Ciri Haji Mabrur Menurut Imam an-Nawawi

Ciri Haji Mabrur Menurut Imam an-Nawawi

Imam an-Nawawi menjelaskan ciri haji mabrur dalam kitabnya.

Ciri Haji Mabrur Menurut Imam an-Nawawi

Ibadah haji merupakan salah satu rukun penyempurna keislaman seseorang. Seseorang dianggap telah menyempurnakan agamanya apabila telah menunaikan ibadah yang hanya bisa dilaksanakan di waktu tertentu dan di tempat yang telah ditentukan. Hal ini bisa menjadi salah satu ciri haji mabrur.

Haji hanya bisa dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dan dikerjakan di Makkah. Ibadah ini tergolong salah satu ibadah yang istimewa karena hanya diwajibkan pada orang-orang yang telah diberi kemampuan oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini erat kaitannya dengan kesehatan, usia, dan finansial tentunya.

Banyak orang yang kesehariannya tekun beribadah, melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, namun hingga tutup usianya belum diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini bukan berarti seseorang tersebut tidak sempurna agamanya. Melainkan karena Allah belum berkehendak untuk seseorang yang bersangkutan melaksanakan ibadah haji.

Ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu. Baik secara fisik, psikis, maupun finansial. Pada umumnya masyarakat menyertakan doa-doa bagi mereka yang hendak melaksanakan ibadah haji dengan harapan supaya hajinya mabrur/mabruroh. Namun jarang diketahui bagaimana jamaah haji bisa dikatakan hajinya mabrur/mabruroh.

Dikutip dari kitab al Idhoh fi Manasik Haji wal Umroh karangan Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676H) halaman 42, salah satu tanda diterimanya ibadah haji atau umroh (maqbul/mabrur) yaitu ketika pulang ke negaranya atau tanah asalnya, ia menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini ditinjau dari segi akhlak dan ketaqwaannya. Selain itu dia juga tidak melakukan atau tidak mengulang kembali kemaksiatan yang telah lalu.

Pelaksanaan haji umumnya menjadi kesempatan bagi seseorang yang melaksanakannya untuk mengilhami aktivitas ibadahnya di tanah suci makkah. Hal ini didukung dengan pelaksanaan ibadah yang berada di kiblatnya umat muslim sedunia, berdo’a di tempat-tempat mustajab, mendengarkan lantunan Al-Qur’an secara langsung dari imam-imam Makkah yang sanad qur’annya lebih dekat dengan Rasulullah, mengunjungi tempat-tempat bersejarah perjalanan islam, mengunjungi makam Rasulullah, dan masih banyak lagi aktivitas ibadah yang tidak dapat dilaksanakan di rumah dan hanya bisa dilaksanakan ketika haji.

Di antara beberapa hal yang harus diperhatikan para jamaah haji supaya saat kembali ke tanah air dapat menjadi haji yang mabrur, meluruskan niat. Sejak awal berangkat haji, bahkan jika perlu saat mendaftarkan diri menjadi CJH (calon jamaah haji) sebisa mungkin diluruskan niatnya semata karena untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan perintah-Nya. selain itu harta yang dipergunakan saat menunaikan ibadah haji, pastikan harta tersebut bersih dari jalan haram.

Kedua, saat melaksanakan ibadah haji upayakan untuk sesuai dengan yang dijarkan Rasulullah. Hal ini umumnya dipelajari saat pelaksanaan manasik haji. Selain itu perlunya melaksanakan setiap rangkaian ibadah dengan sikap ihsan, serta memperbanyak berbuat baik selama melaksanakan ibadah haji. Hal ini tentunya dikuatkan dengan niat masing-masing jamaah yang benar-benar murni karena untuk beribadah kepada Allah.

Setelah melalui proses tersebut diharapkan sepulang dari ibadah haji tingkat ketaqwaan seseorang semakin meningkat. Serta lebih memperhatikan lagi akhlak baik dari segi tingkah laku, perkataan, maupun prasangka. Ibadah haji bukanlah sekedar ajang unjuk diri. Ibadah haji juga bukan kesempatan memperlebar jalan kesombongan karena merasa telah bergelar pak haji atau bu hajah. Ibadah haji melainkan kesempatan untuk meningkatkan ketaqwaan sehingga diharapkan semangat beribadah selama haji tersebut terus berlangsung hingga ia kembali ke tanah air. Di situlah titik berat diterimanya ibadah haji seseorang. (AN)