampanye Gaj Ahmada ini mungkin bertujuan sebagai berikut: ketika publik dibikin yakin bahwa Majapahit adalah kesultanan, akan gampang bagi pengkampanye kekhilafahan untuk mengklaim bahwa Indonesia dulunya adalah kekhilafahan besar dan tercerai-berai dan kini menjadi negara republik berpedoman thogut. Maka adalah kewajiban untuk memerdekakan Indonesia menuju ‘kekhilafahan’ ala Majapahit.
Mengerikan, memang. Tapi kita berdoa, semoga masih ada tempat bagi akal sehat