Majalah satir Charlie Hebdo (CH) yang berkantor di Paris kembali membuat panas dunia. CH merilis kartun Nabi Muhammad untuk edisi awal September 2020. Padahal pengalaman menunjukkan, kartun Nabi Muhammad yang dirilis media massa selalu membuat geger. Bahkan mengakibatkan banjir darah.
Korban pertama akibat Charlie Hebdo berkartun Nabi itu adalah Samuel Paty, 47 tahun. Ia seorang guru yang memperlihatkan kartun nabi di hadapan murid-muridnya di Paris. Paty melakukan hal itu untuk memberi contoh kebebasan berekspresi di negeri demokrasi seperti Prancis. Tanggal 16 Oktober, 2020, ketika Paty pulang dari mengajar, ia dibunuh Abdoullakh Anzorof (AA), 18 tahun, remaja asal Chechnya. Paty dianggap menista Islam oleh AA.
Kamis, 29 Oktober 2020, tiga orang tewas di gereja Notre-Dame, Basilica, kota Nice. Brahim Aioussaoi (BA ), 21 tahun, warga Tunisia, menyerang orang-orang yang tengah berkumpul di gereja dengan pisau. Tiga orang tewas. BA melakukan aksi terorismenya terkait kartun di CH tadi. Entah berapa korban lagi yang akan ambruk akibat pemuatan kartun tersebut.
Kita tentu masih ingat peristiwa terorisme 4 tahun lalu akibat hal sama. Tiga teroris — Cherif Kouachi, Said Kouachi, dan Hamyd Mourad, Rabu (7/1/2016) — membunuh 12 wartawan CH di kantornya di Paris. Ketiga teroris pun tewas setelah dor-doran dengan polisi.
Pers internasional mengecam aksi teroris ketiga pemuda Muslim itu. Apa yang dilakukan mereka — tulis Wahington Post — jelas-jelas “membunuh” kebebasan berpikir dan berekspresi yang telah berabad-abad diperjuangkan bangsa Barat. Dalam Islam, apa yang dilakukan ketiga pemuda itu juga tidak bisa diterima. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad harusnya dihadapi dengan cara-cara hikmah dan mauidah hasanah.
Nabi Muhammad sendiri dalam sejarah tercatat sering dihina, bahkan dilempar dengan kotoran unta dan bata ketika sedang berdakwah. Tapi putra Abdullah itu tidak pernah marah. Bahkan, apa yang dilakukannya, membalas para penghina itu dengan aksi simpatik. Nabi berdoa agar mereka diberi kesadaran dan pengetahuan sehingga kelak masuk Islam.
Jika tidak, Nabi berharap anak cucunya kelak menjadi Muslim. Apa yang dilakukan para teroris yang mengaku beragama Islam itu jelas jauh dari yang dicontohkan Rasul.
Pembunuhan Paty, serangan di Nice yang menewaskan tiga orang, dan sebelumnya penembakan 12 wartawan CH di Paris, jelas memperburuk citra Islam di mata internasional. Apalagi kasusnya terjadi di Paris, ibu kota negara yang mendewakan kebebasan berekspresi.
Di Jerman, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir muncul gerakan anti-Islam bernama Pegida (The Patriotic Europeans against the Islamisation of the West). Pegida adalah kelompok sayap kanan Jerman yang dikenal menentang Islam dan imigran. Jumlah kelompok ini makin lama makin banyak karena ada kesamaan visi: orang Jerman harus hidup dan bekerja di Jerman. Sedangkan orang asing, imigran—terutama yang berasal dari negara-negara Islam—harus pergi dari Jerman karena telah merampas peluang kerja orang pribumi.
Meski Kanselir Jerman Angela Merkel menentang gerakan xenofobia, tapi karena visinya “pragmatis” dan membela warga Jerman yang menganggur, Pegida mendapat simpati masyarakat bawah. Gerakan antiimigran dan anti-Islam juga berkembang di Belanda. Bahkan, di Belanda ada partai antiimigran dan anti-Islam yang jumlah suaranya cukup signifikan. Pemimpin Partij voor de Vrijheid (PVV) yang antiislam itu Geert Wilders. Ia dikenal sebagai orang yang sering menghina Islam dan Nabi Muhammad.
Di Prancis ada Marine Le Pen, pimpinan Partai Front Nasional yang berpengaruh dan sehaluan dengan Wilders di Belanda. Front Nasional adalah partai terbesar ketiga di Prancis. Sedangkan, di Austria dan Belgia ada Freedom Party yang juga sehaluan dengan Partai Front Nasionalnya Le Pen. Macron sendiri sebetulnya pemimpin Prancis moderat, bersebrangan dengan Le Pen yang rasis.
Eropa adalah benua kebebasan. Gerakan antiimigran dan anti-Islam terus membesar di sana. Namun sebaliknya, Islam juga makin berkembang di Eropa. Bertambahnya pemeluk Islam di Eropa bukan hanya berasal dari imigran Timur Tengah dan Turki, tapi juga dari orang-orang kulit putih warga setempat.
Di Inggris, misalnya, tiap tahun ribuan warga negara Inggris kulit putih masuk Islam. Inggris adalah negara Eropa dengan jumlah penduduk muslim terbesar di benua biru itu. Banyak muslim menduduki jabatan publik strstegis di Inggris. Salah satunya Sadiq Khan, wali kota London.
Dari konteks inilah kita melihat kasus Charlie Hebdo. Majalah ini, dalam beberapa penerbitannya memang sering membuat kartun yang mengolok-olok. Bukan hanya Nabi Muhammad, Jesus pun diolok-olok dengan kartun seronok.
baca juga: Tantangan Islam di Prancis paska Charlie Hebdo terbitkan kartun Nabi Muhammad
Dalam salah satu kartunnya, CH menulis: Jesus was child of sin, scourage of dragons, sandpit faith-healer, child killer, blinder of men, hyperactive child-king, tormentor of his teachers, and apprentice prophet. Harusnya umat Nasrani seluruh dunia marah. Tapi mereka memaklumi, karena CH memang majalah satir dan sensasional yang terbit dengan cara mengolok-olok kemapanan. Entah itu agama, politik, kerajaan, dan lain-lain. Olok-olok terhadap kemapanan itu, bagi demokrasi Barat adalah bagian dari ikhtiar menjaga kebebasan ekspresi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, misalnya, sering menjadi objek kartun CH. Juga Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron sendiri. Di antara ketiga presiden itu, hanya Erdogan yang kebakaran jenggot.
Ia marah dengan cara memboikot produk Prancis. Erdogan pun minta dunia Islam memboikot produk Prancis. Boikot itu, entah karena kartun satir Erdogan atau Nabi Muhamad. Erdogan dan Turki yang sedang terpuruk secara ekonomi dan politik, memang sulit membedakan kartun mana yang membuatnya marah.
Karikatur Charlie Hebdo edisi Rabu yang dirilis daring pada Selasa (27/10/2020), misalnya, menunjukkan Erdogan memakai kaos dan celana pendek, memegang minuman, lalu tangan kirinya mengangkat baju wanita berhijab sampai bokongnya terlihat. Di kartun itu ada tulisan: Erdogan lucu.
Pada edisi November 2016, sampul majalah itu menampilkan kartun Trump yang sedang menyeringai dengan jas hitam, memegangi seorang wanita di antara kedua kakinya dan menjuntai terbalik. “Haruskah kita memberinya tombol nuklir?”
Tahun 2017, CH juga memajang karikatur Presiden Macron bersama istrinya, Brigitte. Di cover depan, CH memajang kartun Macron yang sedang memegangi perut istrinya yang terlihat hamil. Jelas ini satir kurang ajar karena Brigitte usianya 24 di atas Macron dan tak mungkin hamil. Putri sulung Brigitte saja lebih tua dari Macron. Tapi anehnya, ketika umat Islam marah kepada CH, Macron membelanya. Kekesalan pribadi Macron terkalahkan oleh prinsip kebebasan ekspresi sebagai basis demokrasi liberal yang dijunjung tinggi Prancis.
Itulah gaya blasphemy CH. Membuat orang tertawa, kadang marah. Makin marah objek kartunnya, wartawam CH makin senang karena satirnya berhasil. Umat Islam yang marah terhadap kartun Nabi Muhamad jelas hanya membesarkan kepala awak CH. Dengan kemarahan umat Islam, negara-negara Barat makin cekikikan. Dan mereka makin respek kepada CH.
CH memang nakal. Ia tak peduli umat Islam yang sangat menghormati nabinya. Karena mereka tak merasakan getaran kemuliaan nabi yang cinta damai. Tapi satu hal jelas: Nabi Muhammad jauh lebih besar dari apa yang diilustrasikan para kartunis CH.
Para kartunis itu mungkin lupa atau tidak tahu bahwa ajaran Muhammad-lah yang membuat Eropa maju seperti sekarang (melaui karya-karya Ibnu Rusd, Ibnu Sina, Al-Jabr, Al Battani, Ibnu Khaldun, dan lain-lain). Jika saja awak redaksi CH merenungkan apa yang ditulis Thomas Carlyle dalam bukunya, His Heroes And Heroworship, niscaya mereka tak akan “tega” membuat karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad.
Tulis Carlyle, “Betapa menakjubkan seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden (badui) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua dekade. Muhammad adalah sesosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia.”