Sampai saat ini, umat Islam di Timur Tengah masih berkonflik, terjadi perang saudara. Bahkan, baru-baru ini, Qatar dikucilkan oleh beberapa negara Arab; Bahrain, Arab Saudi, Libya, Yaman, dan Uni Emirat Arab. Dari peperangan yang terjadi di Afghanistan, Irak, dan Suriah saja, sudah berapa juta nyawa yang melayang akibat dari bom, timah panas, roket, dan mesin pemusnah masal. Bagaimana jika perang kemanusiaan terulang kembali di wilayah bagian Arab?
Dalam analisa Depaa Kumar (2012), konflik tersebut tidak bisa dilepaskan dari krisis ekonomi yang dilanjutkan dengan krisis politik di Timur Tengah pasca runtuhnya Sosialisme Arab Nasserian.
Bermula dari itu, lalu muncullah bibit-bibit terorisme, sikap radikal, orang berpandangan eksklusif, yang mempunyai pikiran sempit mengenai agama. Hal itu bisa kita lihat bagaimana pasca peristiwa terorisme di gedung Wolrd Trade Center (WTC) Amerika Serikat (AS), pada 11 September 2001. Mengapa pasca kejadian itu, Bush (Presiden Amerika pada saat itu) langsung menyasar Irak? yang didakwa sebagai biang keladi peledakan di gedung pusat bisnis itu?
Alih-alih dengan dalih pemberantasan terorisme, akan tetapi sebuah kepentingan untuk menguasai sumber-sumber minyak yang ada di sana. Hal ini sebagaimana analisa Neelaa Banerjee (2002) dalam kolomnya di New York Times.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa wilayah Timur Tengah merupakan negeri yang kaya dengan minyak bumi beserta sumberdaya alam lainnya. Namun dengan melimpahnya minyak bumi justru membawa malapetaka bagi masyarakat di sana. Fakta membuktikan bahwa gejolak konflik sampai hari ini belum juga usai.
Latar belakang kepentingan ekonomi-politik tersbut banyak menjadi pendasaran tumbuh suburnya islam radikal diberbagai wilayah dan tak terelakkan juga di Indonesia. Di Indonesia, setelah dimulainya proyek raksasa industrialisasi dan pembangunan oleh pemerintah Orde Baru Suharto memulai tambuh suburnya benih-benih islam radikal di Indonesia.
Benih-benih Islam Radikal di Indonesia merupakan sisa-sisa dari gerakan pemberontakan pembentukan negara Islam DII/TII pimpinan Kartosuwiryo. Sisa-sisa tentara dan simpatisan DII/TII yang hampir musnah itu menjadi bangkit lagi ketika terjadi banyak ketimpangan ekonomi korban pembangunan pemerintah Orde Baru.
Dalam analisa Vedi R. Hadiz (2016) dalam bukunya Radikalisme Islam di Indonesia, kontradiksi dari “Ideologi Pembangunanisme-nya” Suharto yang disokong oleh modal bisnis multi-nasional yang menjadi penyebab dari tumbuh suburnya islam radikal di Indonesia. Ideologi ‘pembangunanisme’ Suharto yang berkompromi dengan kekuatan kepentingan ekonomi multi-nasional membawa implikasi kesenjangan ekonomi yang tajam. Jurang tajam antara pihak yang kaya raya dan miskin semakin tinggi. Terlebih lagi dengan adanya korban penggusuran pembangunan kepentingan negara seperti pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah dan banyak daerah lain, membawa dampak krisis sosial dalam masyarakat semakin tinggi.
Krisis sosial yang diakibatkan oleh kesenjangan kemiskinan yang tajam dalam masyarakat membawa implikasi kepercayaan dalam masyarakat yang merasa didzolimi oleh negara. Perasaan seperti inilah yang memudahkan kelompok-kelompok islam radikal untuk membuat propaganda yang memecah belah di kalangan masyarakat.
Krisis sosial yang disebabkan oleh kemiskinan akut di daerah perkotaan metropolitan, seperti Jakarta belakangan ini, masih menjadi penyebab tetap suburnya ideologi islam radikal. Belakangan, beberapa sumber analisa menyebutkan, bahwa para simpatisan Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid beberapa waktu yang lalu banyak yang terdiri dari korban-korban penggusuran yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jakarta, lebih-lebih Ahok. Perasaan didzolimi dan keinginan balas dendam inilah yang mudah untuk didoktrinasi oleh ormas-ormas islam.
Tidak bisa diabaikan, dalam setiap tumbuh suburnya kelompok islam radikal, dibaliknya dilatarbelakangi oleh krisis sosial akibat kemiskinan akut korban pembangunan demi kepentingan ekonomi dan politik golongan tertentu. Dan selama arah kebijakan negara tidak diubah mengarah kepada perwujudan kesejahteraan masyarakat bawah, maka, akan sulit dilakukannya upaya pemberantasan terorisme sampai ke akar-akarnya. Mengutip KH. Abdurrahman Wahid, bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah sebuah ilusi. Wallahua’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Gusdurian Jogja dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.