Cerita korban bom terorisme menjadi cerita senyap jarang terdengar cerita. Beberapa waktu lalu, dalam agenda WGWC Talk mengangkat isu korban bom dan pemenuhan hak korban. Selama ini, cerita korban bom terorisme hanya diangkat pada saat kejadian saja. Selebihnya, suara korban jarang terdengar. Selama ini, karena kemarahan negara dari seluruhnya menyoroti pelaku dan orang-orang yang terlibat.
Padahal, suara korban bom sangat berdampak besar yaitu, berdampak pada propaganda kelompok terorisme itu. Narasi korban ini menjadi kuat di pengadilan dan di masyarakat. Di mana bisa berdampak pada penolakan ideologi yang dibawa oleh para terorisme. Namun, narasi korban masih belum banyak terdengar.
Di sisi lain, paska kejadian bom terorisme, tidak jarang para korban menjadi disabiltas, kehilangan orang yang dicintai dan lainnya. Hal lainnya yang perlu diketahui, para korban bom masih banyak mengalami taurama dan harus melakukan pemulihan luka tersebut. Misalkan, korban bom Bali yang masih meminum pil hingga saat ini. Dari segi kesehatan masih banyak bermasalah. Hal-hal seperti ini perlu disupport negara dan masyarakat.
Hal yang paling dilematis terjadi adalah isu kompensasi yang lama diberikan oleh pemerinta keppada korban. Di saat yang bersamaan, kompensasi juga tidak bisa menjawab keadilan dari para korban itu sendiri. Tidak jarang di masyarakat timbul jealious terhadap korban bom. Sikap-sikap seperti ini, masyarakat perlu diedukasi agar hal-hal seperti ini tidak terjadi. Sehingga, masyarakat bisa menggalang solidaritas kepedulian kepada para korban.
Pada 2019 pemerintah telah memberikan kompensasi kepada 21 korban terorisme di Riau, Surabaya, Cirebon dan Lamongan. Bahkan, sejak 2017 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sejak 2017 telah memberikan kompensasi bagi 60 orang korban dari pelbagai peristiwa serangan teror. Namun, pemberian kompensasi tersebut ternyata masih mendapatkan kendala.
Persoalan data menjadi krusial karena akan berhubungan langsung dengan kompensasi maupun hak hak yang akan diterima para korban. Ia mencontohkan sejak 2002 – 2014 hak yang diberikan negara hanya sebatas kompensasi. Pada 2018, kompensasi diberikan kepada komunitas korban bom Thamrin, komunitas bom Kampung Melayu dan Penyerangan di Medan. Sehingga, dibutuhkan peraturan yang untuk melindungi kompensasi kepada korban bom tersebut. Sayangnya, peraturan tersebut masih mandeg di tengah jalan.
Memasuki 2020, pemerintah masih harus merampungkan pekerjaan rumah yang belum selesai di tahun kemarin, antara lain penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. PP tersebut sebagai aturan turunan dari UU No. 5 Tahun 2018 yang merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, serta asesmen dan verifikasi terhadap korban terorisme yang peristiwanya terjadi sebelum UU revisi diterbitkan (korban lama).
Kementerian/lembaga memiliki peranan penting sebagai kunci keberhasilan pemenuhan hak korban terorisme secara terintegrasi. Dalam sebuah diskusi, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengungkapkan masalah masalah koordinasi yang masih perlu ditingkatkan dalam kerjasama tersebut. Serta terdapat empat tantangan yang perlu dipahami dalam pemenuhan hak korban terorisme. Di antaranya :
- Pemenuhan hak korban terorisme belum menjadi nomenklatur dalam perencanaan anggaran dan kegiatan Kementerian/Lembaga.
- Data korban perlu terus diperbarui dan dikomunikasikan ke Kementerian/Lembaga
- Perlu kebijakan afirmatif untuk memasukkan korban terorisme ke dalam sasaran program bantuan sosial reguler atau program bantuan sosial lainnya
- Perlunya terobosan terkait sumber pembiayaan seperti pemanfaatan Belanja Tak Terduga (BTT) dan Dana Siap Pakai (DSP).
Walaupun begitu, kita perlu mengapresiasi kerja pemerintah dalam pelayanan kepada penyintas serta telah bekerjasama dengan berbagai kementerian untuk menyalurkannya. Misalkan, bantuan kemensos untuk para korban, beasiswa bagi anak-anak korban terorisme ini sudah disalurkan. Adapun beberapa hal tentang kompensasi korban, itu dilakukan oleh LPSK.
Terakhir, korban terorisme 2004, Nanda Olivia sempat menceritakan pihaknya telah menjalani perawatan konstruksi tangan di Australi. Cerita kompensasi dari negara, awalnya hanya dianggap sebuah becandaan tentang beberapa kerugian korban bom. Namun, dengan seringnya berkomunikasi dengan para korban lainnya, dirinya baru mengetahui tentang kompensasi korban bom terorisme.
”Untuk korban bom terorisme kedutaan Australi 2004 masih belum mendapatkan kompensasi, tapi kami sudah mendapatkan bantuan kesehatan dari pemerintah,” katanya.
Pihaknya berharap kompensasi bagi para korban segara dituntaskan untuk semua kasus terorisme. Diakui olehnya, para penyintas masih banyak yang mengeluhkan luka akibat teror bom yang dialami oleh mereka. ”Setelah sekian belas tahun, masih merasakan luka akibat yang mereka rasakan,” pungkasnya.
Jadi begitulah, kisah-kisah para korban terorisme ini jarang kita dengar dan konpensasi juga setengah jalan, hidup pun terasa kian berat.