Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke rumah guru saya sewaktu. Diniyah (belajar Islam untuk pemula-red) dahulu. Beliau adalah guru senior sekaligus kepala madrasah, seseorang yang paling dihormati baik oleh sesama guru maupun oleh para santri. Singkat cerita, dalam kunjungan itu beliau menyodorkan beberapa lembar kertas berisi tulisan tangan beliau kepada saya, yang di dalamnya memuat penjelasan fiqh sederhana tentang kasus sehari-hari yang sering ditemui masyarakat.
Setelah saya rampung membaca, beliau menjelaskan apa yang ada dalam tulisan. Sekarang ini, kata beliau, masyarakat cenderung keliru dalam memahami suatu permasalahan hukum yang sangat dekat dengan mereka. Beliau mencontohkan dengan penetapan wali nikah. Sembari menerawang diselingi tawa yang khas, beliau bercerita tentang ikut campur beliau dalam “urusan” orang lain perihal wali. Beliau sempat menelepon KUA untuk mengganti wali nikah yang sebelumnya keliru ditetapkan. “Nya kumaha deui, Bapa teu bisa cicing wae,” (ya mau bagaimana lagi, Bapak tidak bisa diam saja), kata beliau.
Masyarakat perlu, dalam hal ini, untuk mengetahui dengan tepat beragam persoalan sehari-hari yang sangat dekat. Dalam penjelasan selanjutnya, beliau juga sempat menceritakan tentang salah kaprah warga mengenai ketentuan kurban, yang beliau koreksi setelah sekian lama dianggap menjadi sebuah hal yang final. Saat ini, di lingkungan beliau sudah banyak yang perlahan-lahan mulai beranjak dari pemahaman hukum yang kurang tepat.
Agaknya kasus serupa seperti yang diceritakan guru saya ini kerap kali terjadi di lingkungan lain, tentu dengan permasalahan yang semakin beraneka ragam. Figur seperti beliau inilah yang begitu dibutuhkan berada di tengah-tengah masyarakat. Hal ini lalu membuat saya teringat akan kegiatan pengajaran agama di kampung, sebuah forum yang dikenal dengan sebutan majelis taklim yang biasanya diikuti oleh ibu-ibu.
Sehari setelah kunjungan ke rumah guru, saya kebetulan mengikuti salah satu majelis taklim di masjid kampung, yang baru saja diadakan kembali setelah sebelumnya diliburkan karena PSBB. Seluruh peserta adalah ibu-ibu, selain saya tentunya. Di depan mereka duduk Pak Ustaz yang secara reguler memberikan tausiah keagamaan.
Karena itu adalah hari pembukaan, materi yang disampaikan tidak seperti biasanya. Namun, dari yang saya dengar saat itu, saya menyimpulkan bahwa kebanyakan isi pengajian adalah tentang tawakkal, sabar, takwa, dan lainnya, yang berorientasi pada akhlak-tasawuf amali. Ini sangat baik, sudah tentu, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di benak saya.
Itu adalah cerita guru saya tempo hari, tentang pemahaman masyarakat atas fiqh sehari-hari. Saya jadi kepo, apakah ibu-ibu yang hadir di majelis sudah menyingkirkan mukena dari balik telapak tangan ketika hendak sujud, atau tidak melewatkan satu pun anggota badan ketika mandi junub. Saya juga penasaran, apakah ibu-ibu sudah lancar membaca Al-Qur’an atau masih terbata-bata.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan pengajian yang modelnya seperti di atas. Penyegaran-penyegaran spiritual di zaman ini tentu dibutuhkan. Meskipun begitu, alangkah baiknya jika pengajian juga diisi dengan pencerahan tentang fiqh atau hukum dari hal-hal remeh yang kita temui sehari-hari, didampingi dengan kegiatan tahsin bacaan Al-Qur’an masing-masing.
Sangat relate dengan yang saya ceritakan di atas, kiai saya suatu ketika juga pernah mengutarakan hal yang sama. Kami (para santri) sedang bandongan (pengajian kitab di mana para santri mendengarkan penjelasan kiai/nyai lalu mencatat hal-hal penting) kitab Safīnah al-Ṣalāh, kitab tipis tentang salat. Saat itu beliau ngendikan, bahwa sebenarnya hal-hal seperti inilah yang seharusnya diajarkan kepada masyarakat, karena pengajaran tentang ketaatan, maksiat yang harus dijauhi, dan tema-tema ala pengajian kampung biasanya pasti sudah banyak dilakukan.
Positifnya, edukasi pada masyarakat tidak melulu itu-itu saja. Namun, tentu saja persoalan hukum, apalagi yang berkaitan dengan keseharian, sudah barang tentu sangat banyak macamnya. Ustaz dan ustazah harus benar-benar memiliki wawasan yang luas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, majelis taklim sudah tepat menjadi wadah untuk menuntut ilmu agama bagi masyarakat di kampung.
Eh, tapi mengapa majelis taklim kebanyakan hanya berisi ibu-ibu, ya?