Belakangan ini linimasa kita ramai dengan berita usulan RUU Ketahanan Keluarga. Tujuan adanya RUU tersebut, adalah, mengatur keluarga yang bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni. Maksudnya supaya keluarga bisa hidup sejahtera, layak, jauh dari ancaman-ancaman penyakit dan kekerasan.
Tujuan yang bagus, bukan? Namun, yang ramai belakangan justru adanya klausul di dalamnya untuk memisahkan kamar anak lelaki dan perempuan.
Para pengusul pemisahan kamar tidur anak itu sepertinya sedang ingin menjalankan perannya sebagai Muslim yang baik. Tidak salah, memang Nabi Muhammad pernah memberi anjuran untuk memisahkan tempat tidur anak-anak dalam sebuah hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، “مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع
Rasulullah SAW. bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat ketika mereka umur tujuh tahun dan pukullah jika mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (H.R. Abu Daud).
Hadis ini memberi anjuran kepada kita tentang tahapan dalam mengasuh anak. Redaksinya jelas. Ketika anak berusia tujuh tahun, mulai lah untuk memerintahkan mereka salat. Ketika mereka sudah menginjak sepuluh tahun, diperbolehkan untuk menegur dan memukul kalau masih tidak mau salat. Kemudian, anjuran untuk memisahkan tempat tidur anak-anak.
Kan nggak semua keluarga mampu buat beli kasur dan membangun banyak kamar dalam satu rumah? Kalau nggak mampu, terus gimana?
Iya, masih banyak keluarga yang secara ekonomi tidak dikaruniai kemampuan membangun rumah yang layak. Bisa jadi tetangga di sekeliling kita hanya berumahkan gubuk, dan sekeluarga tidur dalam satu kasur Palembang tipis di ruang tengah, akibat himpitan ekonomi yang memaksa. Jangankan untuk beli kasur, untuk makan saja masih banyak yang kekurangan.
Belum lagi untuk generasi milenial yang rasanya makin sulit membeli rumah yang cukup luas. Duh, KPR emang mahal ya…
Nah, anjuran dari hadis Nabi tadi tidak secara spesifik menyebutkan bagaimana teknis memisahkan tempat tidur anak-anak. Maka dari itu, para ulama memberi penjelasan yang beraneka ragam dengan spektrum yang cukup luas.
Misalnya, Penulis kitab Mawahib al-Jalil, Abdullah al-Maghribi, memberi opsi yang cukup lunak. Memang, etika yang sempurna adalah memisahkan tempat tidur anak yang berbeda jenis kelamin. Jika tidak mampu, sekalipun menggabungkan tempat tidur anak dalam satu kamar minimal harus ada pakaian sebagai penghalang di antara mereka. Dalam artian, jangan membiarkan anak-anak tidur dalam pakaian yang tidak lengkap.
Selain itu, sekalipun mereka berada dalam satu kamar, setidaknya pada saat yang mengharuskan membuka aurat mereka harus menghormati dan memberikan privasi kepada yang lainnya, seperti ketika hendak salat, selesai mandi dan berganti pakaian.
Hal tersebut dijelaskan Abdullah al-Maghribi sebagaimana berikut,
معنى التفرقة في المضاجع أن يجعل لكل واحد منهم فراش على حدته. وقيل: أن يجعل بينهم ثوب حائل ولو كان على فراش واحد
“Makna pemisahan tempat tidur adalah menjadikan satu kasur tersendiri untuk setiap anak. Pendapat lain mengatakan seandainya mereka tidur dalam satu kasur yang sama hendaknya ada baju sebagai penghalang.”
Apakah lantas wacana RUU itu perlu ditolak sepenuhnya? Tidak semudah itu. Hanya saja, DPR tidak perlu lah mengatur urusan keluarga yang terlalu dalam. Salah-salah justru melangkahi peran orang tua dalam pola mereka mengasuh anak. Sebab, bagaimanapun, orang tua lah yang mengerti perkembangan anak dari hari ke hari dan memiliki wewenang penuh menerapkan pola seperti apa dalam mengasuh anak.
Please, DPR masih punya banyak pekerjaan rumah lain sebelum jauh ikut nimbrung urusan kamar tidur keluarga. Pengadaan rumah yang layak dan makanan yang sehat dan bergizi, misalnya.
Yang kemudian bikin ramai adalah, bahwa usulan RUU tersebut disertai argumen takut terjadinya inses antara anggota keluarga.
“Ternyata anak umur 7 tahun bisa mencabuli adiknya lima tahun. Kenapa? Dimulai dari keluarga, rumahnya tidak memisahkan kamar tidur orang tua dan anak, kan seperti itu,” begitu kata Netty Prasetiyani, politisi Partai Keadilan Sejahtera pengusul RUU tersebut.
Hellooo, jika hanya persoalan khawatir terjadinya inses, kenapa tidak lekas diketuk saja RUU Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang sudah lama ditunda-tunda itu? Bukankah RUU PKS juga mencakup persoalan pelecehan seksual di tingkat keluarga? RUU yang seharusnya jadi jalur kemaslahatan masyarakat banyak, tak ubahnya jadi arena pemaksaan standar ego keberagamaan wakil rakyat tertentu.
Yang terjadi malah capek sendiri toh, akhirnya publik ramai (sekaligus geli) dengan argumen inses dan menganggap argumen ini terlampau liar imajinasinya, sementara pemahaman atas tujuan utama RUU ini justru kabur.
Jika ditelaah lebih jauh, beberapa kelompok Muslim dengan entengnya terus mengkampanyekan banyak istri dengan penyederhanaan narasi “banyak anak banyak rejeki, nanti Allah yang atur.” Dan secara bersamaan abai dengan realitas kemampuan masyarakat. Lha dikira beranak-pinak itu tidak butuh sandang pangan papan?
Akan lebih bijak jika dalam mewacanakan RUU ini, para wakil rakyat yang mulia memutar otak supaya para orang tua dan keluarga muda seperti kami punya rumah yang layak terlebih dahulu. Atau supaya anak-anak Indonesia mendapatkan makanan yang sehat dan gizi yang cukup. Baru kita bisa bicara soal memisahkan kamar anak. Kiranya masyarakat sudah cerdas, mana urusan yang pokok mana yang sekunder.
Apa tidak capek, DPR membahas isu sekunder melulu? Kesehatanmu lho pak, bu.. Atau jangan-jangan, selama ini kerjanya cuma membahas persoalan sekunder?