Perempuan dibolehkan menyetir, gedung bioskop dibuka untuk umum, menonton film tak lagi diharamkan, konser-konser musik diselenggarakan, dan polisi agama dibubarkan. Beberapa kebijakan itu adalah bentuk gebrakan revolusioner yang dilakukan oleh Muhammad bin Salman (MbS) setelah ia menjadi orang paling berkuasa di Kerajaan Arab Saudi. Ia meneruskan tampuk kuasa ayahnya, Salman bin Abdulaziz yang telah memasuki usia uzur.
MbS seolah mengubah secara radikal citra Arab Saudi yang sudah terbangun sebagai negara otoriter berbasis Islam puritan. Melalui kebijakannya, Arab Saudi bertransformasi menjadi negara yang lebih terbuka dengan pelan-pelan melakukan reformasi Islam secara sistematis dan masif. Contoh-contohnya adalah sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan tadi.
Persis di akhir tahun 2022, Arab Saudi kembali membuat gebrakan fantastis melalui sepak bola. Salah satu klubnya, al-Nassr, membuat mega-kontrak dengan mendatangkan Cristiano Ronaldo dari Manchester United dengan upah mendekati 200 juta euro atau sekitar Rp. 3.3 triliun pertahun. Ia dikontrak hingga 2025. Kata orang dengan kalkulasi isengnya, dengan meludah selama 2 detik saja, Ronaldo sudah bisa mendapatkan duit sebanyak Rp. 250.000. Jika ia rebahan sehari saja, ia tetap akan mendapat Rp. 9.6 milyar. Ya begitulah, khas itung-itungan orang Indonesia.
Secara ekonomi, datangnya mega bintang Portugal tersebut dilihat sebagai investasi jangka panjang Arab Saudi, terutama atas ambisinya untuk menjadi tuan rumah piala dunia 2030. Secara angka, Ronaldo menjadi aset mahal untuk mendongkrak popularitas klub al-Nassr secara khusus, dan mengangkat reputasi sepak bola Arab Saudi secara umum. Dalam hal penjualan merchandise misalnya, hanya dalam waktu 48 jam saja, jersey al-Nassr dengan nama Ronaldo ludes terjual hingga dua juta pasang. Pun dengan akun Instagram al-Nassr yang naik dari yang hanya ratusan ribu menjadi belasan juta. Warbiayasah.
Proyeksi investasi yang positif dalam aspek ekonomi itu juga terlihat dalam aspek sosial budaya. Melalui Cristiano Ronaldo, Arab Saudi tampak benar-benar menginginkan transformasi kultur negara melalui sepak bola. Perlu diketahui, al-Nassr saat ini dipimpin oleh Musalli Al-Muammar, mantan presiden Saudi Pro League. Al-Muammar dipilih langsung oleh Pangeran Khalid bin Fahd bin Abdulaziz, salah satu pangeran kerajaan Saudi sekaligus “donatur” tetap di al-Nassr. Tak heran, banyak desas desus mengatakan bahwa al-Nassr adalah klub kerajaan. Berdasar realitas ini, gerak al-Nassr terhadap perekrutan Ronaldo pun bisa dilihat sebagai representasi komitmen Kerajaan terhadap transformasi sosial budaya Arab Saudi.
Tak terbantah lagi, Ronaldo adalah tokoh idola ratusan juta manusia di muka bumi. Semua gerak gerik idola biasanya akan menjadi kiblat baru bagi para penggemarnya di mana pun ia berada, tak terkecuali di Arab Saudi. Gaya hidup Ronaldo yang hedonis bersama dengan kultur Barat yang melegalkan “non-marital sex” turut masuk sebagai satu paket utuh seorang Cristiano Ronaldo. Style semacam itu masuk ke Arab Saudi sebagai negara yang lekat dengan sejarah Islam puritannya. Pertanyaannya, apakah keduanya berbenturan?
Jawabannya, tidak. Justru melalui Ronaldo, MbS ingin menunjukkan bahwa Arab Saudi benar-benar sudah berubah. Misi MbS untuk de-wahabisasi Arab Saudi menjadi kian tegas dengan kedatangan sang GOAT. Contoh paling konkretnya adalah soal aturan larangan “kumpul kebo” di Arab Saudi.
Harusnya, Ronaldo dan tunangannya, Georgina Rodriguez, dijatuhi sanksi karena tinggal satu rumah tanpa status pernikahan yang sah. Namun, melalui MbS, aturan ini dibuat selentur mungkin. Sebenarnya, aturan ini masih tertulis dan masih berkekuatan hukum, tapi pihak istana seperti acuh jika ada orang asing yang melakukan hal serupa Ronaldo. Kelenturan ini bukan semata karena kedatangan Ronaldo, namun berkat visi revolusioner Raja Salman tentang hak-hak sipil, khususnya hak-hak perempuan.
Peraturan pembatasan hidup bersama tanpa status pernikahan ini muncul sejak 2019 dengan mulainya Arab Saudi mencabut sejumlah pembatasan bagi perempuan dan menggantinya dengan pedoman baru yang memungkinkan perempuan tinggal bersama laki-laki meski belum menikah. Namun tetap saja, aturan itu berlaku bagi warga asing. Sementara warga Saudi tetap perlu menunjukkan kartu keluarga atau surat nikah untuk memesan hotel.
Sebelum era MbS, Saudi adalah negara yang sangat ketat dengan siapapun yang tinggal di negara itu. Laki-laki dan perempuan yang kedapatan tak memiliki hubungan keluarga, termasuk orang asing, bisa dikenakan sanksi berat hanya karena berkumpul di depan umum, apalagi jika ketahuan tinggal bersama. Aturan sosial itu kemudian melonggar sejak MbS menjadi orang paling berkuasa di Saudi.
Pasca kedatangan Ronaldo, publik dunia menjadi tahu bahwa regulasi-regulasi Saudi yang tadinya otoriter perlahan melentur dan human rights-oriented. Dalam bahasa lain, yang awalnya dunia internasional tidak mengetahui soal revolusi budaya Saudi, kini pelan-pelan menjadi paham berkat popularitas Ronaldo. Saudi bahkan tampak tidak berpikir dua kali soal dampak budaya yang akan dibawa Ronaldo kepada warga Saudi yang notabene berpenduduk Muslim dan terikat dengan aturan-aturan berbasis Islam.
Tak hanya dari elit, ekspektasi terhadap Ronaldo dalam aspek sosial politik juga muncul dari kalangan sipil, termasuk NGO. Amnesty International, misalnya, mendesak Ronaldo untuk tidak hanya memuji pemerintah Saudi karena kontrak fantatisnya itu, namun mendayagunakan platform publik untuk berbicara tentang isu HAM di Saudi.
Dana Ahmed, peneliti urusan Timur Tengah Amnesty, mengatakan bahwa Arab Saudi tidak hanya menjadikan ketenaran Ronaldo sebagai alat untuk sportwashing. Istilah sportwashing digunakan untuk menggambarkan ketika suatu negara menggunakan olahraga untuk memperbaiki reputasi yang sedang tercoreng karena pelanggaran HAM.
Pernyataan Amnesty International tersebut merupakan satu dari sekian persepsi publik soal Ronaldo sebagai bagian dari aktor perubahan sosial dan politik di Arab Saudi. Perlu dicatat juga, Ronaldo tidak datang ke negara teluk itu hanya untuk bermain sepak bola. Mega bintang itu ditasbihkan sebagai duta Arab Saudi. Bersama Lionel Messi yang sudah ditunjuk sebelumnya, ia bertugas untuk mempromosikan Arab Saudi dalam perebutan tuan rumah piala dunia 2030 bersama Mesir dan Yunani.
Dalam klausul kontrak, lebih dari separuh gaji Ronaldo adalah upah Ronaldo sebagai ambassador Saudi. Oleh karena itu, menarik mengikuti kiprah Cristiano Ronaldo di Arab Saudi ke depannya. Apakah sosial budaya Saudi berubah signifikan pasca datangnya Ronaldo, atau justru Ronaldo yang terwarnai oleh kultur Islam di Saudi, dengan masuk Islam misalnya. Yang jelas, jika negara petrodollar itu sudah berani investasi sebanyak itu, outputnya tentu bukan hanya sekadar Host piala dunia, namun juga pengakuan internasional soal transformasi sosial politik dan budaya di Arab Saudi yang lebih modern.