Hari ini, ketika dalil agama (dalam hal ini hadis) kerap disalahpahami dan dimaknai secara sempit, sepertinya kita perlu menengok buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis. Buku itu penting dan perlu ditelaah karena ketika aksi-aksi teror atas nama agama kian meluas (lebih-lebih yang dilakukan oleh ISIS), ia berupaya menjadi pencerah bagi mereka yang “salah arah”. Para penulisnya adalah orang-orang yang kompeten dalam kajian ilmu hadis. Mereka adalah santri-santri dari almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub, salah seorang pakar hadis terkemuka yang mendirikan Pesantren Darus Sunnah di Ciputat.
Buku ini menarik terutama pada caranya mendedah dan mengkritik hadis-hadis yang selama ini digunakan ISIS. Mulai dari hadis jihad, khilafah, negara Islam, bendera hitam hingga hadis 72 bidadari. Pada hadis tentang 72 bidadari, misalnya, disebutkan bahwa orang yang syahid akan dikawinkan dengan 72 bidadari. Setelah hadis itu diulas, kritik yang muncul adalah: apakah memang layak pembunuh orang-orang tak berdosa dengan dalil agama itu mendapatkan 72 bidadari? Lalu, bagaimana kata syahid semestinya dimaknai? Apakah pelaku bom bunuh diri yang meledakkan diri di tempat umum itu bisa disebut syahid? (hal. 116)
Kritik yang bersifat rasional dan reflektif serupa itu merupakan cara jitu untuk “meluruskan yang bengkok”. Para penulis menghindari cara-cara kaku dalam mengoreksi pemahaman ISIS. Mereka lebih memilih cara elegan: memantik perenungan. Pembaca diajak berpikir kritis dan rasional. Hal itulah yang menjadi pembeda buku ini dengan buku sejenis. Kerap kita dapatkan buku yang berusaha meluruskan pemahaman keliru tapi dengan cara yang keliru pula. Buku ini enggan mengulangi kesalahan yang sama.
Said Agil Husin Al-Munawar, dalam kata pengantar, mengatakan bahwa buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis telah memberikan sumbangan tentang peran penting metode pemahaman dan pemahaman ulama muktabar dalam memahami hadis. Kenapa metode pemahaman para ulama penting diperhatikan? Agar tidak muncul perasaan paling benar, lalu hadir keinsyafan bahwa “pemahaman kita hanya satu pemahaman yang muncul belakangan”. (hal. xv)
Pesan itu menjadi sangat relevan di masa sekarang. Masa ketika banyak orang merasa paling benar sendiri dan memaksakan tafsir tunggal. Mereka sering melupakan konteks dan terlalu lugu membaca teks. Alih-alih menunjukkan kedalaman beragama, mengabaikan konteks justru indikasi kedangkalan. Membaca buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis adalah salah satu upaya menjaga nalar kritis dan tidak abai pada konteks dalam memahami teks agama. Menjadi pengingat ketika sebagian orang lupa dan penerang bagi yang awam sama sekali.
Kehadiran buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis sejatinya juga menambah panjang deretan buku yang mengupas ISIS. Diharapkan pembaca buku ini lebih mengerti apa dan bagaimana doktrin ISIS yang ditebar selama ini. Lalu dapat berlaku kritis dalam menghadapi propaganda yang disebarkan ISIS, terutama yang menggunakan teks-teks agama. Tidak menutup kemungkinan mereka yang semula bersimpati dan mendukung pergerakan ISIS akan berubah pikiran selepas membaca buku ini.
Merampungkan buku Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis memantik kesadaran bahwa dalam memahami agama tidak bisa serampangan, tidak bisa langsung menelan mentah-mentah apa yang tersaji di hadapan kita. Kemauan untuk terus belajar dan berpikir terbuka adalah dua hal yang semestinya menjadi pedoman dalam beragama. Semoga lebih banyak lagi buku serupa itu ditulis dan terbit di Indonesia.