Pengumuman Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk pemilihan presiden Indonesia bukan hanya sekadar kemitraan politik biasa, melainkan sebuah manuver yang diperhitungkan untuk menarik kesetiaan para pemilih Muslim di Indonesia. Para pemilih ini bukanlah kelompok yang monolitik, yang terbagi antara pandangan modernis dan tradisionalis. Oleh karena itu, koalisi ini sangat menarik sekaligus genting. Bagaimana pengaruhnya terhadap pemilih Muslim di Indonesia?
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang membentuk Koalisi Persatuan untuk Perubahan (KPP), merupakan mikrokosmos dari keragaman Islam di Indonesia. PKS, misalnya, beresonansi dengan para pemilih yang membayangkan Indonesia yang lebih konservatif dan taat pada Syariah. Di sisi lain, PKB, yang memiliki hubungan dengan Nahdlatul Ulama (NU), menarik bagi kaum tradisionalis yang menekankan interpretasi Islam yang plural dan fokus pada keadilan sosial.
Salah satu hambatan utama bagi koalisi ini adalah merancang pesan kampanye yang dapat menggaet kedua kelompok pemilih dengan latar belakang yang berbeda. Data terkini menunjukkan efektivitas pendekatan ini masih diragukan; survei menunjukkan popularitas Muhaimin Iskandar relatif rendah, sehingga keberhasilan koalisi belum dapat dipastikan. Ini mengindikasikan adanya tantangan dalam menyatukan ideologi yang beragam ke dalam sebuah strategi kampanye yang resonan di level akar rumput.
Perpaduan antara pandangan Islam modernis dan tradisionalis dalam pencalonan Anies Baswedan dan Cak Imin menarik, tetapi juga memunculkan pertanyaan etis dan ideologis. Apakah koalisi ini merupakan usaha tulus untuk menyatukan dua kelompok Muslim yang berbeda, atau hanyalah strategi elektoral yang berpotensi memanipulasi sentimen agama untuk keuntungan politik? Kritik terhadap Anies Baswedan terkait eksploitasi politik identitas dalam kampanye Gubernur Jakarta 2017 menambah keraguan mengenai integritas koalisi ini.
Jika tujuan koalisi ini adalah untuk mencerminkan keragaman dan kompleksitas Islam di Indonesia, kontroversi yang melingkupi kedua kandidat dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang kredibilitas mereka. Anies, yang dikenal memiliki afiliasi dengan kelompok Islam konservatif, dan Cak Imin, yang pernah terlibat dalam dugaan kasus korupsi pada 2012 saat menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, berisiko menjadi sasaran kritik. Kontroversi ini bisa digunakan oleh oposisi untuk menyerang legitimasi dan kredibilitas koalisi.
Daya tarik kampanye yang berfokus pada sentimen agama berpotensi menutupi isu-isu penting lainnya dalam pemerintahan, seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Isu-isu ini bisa jadi sama pentingnya, atau bahkan lebih, bagi banyak pemilih. Oleh karena itu, koalisi perlu berhati-hati agar fokusnya pada agama tidak menimbulkan alienasi di antara pemilih yang sekuler atau beragama minoritas.
Meskipun ada alasan strategis yang jelas di balik penyatuan Muslim modernis dan tradisionalis, masih belum jelas seberapa efektifnya hal ini di tingkat akar rumput. Basis pemilih PKS, yang sangat peduli dengan hukum Islam, mungkin menganggap sikap NU yang lebih moderat dan terbuka sebagai masalah. Demikian juga, akar rumput NU, yang memprioritaskan isu-isu sosial dan sering kali mempertahankan praktik Islam yang sinkretis, mungkin skeptis terhadap kekakuan PKS.
Penerimaan pemilih akan bergantung pada seberapa baik Anies dan Cak Imin dapat menavigasi ekspektasi yang ketat ini. Tantangan-tantangan tersebut terlihat jelas mengingat rendahnya peringkat persetujuan untuk Cak Imin dan statistik elektabilitas yang rendah untuk koalisi tersebut. Namun, jaringan akar rumput NU yang luas dan kecakapan organisasi PKS memberikan jalur potensial untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.
Jika koalisi Anies-Muhaimin berhasil merebut kursi kepresidenan Indonesia, efeknya akan terasa jauh melampaui politik elektoral. Platform kebijakan koalisi ini akan dicermati untuk melihat seberapa baik koalisi ini mengintegrasikan keyakinan dan aspirasi Muslim modernis dan tradisionalis yang berbeda. Kebijakan-kebijakan ini dapat berkisar dari program kesejahteraan sosial hingga inisiatif ekonomi yang sesuai dengan Syariah, dan masing-masing akan membawa beban politik koalisi.
Kinerja koalisi ini juga akan memiliki implikasi global, terutama bagi negara-negara mayoritas Muslim yang bergulat dengan perpecahan ideologis yang serupa. Keberhasilan dalam mengawinkan pandangan modernis dan tradisionalis dapat menjadi cetak biru bagi negara-negara lain yang menghadapi tantangan pluralitas agama dan ideologi. Hal ini juga akan memperkuat posisi Indonesia di dunia Islam sebagai negara yang mampu menyatukan berbagai mazhab dan pemikiran Islam di bawah satu bendera politik.
Akan tetapi, kegagalan dapat menimbulkan konsekuensi yang berat. Sebuah koalisi yang gagal dapat memecah belah partai-partai yang ada dan menciptakan perpecahan yang lebih luas di antara komunitas Muslim di Indonesia. Pertaruhannya sangat besar bagi para kandidat dan partai-partai mereka serta masyarakat Muslim Indonesia pada umumnya.
Terakhir, peran media dalam membentuk persepsi publik tidak dapat diabaikan. Mengingat sifat wacana politik dan agama yang terpolarisasi secara global, tanggung jawab media di Indonesia ada dua. Pertama, menyediakan platform yang tidak bias yang memungkinkan diskusi yang bernuansa ideologis, religius, dan program kerja koalisi. Kedua, bertindak sebagai pengawas yang meminta pertanggungjawaban koalisi atas janji-janji dan tindakan nyata koalisi, memastikan koalisi tidak tersesat ke dalam tokenisme atau eksploitasi agama.
Efektivitas media dalam memenuhi peran ini akan menjadi faktor penting lainnya yang dapat membuat atau menghancurkan eksperimen pembangunan koalisi ini. Lanskap media yang mendorong pemikiran kritis dan dialog terbuka akan berkontribusi pada keberhasilan koalisi dengan mendorong pemungutan suara yang terinformasi. Sebaliknya, ekosistem media yang memicu perpecahan ideologis dapat semakin mempolarisasi pemilih yang sudah terpecah belah, sehingga membuat tugas koalisi Anies-Muhaimin semakin menantang.
Koalisi Anies-Muhaimin merupakan pertaruhan politik dengan risiko tinggi yang dapat bertujuan untuk menjembatani perbedaan ideologi dalam komunitas Muslim Indonesia. Keberhasilan atau kegagalannya akan memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi persatuan pemilih, tetapi juga bagi proyek yang lebih luas yaitu pemerintahan demokratis dalam masyarakat yang beragam secara agama dan ideologi.
Bagi para pemilih, koalisi ini menawarkan kesempatan unik untuk membentuk kembali lanskap politik Indonesia ke arah yang lebih inklusif. Namun, koalisi ini juga berisiko memperdalam perpecahan ideologis jika tidak dijalankan dengan bijaksana. Bagi para pembuat kebijakan dan analis politik, koalisi ini berfungsi sebagai studi kasus nyata tentang kompleksitas dan tantangan dalam menyatukan faksi-faksi yang berbeda di bawah satu bendera.
Seiring mendekatnya pemilu di Indonesia, dunia memperhatikan intensitas dinamika pluralisme politik dan agama di negara ini. Keputusan pemilih Indonesia tidak hanya akan menentukan masa depan negara ini, tetapi juga berpotensi menjadi titik tolak bagi negara-negara lain yang berusaha menyeimbangkan keragaman ideologi. Koalisi Anies-Muhaimin berada di persimpangan ini: bisa jadi sebagai model politik inklusif atau malah hancur karena kontradiksi internalnya. Hasilnya akan menjadi referensi penting bagi negara-negara yang berjuang menyatukan agama dan politik di era polarisasi yang meningkat.
Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.