Akhir-akhir ini saya cukup gerah karena melihat tayangan televisi yang selalu menyiarkan debat kusir antar dua kubu politik yang saling bersebrangan, ujaran-ujaran kebencian tak jarang ikut terucap.
Lelah menonton tayangan yang seperti itu, suatu malam saya memutuskan untuk ikut hadir ke acara peringatan maulid Nabi Muhammad Saw yang diselenggarakan di sebuah masjid di kawasan Bekasi. Lokasinya hanya beberapa meter dari tempat tinggal saya.
Dengan menghadiri maulid tersebut, saya berharap bisa mendapatan ilmu baru dan ketenangan hati dari tausiyah yang disampaikan oleh para ulama.
Suara syair thala’al badru yang diiringi tabuhan hadroh mulai menggema ketika sang ustadz memasuki area masjid. Segenap jamaah yang memadati area masjid refleks berdiri, tanda takzim kepada sang ustadz.
Ada dua orang ustadz yang datang kala itu, Ustadz Yani Sapri dan Ustadz Haikal Hasan. Ustadz Yani Sapri maju terlebih dahulu, memegang mikrofon lalu mengucap salam.
Setelah mengucap salam, kata-kata pertama yang keluar dari lisannya adalah “Siap bela Islam?” “Siap bela ulama?” “Siap satu komando?” Para jamaah pun dengan lantang menjawab “Siap”.
Seketika saya sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Ya, tentu saja tidak akan jauh dari unsur politik.
Meskipun Ustad Yani hanya berdiri di panggung selama 15 menit, telinga saya menjadi panas mendengar kalimat yang tak sedikit pun mengandung ilmu dan manfaat. Semua kata-kata yang keluar hanyalah umpatan dan caci maki. Hal-hal yang dibahas pun mengenai rezim, PKI, non-muslim, kafir, munafik dan lain sebagainya.
Salah satu ucapannya kira-kira begini “Bagaimana Jakarta kemarin, apa maju?, Kenapa ngga maju? Ya karena ada si Ahok brengsek itu. Kalau sekarang bagaimana? Udah maju? Ya belum juga, kecuali kalau si Ahok udah mampus.”
Seketika suara tawa membanjiri masjid, tetapi saya malah mengeluarkan air mata. Sedih dan kesal karena lagi-lagi mendengar ujaran kebencian, kali ini justru bukan di televisi atau media sosial, melainkan di rumah Allah yang mulia.
Di akhir ceramah, Ustadz Yani Sapri kemudian berkata, “Di saat seperti ini kita tidak boleh memilih nomor satu. Wajib hukumnya memilih nomor dua.”
Setelah ceramah Ustadz Yani selesai, acara diselingi dengan santunan anak yatim. Ada satu orang anak yatim yang maju sebagai perwakilan pemberian santunan.
Namun Ustadz Haikal Hassan tiba-tiba mengambil mikrofon seraya berkata “Jangan satu, dua. Jangan satu, dua”. Kata-kata itu berkali-kali diucapkan. Anak yatim yang sudah siap di posisinya hanya melongo tak faham, akhirnya panitia pun memanggil satu orang anak yatim lagi untuk maju ke panggung.
Ceramah yang disampaikan Ustadz Haikal dimulai dengan doa-doa untuk Habib Rizik Shihab, beliau juga menganjurkan agar para jamaah senantiasa berada di bawah satu komando, yakni komando Habib Rizieq Shihab. Rupanya isi ceramah beliau pun tak jauh berbeda dengan penceramah sebelumnya, meski Ustadz yang sering dipanggil Babe ini juga membahas tentang kehidupan Rasulullah Saw.
Di ujung ceramahnya, beliau menghimbau kepada jamaah untuk senantiasa melindungi para habaib di tengah pemerintahan yang menurut beliau sebagai “rezim yang mengkriminalisasi para ulama”.
Ternyata bukan kali ini saja Ustadz Haikal Hasan menyelipkan unsur politik dalam ceramahnya. Dalam sebuah video berjudul “#3 Ceramah Lucu Ustadz Haikal Hasan, Pendukung Jokowi Saudara Kita” di channel YouTube “Pecinta Habib Rizieq Syihab” Ustadz Haikal Hasan bahkan bernyanyi di depan jamaah
Ayo kawan kita berjuang, kita menangkan Prabowo Sandi
Ambil Hp-mu, Ambli gadjetmu, Kita berjuang di mana saja
Panik-Panik ada yang panik, ada yang panik takut diganti 4x
Sedih dan lelah rasanya mendengar ujaran kebencian di mana-mana, baik di televisi, media online, media sosial hingga di masjid. Tidak hanya ujaran kebencian, saat ini masjid bahkan menjadi tempat yang sangat “strategis” untuk berkampanye.
Apalagi jika yang berkampanye adalah para ustadz yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Masyarakat Indonesia sendiri masih sangat terpengaruh dengan opinion leader. Menurut mayoritas masyarakat, ustadz adalah panutan yang mesti didengar dan dipatuhi perintahnya.
Padahal maulid nabi adalah ajang untuk mengenang sifat-sifat dan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW, bukan tempat untuk menyebarkan ujaran kebencian dan berkampanye. Apalagi yang hadir di majelis maulid Nabi itu pun beragam, dari mulai anak-anak hingga kakek nenek. Tak semuanya mampu memilah-milih informasi dengan baik.
Habib Ahmad bin Novel bin Jindan pernah menghimbau kepada seluruh pendakwah untuk melepaskan semua kepentingan dalam ceramah maulidnya. Karena yang diharapkan seseorang ketika hadir di acara maulid adalah mendengarkan kelembutan akhlak nabi, bukan caci maki, apalagi kampanye.
Wallahu a’lam bisshowab