Ibnu Jarir at-Tabari dalam kitab sejarahnya yang terkenal, Tarikh al-Umam wal Muluk, mengutip kata-kata Mukhtar at-Tsaqafi yang terekam ketika berbincang-bincang dengan para pendukungnya:
“Saya hanya seorang pemimpin dari Arab. Sebelumnya, saya melihat Ibnu az-Zubair telah menguasai wilayah Hijaz, Najdah al-Khariji telah menguasai wilayah Yamamah dan Marwan telah menguasai wilayah Suriah. Dibanding dengan mereka saat itu, aku tidak menguasai apa-apa. Berangkat dari situ aku berusaha untuk menguasai wilayah-wilayah ini, lalu aku jadilah salah satu pemimpin Arab seperti mereka. Kendati demikian, tidak seperti mereka, aku menguasai wilayah-wilayah ini dengan mengambil legitimasi dari menuntut darah Ahli Bait Nabi karena orang-orang Arab sudah mulai melupakannya. Aku berperang atas nama cucuran darah mereka dan aku berusaha mati-matian menuntut darah mereka sampai saat ini.”
Itulah pengakuan Mukhtar bin Ubaid at-Tsaqafi di fase akhir hidupnya ketika berbincang-bincang dengan salah satu pendukungnya. Ia meninggalkan istananya di Kufah untuk menghadapi pasukan Ibnu Zubair yang mengepung dan memeranginya. Mukhtar pun melakukan perlawanan dan tewas di pertempuran tersebut. Peristiwa ini terjadi di tahun 67 hijriyyah ketika Negara Islam Arab saat itu sedang mengalami kembali perang saudara yang muncul pasca wafatnya Yazid bin Muawiyah tahun 64 hijriyyah.
Anaknya Yazid sendiri yang sering dijuluki Muawiyah Kedua telah mengundurkan diri dari jabatan sebagai khalifah. Muawiyah Kedua memegang tampuk kekuasaan hanya empat puluh hari. Setelah itu, ia menawarkan agar khalifah selanjutnya dipilih berdasarkan sistem syura. Muawiyah Kedua juga menolak untuk digantikan oleh orang lain dari kalangan keluarganya sendiri, yakni dari Bani Umayyah.
Berangkat dari keputusan ini, terpecahlah aliansi kesukuan yang menjadi perekat bagi kerajaan Bani Umayyah. Dampaknya, suku-suku keturunan Qais cenderung mendukung kepemimpinan Ibnu az-Zubair yang sebelumnya melakukan aksi revolusi terhadap Yazid di Mekkah tahun 63 hijriyyah yang didasarkan kepada Ashabiyyah orang-orang Hijaz dari suku Quraish melawan dominasi Bani Umayyah. Sedangkan suku-suku Yaman sendiri di Suriah terbelah menjadi dua; ada yang memihak kepada Khalid bin Yazid dan ada yang mendukung Marwan bin al-Hakam. Kedua tokoh ini masing-masingnya berasal dari Bani Umayyah.
Namun pada tahap selanjutnya perpecahan di tubuh Bani Umayyah dan aliansi kesukuannya berakhir dengan kemenangan Marwan bin al-Hakam di Muktamar al-Jabiyah. Di Muktamar ini, Bani Umayyah dan aliansi suku yang mendukungnya telah sepakat membaiat Marwan bin al-Hakam sebagai khalifah pada tahun 64 hijriyyah.
Kendati demikian, bukan hanya Marwan bin al-Hakam, khalifah di wilayah Suriah dan Abdullah bin az-Zubair, khalifah di wilayah Hijaz yang bersaing memperebutkan tampuk kekhilfahan dalam Islam, namun juga Khawarij di Yamamah. Sebagian orang-orang Khawarij berpindah ke Yamamah setelah berseteru dengan Ibnu az-Zubair pasca sama-sama memerangi pasukan Yazid bin Muawiyah di Mekkah. Di Yamamah ini, ditunjuk pula khalifah bernama Najdah bin Amir al-Hanafi.
Demikianlah, Negara Arab Islam terpecah baik secara geografis maupun secara kesukuan menjadi tiga wilayah besar: Suriah, Hijaz dan Yamamah. Tiga wilayah besar ini memiliki khalifah dan wilayahnya tersendiri yang masing-masingnya bersaing untuk memperebutkan tampuk kekhilafahan Islam secara keseluruhan.
Berdasarkan kepada pemetaan tiga wilayah yang berkonflik ini, pertanyaan yang muncul kemudian ialah bagaimana dengan wilayah Irak? Dan siapa pemimpinnya? Dari sinilah muncul Mukhtar bin Abi Ubaid at-Tsaqafi yang berambisi untuk mendapatkan tampuk kekhilafahan melalui jalur pembelaan terhadap Ahli Bait Nabi Muhammad SAW.
Al-Mukhtar berangkat dari wilayah Kufah dengan menjadikan tuntutan darah Ahli Bait sebagai basis legitimasi bagi gerakan politiknya. Al-Mukhtar bin Abi Ubaid at-Tsaqafi merupakan salah satu tokoh penting Arab di wilayah Irak. Jika dilihat secara garis keturunan, Al-Mukhtar adalah cucu tokoh besar bernama Mas’ud at-Tsaqafi yang di masa Jahiliyyah tergolong aristocrat yang kaya raya dan terkenal.
Selain itu, Abu Ubaid bin Mas’ud at-Tsaqafi, ayah kandung al-Mukhtar, merupakan salah satu tokoh penting penaklukan wilayah Irak di masa Umar bin al-Khattab. Abu Ubaid diangkat Umar untuk menjadi panglima militer memimpin seribu tentara dari Madinah dan sekitarnya untuk menaklukan wilayah-wilayah kerajaan Persia di Irak. Abu Ubaid menjadi panglima perang umat Islam di Irak saat itu sampai akhirnya mati syahid dalam salah satu pertempuran dengan tentara Persia di tahun 13 hijriyyah.
Al-Mukhtar lahir di tahun pertama hijriah. Ia telah kehilangan ayahnya di umur 13 tahun dan diasuh oleh pamannya yang bernama Sa’ad bin Mas’ud at-Tsaqafi yang saat itu menjadi gubernur di wilayah al-Mada’in. Sa’ad bin Mas’ud diangkat menjadi gubernur di wilayah ini saat ia memerangi kaum Khawarij. Pada tahun 40 hijriyyah, ketika Muawiyah bin Abi Sufyan datang ke Kufah ingin menghadapi al-Hasan, banyak orang yang lari dari al-Hasan bin Ali dan bahkan ada yang sempat melukainya sehingga terluka.
Melihat kondisi seperti ini, akhirnya Sa’ad bin Mas’ud memberikan perlindungan kepada al-Hasan bin Ali. Al-Mukhtar yang saat itu berada di rumah pamannya ini meminta agar pamannya menyerahkan al-Hasan kepada Muawiyah agar ia tetap dalam jabatannya sebagai gubernur di al-Madain. Sa’ad bin Mas’ud pun lantas menghardik keponakannya sendiri dan memarahinya karena bersikap kurang ajar terhadap al-Hasan bin Ali.
Penuturan dari Ibnu Jarir at-Tabari ini mengesankan bahwa al-Mukhtar merupakan sosok pemuda yang sangat ambisius dalam berpolitik. Al-Mukhtar berasal dari Tsaqif, sebuah kabilah terkenal yang merupakan aliansi Quraisy. Al-Mukhtar juga jika dirunut lagi nasabnya berasal dari kabilah Hawazin yang merupakan suku Qais terkuat. Ayah al-Mukhtar pernah menjadi panglima tentara penaklukan wilayah Irak sedangkan pamannya, Sa’ad bin Mas’ud, pernah menjadi gubernur di wilayah al-Mada’in.
Selain itu, kedudukan al-Mukhtar juga diperkuat dengan menikahi puteri-puteri para tokoh besar di masanya; salah satu istrinya ialah puteri an-Nu’man bin Basyir al-Anshari, gubernur Kufah di era Yazid bin Muawiyah. Istrinya yang lain ialah puteri wakilnya Ziyad bin Abihi, gubernur Basrah di masa Muawiyah. Posisi al-Mukhtar diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa saudarinya menjadi istri Abdullah bin Umar bin al-Khattab. Relasi ini paling tidak menguntungkan dan menyelamatkan al-Mukhtar, terutama ketika berkali-kali dijebloskan ke dalam penjara karena ambisi politiknya yang besar.