Perawakannya tidak tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Sebut saja namanya Parmin, pria yang mengenakan setelan kaos warna kuning dan celana pendek dengan rambutnya yang sudah beruban namun tetap bugar ini, setiap harinya mangkal di depan stasiun Jombang, Jawa Timur. Ia dan beberapa tukang becak motor lainnya dengan setia menunggu calon penumpang, meskipun seringkali tidak ada yang memakai jasa mereka karena kondisi pandemi hingga saat ini.
Siang itu, saya turun dari kereta Yogyakarta-Jombang dan sedang menunggu bus jurusan Jombang-Tuban. Seorang Pria yang lebih muda, kira-kira usia 48 tahun yang juga berprofesi sebagai tukang becak motor mempersilahkan saya untuk menunggu bus sambil berteduh di tempat mangkal; di bawah pohon yang lumayan rindang. Cukup sejuk dan teduh untuk digunakan sebagai tempat mangkal sambil menunggu para penjaja jasa Becak Motor stasisun.
Saya pun akhirnya duduk di sebuah kursi persegi dengan ditemani pak Parmin. Melihat kondisi setahun terakhir dengan kondisi pandemi, saya pun penasaran terkait bagaimana pak Parmin dan kawan-kawannya, para tukang becak motor stasiun, ini mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari, terutama di masa pandemi ini.
Dengan nada bicara yang sopan dan menggunakan bahasa Jawa yang halus (kromo) ia menceritakan bagaiaman upaya yang ia lakukan untuk survive selama masa pandemi sambil menunjukkan mimik wajah yang penuh dengan penerimaan atas segala yang terjadi di hidupnya. Kurang lebih, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Parmin mengatakan:
“Ya bagaimana lagi mas, kondisinya sudah seperti ini. Apalagi ada larangan mudik dari pemerintah yang tentu ini juga jelas membuat sepi penumpang. Orang belum ada pandemi saja, penumpang tidak banyak. Kalah sama ojek online. Apalagi ada pandemi, sepi. Belum lagi ada larangan mudik dari pemerintah. ‘Poko’e rasio dijagakno’ (pokoknya tidak bisa diharapkan). Padahal rame-ramenya penumpang tuh harusnya pada saat mudik lebaran.”
Satu hal yang lebih mencengangkan lagi ialah ketika tukang becak motor stasiun yang mengaku sudah berusia 70 tahunan ini mengatakan, bahwa sebenarnya dia dan kawan-kawannya mangkal setiap hari-tidak hanya di stasiun namun berpindah-pindah tergantung situasinya-bukan untuk mencari pelanggan yang bersedia menggguanakan jasanya. Namun, lebih pada mengaharapkan kebaikan orang-orang, khususnya saat bulan Ramadhan ini, yang membagikan sedekah; entah berupa makanan, sembako, ataupun uang.
“Seringnya di stasiun, mas. Tapi terkadang juga pindah-pindah ke tempat-tempat dekat sini yang biasanya ada orang-orang baik ngasih sedekah. Tapi yang seperti itu kan tidak bisa diharapkan juga. Kalau rejeki ya pasti ada jalannya. Cuman kita ini kan juga harus berusaha untuk menemukan jalannya. Intinya harus ‘nriman’, Mas,” tambahnya.
Miris memang ketika mendengarkan cerita demikian yang bisa jadi di luar sana juga banyak parmin-parmin lain yang menjalani kehidupan serupa di tengah kondisi pandemi ini. Apalagi, pak Parmin tentu tidak mencari penghasilan hanya untuk dirinya sendiri, namun ada istri, anak, dan cucunya di rumah yang menunggu hasil dari jerih payah pak Parmin selama seharian.
Lain halnya dengan yang dialami oleh Mukiyar, tetangga saya, seorang pemuda yang tinggal di pelosok desa daerah bantaran sungai Bengawan Solo (Plandirejo) yang masih dalam wilayah kadipaten Tuban. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, Ia tinggal di desa sebelah (Bandungrejo) bersama dengan istri dan mertuanya yang berprofesi sebagai seorang pedagang di pasar tradisional “Pasar Baru Tuban.” Pada saat Razia Covid-19, para pedagang di sana, termasuk mertuanya diminta untuk melakukan test swap di tempat. Singkat cerita, mertuanya dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan tes PCR yang momen tersebut bertepatan beberapa hari setelag hari raya Idul Fitri tahun lalu.
Mengingat Mukiyar tinggal bersama dengan mertuanya, dan pada saat lebaran dia telah berinterkasi dengan beberapa orang, termasuk orang tuanya sendiri. Akhirnya, setelah pemerintah desa mendengar bahwa mertua Mukiyar telah dibawa ke Rumah Sakit untuk menjalani isolasi, pemerintah desa melakukan pendekatan pada Mukiyar yang kebetulan dalam beberapa hari terakhir menginap di sana. Tujuannya tidak lain adalah agar ia dan keluarganya bersedia melakukan isolasi mandiri dan tidak berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Mukiar dan keluarnya pun menuruti saran dari pemerintah desa.
Dari sini lah kemudian cerita tentang orang-orang baik dimulai. Karena Mukiyar dan keluarganya sedang melakukan isolasi mandiri di rumah, tentu hal ini sangat membatasi ruang gerak mereka, termasuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan sekedar kebutuhan untuk masak. Namun, para tetangganya yang mengerti kondisi demikian secara suka rela dan secara bergantin memberi bantuan berupa sayuran dan bumbu masak yang setiap hari mereka taruh di teras rumah Mukiyar agar bisa digunakan untuk memasak oleh Mukiyar dan keluarganya.
Lebih dari itu, para tetangga dan pengurus desa juga menunjukkan empati mereka dengan menjenguk keluarga Mukiyar. Tentu, kisanak sekalian jangan membayangkan jika prosesi menjenguknya dengan masuk ke rumah dan berbincang santai menanyakan kabar ala menjenguk orang sakit pada umumnya. Bukan begitu!
Para tetangga yang menjenguk tetap mematuhi protokol Kesehatan. Mereka berdiri di depan/samping rumah dengan jarak kisaran 3 meter, sedangkan Mukiyar dan keluargnya berada di dalam dan berdiri di balik jendela. Melalui cara ini, para tetangga dapat berbincang dengan Mukiyar atau keluarganya, walau hanya sekedar menanyakan kabar dan mengajak ngobrol santai dan sesekali bercanda untuk menghilangkan kejenuhan Mukiyar dan keluarganya selama isolasi mandiri.
Kesadaran sebagai Sesama Manusia yang Ingin Dimanusiakan
Kondisi pandemi selama setahun terakhir ini memang memberikan dampak yang sangat terasa bagi banyak kalangan tanpa memandang strata sosial, profesi, apalagi identitas. Meskipun demikian, kondisi pandemi ini pula yang kemudian memotivasi dan memunculkan banyak orang baik yang peduli pada sesama dengan memberikan bantuan kepada orang-orang seperti pak Parmin dan Mukiyar.
Kita bisa menyaksikan di media sosial, banyak orang menggalang dana untuk membantu sesama baik berupa kebutuhan pokok, uang, bahkan smarthandphone kepada anak-anak sekolah dengan latar belakang ekonomi keluarga kurang mampu yang memang membutuhkannya agar tetap bisa mengikuti kegiatan belajar via daring.
Pun demikian, kedua kisah di atas menujukkan bahwasannya dalam kondisi sesulit apapun, selalu ada orang baik yang peduli kepada sesamanya. Memang sudah menjadi fitrah manusia jika rasa empati sebagaimana disampaikan oleh Cronbach (1995) merupakan sesuatu yang bersifat being, selalu menempel pada diri setiap manusia secara kodrati. Sedangkan, Carkhuff dalam bukunya yang berjudul Helping and Human Relations (1969) bahkan mengatakan, “without empathy there is no basis for helping” (tanpa empati, tidak ada alasan mendasar untuk menolong).
Secara khusus, bagi masyarakat pedesaan yang terbiasa dengan budaya gotong royong, apa yang mereka lakukan seperti yang terjadi pada cerita Mukiyar di atas, bisa jadi adalah hal yang biasa saja. Mereka hanya melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sesuai dengan norma dan etika masyarakat pedesaan yang ketika tetangganya terkena musibah, mereka akan membantu sebisanya.
Hal ini berjalan begitu saja secara natural tanpa ada yang memberi komando atau perintah. Namun, di balik itu, masyarakat pedesaan tersebut pada dasarnya telah mengekspresikan apa yang disebut oleh Emile Durkheim sebagai sebuah “solidaritas mekanik”.
Solidaritas mekanik ini menurut Durkheim banyak muncul dari kalangan masyarakat pedesaan. Mereka memiliki solidaritas yang didasarkan oleh kesadaran kolektif yang didasari oleh berbagai kesamaan. Misalnya, tinggal di wilayah, profesi kerja, atau bahkan bisa jadi sistem kepercayaan yang sama yang mana tingkat individualismenya tergolong masih rendah. Mereka ini lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan individu.
Maka tidak heran, ketika Mukiyar dan keluarganya sedang menjalani isolasi mandiri, para tetangganya adengan suka rela secara bergiliran memberi bantuan.
Terkait solidaritas mekanik yang muncul dari kesadaran kolektif dan berangkat dari sebuah kesamaan, saya kira kolektifitas itu tidak hanya dibatasi oleh kesamaan yang mendasarkan pada sudut pandang sempit saja; seperti kesamaan-kesamaan yang saya sebutkan sebelumnya. Lebih dari itu, saat ini banyak orang yang telah mempunyai kesadaran akan kesamaan dengan sudut pandang yang lebih luas, yakni kesamaan sebagai sesama manusia dan makhluk Tuhan yang mampir hidup di bumi.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa konteks Parmin dan Mukiyar serta orang-orang di sekitarnya merupakan masyarakat Jawa yang memiliki konstruksi budaya dan etika Jawa. Hal tersebut tentu tidak bisa dinafikan pengaruhnya sehingga menjadi wajar jika mereka dengan sukarela memberi bantuan baik kepada Parmin atau Mukiyar. Franz Magnis Suseno, yang mengelaborasi pendapat Hildred Geertz, dalam bukunya, Etika Jawa (1996) mengatakan bahwa ada dua kaidah pokok etika Jawa dalam hal pergaulan masyarakatnya yakni, prinsip kerukunan dan hormat.
Pada kasus ini, prinsip pertama merupakan prinsip yang paling sesuai untuk melihat bagaimana prilaku saling tolong menolong di antara masyarakat kita, khususnya yang tinggal di pedesaan, bisa berjalan secara natural. Karena, pinsip tersebut menghendaki adanya sebuah hubungan harmonis dalam masyarakat yang sekaligus menuntut penghapusan kepentingan-kepentingan individu yang pada perkembangannya kemudian menghasilkan sebuah prilaku yang disebut dengan gotong royong.
Prilaku gotong royong ini lah yang menurut Koentjoroningrat dalam bukunya, Atlas Etnografi Sedunia: dan Pertjontohan Etnografi Sedunia (1969) memilik tiga nilai utama yang salah satunya adalah bersedia untuk saling membantu pada sesama. Aksi saling bantu sesama, termasuk yang terjadi dalam kasus parmin dan Mukiyar, jika dilihat dari kacamata Etika Jawa tentu akan menafikan adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap individu. Karena, etika sendiri menurut Suseno adalah “keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya” dan juga merupakan prinsip moral yang melampaui batas-batas perbedaan, termasuk agama (beyond religion).
Kembali soal kesadaran kolektif yang melihat orang lain sebagai sesama manusia yang ingin “dimanusiakan”, saya melihat bahwa kesadaran ini amat penting untuk dimiliki oleh setiap individu agar tindakan baik saling membantu sesama pun akan semakin meluas dan yang terpenting berjalan dengan natural. Dalam melewati masa pandemi ini jika setiap individu memiliki kesadaran tersebut, saya meyakini bahwa efek yang terjadi karena pandemi akan lebih mudah untuk dilalui bersama.
Pak Parmin dan teman-temannya sesama tukang becak motor akan dengan mudah menemukan orang-orang baik yang bersedia memberinya bantuan meskipun sebenarnya mereka bisa jadi juga terkena dampak pandemi; termasuk bantuan yang lebih bersifat memberdayakan, yakni menggunakan jasa becak motornya. Dengan itu, paling tidak beban Parmin dan kawan-kawan, Mukiyar dan keluarganya akan terasa lebih ringan dengan adanya ekspresi kebaikan-kebaikan yang tumbuh secara natural dari orang-orang di sekililingnya berdasarkan kesamaan sebagai sesama manusia.
Akhirnya, dalam hal saling berbuat baik pada sesama, jika kesadaran yang tertanam adalah kesadaran sebagai sesama manusia yang sama-sama ingin dimanusiakan, sekat-sekat yang bersifat sektoral, kultural, atau bahkan sekat keyakinan akan menjadi hal yang tidak penting lagi untuk dipersoalkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Dur “Tidak penting apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
Saya sangat meyakini itu, dan saya yakin kisanak yang sedang membaca ini juga. Karena, anda apakah kisanak sekalian bisa membayangkan sroang Parmin saat akan diberi bantuan oleh orang yang tidak dikenal, ia akan bertanya lebih dahulu kepada si pemberi, “sampeyan muslim?”