Iqra’, bacalah. Begitu bunyi wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW dalam Surat al-‘Alaq. Berikut bunyi lengkap wahyu itu: “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari gumpalan. Bacalah; Dan Rabb-mu Maha Pemurah. Dia mengajarkan dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya”.
Coba perhatikan. Berulang kali firman itu menegaskan kata “Bacalah”. Apa karena Nabi Muhammad belum mengerti artinya? Jelasnya tidak. “Lha, itu bahasanya,” kata teman saya, Sukron memberi komentar.
Sejenak, Sukron berpikir apa yang hendak disampaikan dari wahyu itu? Penalaran pikiran Sukron mulai tegang memikirkan hikmah kata “Bacalah” itu.
Pikirannya tertuju pada kata Islam. Ternyata, perintah itu di dalam agama Islam, mengasumsikan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan ilmu penalaran kritis.
Dengan aktivitas membaca, menurut pendapat teman saya itu, otak jangan dibiarkan larut dalam kekaguman dan kepuasan saja. Tapi tuntutlah pikiran itu untuk merenung, berpikir, membandingkan, menganalisis dan membuat kesimpulan.
Membaca, bukan mengantarkan pembacanya untuk selalu tunduk, patuh dan tak berdaya. Tapi selalu mempertanyakan.
Coba ajaklah otak untuk memikirkan alam ini dengan membaca dan menelaah semua yang ada. Satu kata jawabannya, bergerak. Pohon, burung, lautan, bumi, air dan langit bertasbih ke sang Pencipta. Apakah pikiran ini hanya bisa diam?
Dibantu dengan indera yang dimiliki manusia, seperti mata, hidung, telinga, kaki, dan lainnya, akan semakin memperkaya otak dalam membuat kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan. Layakkah membuat kesimpulan secara serampangan? Jelas tidak bisa.
Sukron berpikir kembali. Kali ini Sukron merasa bersyukur telah memperoleh hikmah kata “Bacalah” itu. “Iya, barusan saya berpikir, itulah hikmahnya,” ujarnya.