Kamu jomblo yang sedang “berburu dan meramu” pasangan? Atau sudah punya pacar tapi masih galau? Atau sudah menikah tapi merasa kehidupan perkawinan tak seindah harapan? Di bawah ini ada beberapa tips yang disarikan dari pengalaman pribadi, pengamatan pada banyak pasangan, dan juga dari beberapa penelitian di bidang psikologi yang mungkin berguna buat kamu.
- Saat pacaran (atau taarruf) cari kegiatan yang lebih bervariasi dan menantang. Jangan nonton atau makan bareng melulu. Sekali-kali cobalah rafting berdua atau semacamnya.
Kenapa rafting? Rafting menyediakan variasi situasi dan tantangan yang harus dihadapi bareng dengan pasangan. Susah buat jaim saat rafting. Riak-riak air sungai yang harus kalian lewati berdua adalah semacam simulasi riak-riak kehidupan perkawinan nantinya. Kamu jadi bisa menilai seberapa oke pasangan dalam menghadapi situasi sulit, seberapa tinggi kecenderungan kalian untuk saling menyalahkan, seberapa baik kalian bekerja sama, dan sebagainya.
- Kalau sudah ingin nikah tapi belum yakin apakah si dia adalah yang terbaik yang bisa kamu dapatkan, coba ingat-ingat metode penelitian sewaktu skripsi. Lakukan sampling secara acak. Coba pacaran beberapa kali. (Semampunya saja sih. Kalau dapat satu saja sudah syukur, ya ndak usah rewel soal kriteria idaman). Tapi ingat jangan terlalu saklek pakai prinsip statistika. Sampel yang terlalu banyak bisa menguras dana. Pokoknya lakukan sampai kamu bisa menyimpulkan nilai rata-rata pasangan yang bisa kamu gaet dari populasi.
Misalnya: empat cewek dengan nilai 4, 5, 6, dan 7. Rata-ratanya berarti 5,5. Nah, begitu dapat yang sudah melebihi nilai rata-rata itu, alias 6 misalnya, segeralah berkomitmen. Kamu ga mau hidupmu habis hanya untuk mencari dia-yang-hanya-ada-dalam-bayanganmu atau dia-yang-tak-akan-membalas-cintamu kan?
- Jangan hanya mengandalkan perasaan berbunga-bunga (yang biasanya disebut cinta) saat pacaran untuk memutuskan menikah. Coba tanya pendapat orang yang sayang dan peduli sama kamu, misalnya ibu, atau sahabat dekat.
Dalam situasi mabuk cinta, alias infatuation, kemampuan berpikir logis menurun drastis. Kamu tidak bisa menilai situasi secara objektif. Kamu tidak bisa menilai pasangan secara objektif. Ketahuilah, perasaan mabuk cinta ini walau menyenangkan hanya akan berlangsung sementara. Mengandalkan perasaan sesaat untuk membuat keputusan yang sifatnya seumur hidup itu amat sangat menyesatkan.
Seorang ahli psikologi, Dan Ariely, meneliti kepuasan pernikahan antara mereka yang menikah karena dijodohkan dan mereka yang menikah karena cinta. Di tahun pertama, tingkat kebahagiaan yang menikah karena cinta jauh lebih tinggi. Namun tiga tahun kemudian, terjadi perubahan di kedua kelompok hingga akhirnya tingkat kepuasaan pernikahan antara keduanya sama saja.
Riset ini, selain menunjukkan bahwa dalam jangka panjang “cinta” ga terlalu ngefek bagi kebahagiaan perkawinan, juga menunjukkan bahwa….
- Komitmen itu penting. Jauh lebih penting ketimbang faktor apakah pasangan kita sekarang ini sudah ideal.
Dalam hubungan jangka panjang, pasti ada naik turun situasi. Ada saat-saat kamu hanya bisa melihat segala kekurangan pasangan, betapapun sempurna dia di matamu dulu. Tanpa komitmen, bakal lebih besar peluangmu untuk menyerah dan tak mau mempertahankan hubungan di situasi sulit.
Kamu akan merasa tergoda memulai lagi dari awal, dengan orang lain (kalau ada yang mau sih). Tapi jika kalian sudah mengikat janji di depan penghulu, sudah mengundang orang sekampung untuk hadir di resepsi pernikahan, kamu dipaksa berpikir tujuh kali atau bahkan seribu kali lagi untuk memutuskan pisah (ngurus cerai itu ribet, belum lagi menjelaskan ke keluarga, tetangga, teman fesbuk).
- Jangan gampang menyerah saat menghadapi masa sulit dalam hubungan.
Setiap kali kamu dan pasangan berhasil selamat melewati riak atau badai rumah tangga, tingkat kebahagiaan dan kepuasaan pernikahan biasanya meningkat. Dari keberhasilan mengatasi badai demi badai ini, timbul emosi lain yang tidak segegap-gempita “cinta” di awal-awal hubungan. Emosi kali ini, yang lebih layak disebut cinta, lebih tenang, lebih kokoh, dan lebih memuaskan. No pain, no gain.
Sekali lagi ingat, bukan hanya emosi negatif yang bisa memperdaya kemampuan berpikir logis. Emosi positif seperti “cinta” juga bisa lho…
Jadi, hati-hati ya gaess…