Bencana banjir di Pakistan beberapa waktu lalu yang menyebabkan 33 juta orang terdampak adalah contoh “kecil” dari dampak krisis iklim yang sedang melanda dunia. Dikatakan “kecil” karena sudah tak terhitung betapa parah dampak krisis iklim yang dirasakan oleh seluruh belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Sebagai gambaran, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 5.402 kasus bencana melanda Indonesia sepanjang tahun 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.377 kasus (99,5%) merupakan bencana hidrometeorologi (bencana yang diakibatkan oleh aktivitas cuaca).
Banjir menjadi bencana yang paling sering melanda, yakni sebanyak 1.794 kasus. Disusul cuaca ekstrem (1.577 kasus) dan tanah longsor (1.321 kasus). Hanya 25 kasus (0.5%) yang bukan bencana hidrometeorologi, dengan rincian 24 kasus bencana gempa bumi dan 1 kasus bencana gunung meletus.
Kisah Pilu Masyarakat Terdampak
Sola Gratia adalah seorang warga Kab. Ketapang, Kalimantan Barat. Ia bercerita bahwa daerah itu merupakan daerah langganan bencana, khususnya banjir. Tak hanya itu, keadaan terus memburuk dari tahun ke tahun.
“Jadi, semakin tahun itu semakin parah banjirnya. Sebelumnya nggak sampai atap rumah, tapi saat ini sampai atap rumah,” tuturnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Greenpeace Indonesia pada Jumat (11/11) secara daring.
Tak hanya banjir, menurut Sola, Kab. Ketapang juga menjadi langganan bencana kebakaran hutan. Ia bercerita bahwa bencana itu telah terjadi sejak masa kecilnya.
“Dari dulu sampai sekarang kebakaran hutan menjadi bencana yang langganan,” Sola melanjutkan.
Pengalaman tak jauh berbeda juga dirasakan oleh Halimatus Sa’diyah. Ia juga diundang dalam acara yang sama untuk menceritakan pengalamannya. Perempuan yang berasal dari Kab. Pekalongan, Jawa Tengah ini mengisahkan betapa parahnya bencana banjir yang melanda daerahnya.
“Jadi, kalau banjir di kota Pekalongan hampir setiap hari, nggak cuma ketika air pasang,” ujar Halimah.
Halimah juga mengatakan bahwa banjir rob akibat naiknya permukaan air laut memang sudah terjadi sejak lama. Namun, situasinya terus memburuk dari tahun ke tahun.
“Sekitar tahun 2008 atau 2010 itu sudah mulai banjir rob. Tapi, kalau dulu intensitasnya nggak terlalu sering, mungkin ketika air pasang saja, sebulan sekali atau beberapa kali. Tapi, sekarang udah setiap hari, beberapa daerah itu, daerahnya selalu tergenang air,” ungkapnya.
Kondisi yang lebih memprihatinkan dialami oleh warga yang berada di pesisir pantai. Menurut keterangan Halimah, beberapa pemukiman warga sudah tidak lagi bisa dihuni karena tenggelam oleh air.
“Beberapa orang yang mungkin punya finansial lebih memilih untuk meninggalkan tempat tersebut. Tapi, beberapa orang yang mungkin tidak memiliki finansial yang cukup, mereka tetap bertahan,” lanjut Halimah.
Pemerintah setempat sudah melakukan beberapa upaya untuk menanggulangi bencana banjir, seperti peninggian jalan dan pembangunan tanggul. Namun, menurut Halimah, itu tidak banyak berarti lantaran air selalu menggenangi rumah warga setiap hari.
Dampak Krisis Iklim Terhadap Kehidupan Masyarakat
Pada bulan Oktober silam, Kab. Ketapang kembali dilanda banjir yang cukup parah. Bencana itu menyebabkan kerugian materi yang sangat banyak. Salah satunya kerugian yang dialami oleh peternak. Tidak ada satupun hewan ternak mereka yang bisa diselamatkan.
“Jadi, karena memang bisa dibayangkan, kalau misalnya air sampai atap rumah, apa yang masih bisa diselamatkan?” tegas Sola Gratia.
Mirisnya, ancaman kerugian seperti itu terus membayangi peternak setiap tahunnya. Padahal, dari hasil peternakan itulah mereka menggantungkan hidupnya.
“Cukup sedih ketika mereka setiap tahun harus seperti itu. Misalnya, tahun ini sudah selesai. Mereka harus bersiap-siap lagi. Misalnya, mereka sudah mulai untuk memelihara ternak lagi, tapi tahun depan banjir lagi, banjir lagi,” lanjut Sola.
Fakta tersebut menunjukkan betapa dampak krisis iklim sangat merugikan, tidak hanya oleh masyarakat pedesaan, melainkan juga masyarakat kota.
“Dari Papua sampai ke Aceh, semuanya tidak lepas dari bencana. Baik di kota maupun di desa, semua menghadapi bencana,” ujar Ichwan Susanto, jurnalis Kompas yang memiliki concern pada isu perubahan iklim.
Ichwan menerangkan, krisis iklim yang terjadi juga berdampak pada perubahan budaya masyarakat. Ia mencontohkan kondisi yang dialami oleh masyarakat adat. Misalnya, akibat perubahan iklim, mereka kehilangan tanaman obat yang mereka manfaatkan ketika menghadapi masalah kesehatan tertentu.
“Akibat perubahan iklim ini, misalnya, hilangnya berbagai jenis tanaman obat di daerah-daerah yang menjadi tempat bergantungnya masyarakat adat karena peningkatan suhu, perubahan kelembapan, ketidakpastian cuaca. Itu mengubah sistem masyarakat yang menggantungkan hidup kepada alam,” terangnya.
Ichwan melanjutkan, ketika masyarakat adat kehilangan tanaman obat, mereka tidak hanya kehilangan obat itu saja. Lebih dari itu, mereka juga akan kehilangan identitas kultural dan bahasa.
“Ada riset beberapa waktu lalu. Ketika satu jenis tanaman obat hilang, mereka juga akan kehilangan kosakata akan tanaman obat itu,” lanjut Ichwan.
Seyogyanya, semua pihak harus terus bahu-membahu dalam menanggulangi dampak dari krisis iklim yang terjadi. Karena, tidak hanya generasi sekarang yang akan menanggung dampaknya, melainkan juga generasi yang akan mendatang. [NH]