Jika ingin selamat di era banjir informasi dan penuh ketaganggan (juga kebencian?) lantaran politik, saya kira salah kuncinya adalah humor. Betapa tidak, kita nyaris tak bisa menghitung berapa jumlah berita yang diproduksi setiap hari, berapa tema diperbincangan di media sosial. Belum reda orang-orang berdebat soal peserta reuni, datang berita tentang capres yang marah-marah karena satu acara tidak diliput media.
Sebagai jeda gelontoran air bah informasi dan “kebencian-kebencian itu” saya mengambil buku Humor Sufi II dari rak buku. Spontan saja, rehat dari segala yang “ilmiah dan serius”. Kisah-kisah dengan sosok utama Nasruddin langsung mengalihkan perhatian. Diceritakan kembali dengan apik oleh Sapardi Djoko Damono. Di buku tipis itu saya bersua anekdot-anekdot yang meskipun “jadul” tapi terasa segar.
Saya beruntung mendapat humor-humor serupa ini:
“Hei, Nasruddin,” tanya tetangganya pada suatu hari.
“Kenapa kau selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula?”
“Apa iya?”
Anak Twitter mungkin akan bilang itu humor receh. Menertawakan hal-hal remeh, yang kadang luput diamati. Selain itu, saya juga berjumpa dengan kisah yang mungkin tidak “lucu” tapi cukup menukik penutupnya. Kisah seorang darwis.
Pada suatu hari seorang darwis berada dalam masjid dan di sana dia mulai minum arak. Seorang yang kebetulan lewat di depan masjid melihat hal itu. Karena mengetahui ada darwis yang sedang mengotori masjid dengan cara demikian, ia pun menjadi sangat marah.
Orang yang lewat itu langsung masuk ke dalam masjid, meludahi darwis itu dan berkata, “Tidakkah kamu malu kepada dirimu sendiri? Minum arak saja sudah jelek, sudah haram, apalagi minum arak di dalam masjid! Itu sudah tidak dimaafkan lagi.”
Darwis yang gugup itu mendongak melihatnya dan berkata, “Seandainya saya tidak begitu sibuk, saya akan bilang kepadamu betapa berdosanya meludahi orang di dalam masjid.”
Kisah di atas rasanya begitu relevan, seperti menyentil kondisi dakwah kita masa kini. Dakwah yang artinya mengajak pada kebaikan tapi ditempuh dengan cara-cara yang tak baik. Dakwah dengan marah-marah.
Dakwah penuh caci maki. Dakwah dengan melecehkan kepala negara. Sama belaka dengan meludahi darwis yang minum arak dalam masjid, bukan?
Mestinya dakwah menghadirkan kegembiraan. Itulah mengapa banyak sekali dai yang dianugrahi bakat layaknya para komika atau bahkan lebih dari itu dalam hal berkelakar. Di kelas, sering kali saya berujar: motivasi utama wong cilik datang ke pengajian boleh jadi adalah snack dan guyonan para dai.
Mereka sudah punya banyak beban di rumah, tentu enggan datang ke pengajian yang diisi dengan hal-hal serius, ndakik-ndakik, apalagi kebencian. Meski demikian, menabur banyak joke segar dalam dakwah memang bukan hal mudah. Maka, mestilah dai-dai yang “lucu” itu adalah dai-dai cerdas.
Mahasiswa yang sedang KKN di suatu desa bertanya dalam sebuah rapat: untuk acara pengajian akbar, dai atau ustad seperti apa yag ingin diundang. Hampir semua wara desa meminta dai siapa saja asalkan lucu, tidak garing. Apakah itu salah? Saya kira tidak.
Justru itu gambaran nyata masyarakat kita. Beragama dengan riang, saya kira itu poinnya.
Beruntunglah kita masih bertemu penceramah seperti Anwar Zahid, yang sangat ikonik dengan celetukan “qulhu ae lik”. Atau Cak Nun dengan humor-humor jalanan yang terasa membumi namun tetap berkelas, bahkan ia menggabungkan dakwah dengan musik (Kiai Kanjeng).
Saya kira, dai-dai semacam Anwar Zahid dan Cak Nun yang harusnya “diperbanyak”. Bukan dai yang melalui mimbar menyuarakan kebencian untuk capres A dan menggalang dukungan untuk capres B.
Jadi, Indonesia memang darurat Tawa, seperti kata Alissa Wahid. Atau, saran saya, sering-seringlah kalau tengok @NUGarisLucu atau @MuhammadiyahGarisLucu biar kita tetap waras di tahun politik. Bukan begitu, bukan?