Bawalah ingatan anda berjalan-jalan ke sebuah langgar kecil, tempat kali pertama belajar mengeja alif-ba-ta. Langgar kecil itu barangkali bisa berwajah musala, masjid yang bersih dan baik, ruang kelas, atau ruang tamu rumah di mana seorang ustadz datang dua hingga tiga kali sepekan dan mengajari anda mengaji. Kisah ini mungkin pernah menjadi satu cerita yang tersisip sebelum anda mulai membuka qiraati atau buku jilid.
Suatu ketika Rasulullah memasuki pintu masjid dan didapatinya setan sedang bertengger di sana. Beliau menegur,“Hai iblis, apa kerjamu di sini?”
Sang Iblis menjawab,”Aku hendak masuk masjid untuk menggoda laki-laki yang tengah sembahyang itu, agar sembahyangnya jadi rusak. Tapi aku takut kepada lelaki yang sedang tertidur.”
Nabi lalu mendesak, bertanya lagi,“Hai iblis! Mengapa kau tidak takut kepada laki-laki yang sedang sembahyang, padahal ia sedang dalam ibadah dan munajat kepada Tuhan, namun kau justru takut pada lelaki yang sedang tidur itu, padahal ia sedang dalam keadaan lalai?”
“Laki-laki yang tengah sembahyang itu orang bodoh tak berilmu. Aku mudah sekali menggodanya, serta merusak sembahyangnya,” ujar si iblis,”Tapi lelaki yang sedang tidur itu seorang berilmu. Kalau saja aku menggoda lelaki yang sedang sembahyang, serta merusak sembahyangnya, aku khawatir lelaki yang sedang tidur itu terbangun lalu membetulkan sembahyang orang itu.”
Kisah itu sesungguhnya adalah asal-usul ucapan Nabi Muhammad SAW yang berbunyi,’Tidurnya orang alim lebih baik dibanding ibadahnya orang bodoh.’
Dahulu, banyak santri-santri piyik membayangkan begitu saja bagaimana potret setan yang sedang bercakap-cakap dengan Nabi Muhammad itu. Dan tentu saja, bagaimana bisa ada orang sakti semacam si tidur. Kelak, ketika dewasa, ilmu-ilmu kalam bilang bahwa memang ada orang-orang tertentu yang mendapat anugerah untuk melihat hal-hal mistis begitu rupa. Sebutannya, wali, atau bahkan, sulthonul awliya’. Mereka adalah orang yang saking dekat, serta lekatnya kepada Allah hingga menjadi tak berjarak. Oleh karenanya, ia mampu mengendalikan tanah, air, udara, batu, angin, panas dan dingin, bukan sebaliknya. Ia sulit terpengaruh hal-hal dari luar diri yang menghijab jaraknya dengan Allah SWT.
Ada pula sebuah kedekatan yang lain. Kedekatan para kiai dengan masyarakat. Sebuah kedekatan yang membantu kita memahami pledoi makna Islam Nusantara. Begini ceritanya;
Acara ceramah itu bertempat di sebuah perempatan jalan sebuah kampung. Panggung dan dekorasi sederhana siap sejak sore hari, lengkap dengan kursi sofa yang dipinjam warga dari rumah seorang perangkat desa. Jalanan telah penuh dengan penjual jajanan, rokok, es dan makanan anak-anak. Kiai dagelan akan mengisi pengajian di sebuah dusun, Njarsari, sebutnya.
Ia membuka ceramah dengan suara bariton penuh wibawa kemudian memberi salam. Para pejabat dan perangkat desa disapanya dengan bahasa jawa krama inggil begitu santun. Kemudian, tiba-tiba, ia mengajukan sebuah dialog berupa pertanyaan kepada warga yang sontak menimbulkan tawa tergelak-gelak. Lalu, sepanjang ceramah, materi-materi yang bersifat ubudiyah, amaliyah maupun syar’iyah disampaikan dengan lugas dan penuh humor.
Materi-materi itu terasa dekat dengan pemisalan-pemisalan sesuai konteks masyarakat Njarsari yang sebagian besar bertani, sedangkan permasalahan yang mereka hadapi tidak jauh seputar relasi utang-piutang pada lintah darat, kerukunan antar tetangga, dan konflik dalam dan antar rumah tangga.
Berbicara pada masyarakat kelas bawah adalah berbicara bab sabar, syukur dan dzikir, tapi bagaimana membuat teknik tindak tutur yang akrab dengan ungkapan semacam jancuk, gathel, raimu, dan pisuhan Jawa Timur lainnya? Sedangkan inti materi tetap fokus tentang kondisi hidup yang berlebih maupun kurang sejatinya merupakan sama-sama ujian, dan tugas semua manusia adalah mencapai maqam Abdiyyah.
Dahsyatnya, di sela-sela gelak tawa itu, Sang Kiai sempat menyisipkan satu-dua ayat Al qur’an atau hadist. Jamaah tiba-tiba hening dan menyeru “Allah…” untuk tiap ayat yang dibacakan. Sang Kiai menunjukkan kepiawaiannya membedah ayat al qur’an dengan kaidah tafsir maupun ushul hadist bagai seorang guru yang menjelaskan rumus matematika kepada siswanya. Bahasa-bahasa keilmuan tersampaikan dengan tepat dalam nuansa cukup serius, namun segera ditingkahi satu lemparan humor yang kembali memantik tawa.
Kiai itu adalah KH Anwar Zahid. Belakangan, kiai asal Kanor, Kabupaten Bojonegoro ini semakin dikenal karena rekaman ceramahnya yang tersebar lewat media seperti NUTIZEN, Youtube dan media sosial lainnya. Sepintas, orang yang tidak akrab dengan kultur pengajian masyarakat bawah agraris atau pesisiran akan segera menganggap gaya semacam itu ngawur. Mereka berpikir, bagaimana bisa belajar agama dalam forum yang tak beda dengan tontonan dagelan. Tetapi, orang-orang yang pernah menuntut ilmu dalam tradisi kepesantrenan nusantara akan segera tahu bahwa Kiai tersebut bukan orang biasa.
KH Anwar Zahid memang tercatat sebagai Pengasuh pondok pesantren Attarbiyah Islamiyah Assyafi’iyah, Kabupaten Bojonegoro. Masa kecilnya dihabiskan dengan nyantri di Pondok Pesantren Langitan, Tuban asuhan KH. Abdullah Faqih. Kemudian lanjut belajar dan mengabdi di sebuah pesantren di Gresik.
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani berujar bahwa para alim adalah mereka yang memiliki Ilmul ulama (pengetahuan ukuran ulama), Siyasatul muluk (pengetahuan politik raja-raja), Hikmatul hukama (hikmat kebijaksanaan para hukama).
Apa yang dilakukan para kiai dengan menggunakan teknik alih kode yang merupakan unsur kecakapan bahasa tersebut semata agar tercapai tujuan komunikasi antara si penutur dan mitra tutur. Saya berpikir untuk menjelaskan teori lingustik tertentu untuk memberi pembelaan bahwa para kiai sebenarnya sedang melakukan aktivitas ilmiah dalam retorika ceramahnya, tapi saya urung.
Ada yang jauh melampaui tesis itu, yakni kenyataan bahwa mereka adalah ulama yang manusia dan manusia yang ulama. Mereka berbahasa, berpakaian, berbudaya dan bersikap umumnya manusia lain disekitarnya hingga selalu tepat menangkap kondisi zaman.
Jadi, apa masih ada orang yang gumunan jika ada Kiai yang berkostum dalang, Kiai yang menulis serta membaca puisi, atau Kiai yang berkeliling dari daerah ke daerah dengan grup musiknya? Ya, maklum, memang tidak sedikit orang mau belajar, beradab-akhlak, serta berandap-asor. []
Baca tulisan Kalis Mardiasih lainnya, di sini