Cerita Jadi Muslimah Bekerja (1): Disindir karena Tidak Berjilbab Hingga Kuping Panas Dengar Ceramah Ustadz di Masjid Kantor

Cerita Jadi Muslimah Bekerja (1): Disindir karena Tidak Berjilbab Hingga Kuping Panas Dengar Ceramah Ustadz di Masjid Kantor

Menjadi muslimah yang memustukan untuk bekerja ternyata tidak sesederhana itu, kisah-kisah ini salah satunya: banyak yang mendiskreditkan perempuan

Cerita Jadi Muslimah Bekerja (1): Disindir karena Tidak Berjilbab Hingga Kuping Panas Dengar Ceramah Ustadz di Masjid Kantor

Bayangkan begini, anda seorang seorang muslimah dan memutuskan untuk bekerja. Anda bekerja di sebuah komplek perkantoran di Jakarta. Segalanya tampak biasa saja, rutinitas pun normal belaka hingga suatu ketika ada sesuatu yang membuat kuping panas, dada sedikit gerah dan sepersekian detik setelahnya, tentu saja sedih.

“Kalian tahu apa itu fitnah? Fitnah adalah bahaya terbesar bagi muslim dan itu ada di sekitar kita. Fitnah itu berupa banyaknya maksiat. Mata kita sebagai muslim setiap hari melihat maksiat, fitnah dari wanita-wanita,” bunyi speaker masjid tidak jauh dari tempatnya bekerja.

Apa maksudnya? Lamat-lamat, ia mendengarkan lagi suara itu. Tampaknya dari seorang ustadz. “Di lift lihat ada wanita, di tempat makan ada wanita, di toilet juga… astagfirullahal adzim. Fitnah itu begitu dekat, hati-hati saudaraku,” tambahnya.

Suara itu muncul dari seorang ustadz yang ia tidak tahu namanya dan sedang berceramah. Ia risih.  Peristiwa ini dialami oleh seorang muslimah bernama Fitri, tentu saja bukan nama sebenarnya, dan ia menceritakan hal ini dengan mimik muka yang penuh keheranan. Masjid ini kecolongan, atau memang ya begitu ajarannya?

Ia tidak habis pikir.

Di sebuah pusat industri, sebuah masjid yang kerap dijadikan tetirah oleh banyak jakartans  dan tentu saja mungkin dibiayain dari pajak yang ia bayarkan rutin ketika memutuskan untuk jadi pekerja, justru mendelegitimasi dirinya sebagai perempuan, seorang muslimah dan bagian dari—mengutip ustadz itu, bagian dari problem muslim, yang disebut dengan istilah menyebalkan: sumber fitnah.

Sumber fitnah bagi siapa? Bagi laki-laki, bukankah di Kawasan perkantoran ini tidak hanya laki-laki doang yang bekerja? Banyak juga perempuan-perempuan. Toh agamanya juga tidak hanya muslim? Apa emang itu ditujukan untuk ia, muslimah yang memilih untuk bekerja? Emangnya ustadz itu tahu alasan ia bekerja?

Peristiwa ini ternyata tidak hanya sekali terjadi.

Beberapa waktu sebelumnya ia juga mendengar cerita yang hampir serupa dengan yang Ia alami. Katanya, ia yang memang seorang muslimah dan tidak pakai jilbab, dalam sebuah buka puasa bersama yang digelar oleh kantor, disindir-sindir oleh ustadz yang kebetulan mengisi tausiyah menjelang buka puasa.

“Tahu nggak nih bapak-bapak punya tugas penting. Ini wajib. Istri itu perhiasan bagi suami. Makanya biar tampak lebih indah, dipakaikan hijab, Pak. Itu pasti Subhanallah,” tutur Ustadz itu.

Awalnya sih biasa saja. Tapi satu hal yang membuatnya risih adalah, ketika beberapa rekan sejawatnya di kantor bertanya,”Bagaimana kalau di kantor Pak Ustadz?”

Ustadz itu hanya tertawa,”Ya dihiasi jilbab saja sudah cukup. Kalau tidak berjilbab, ya bukan perhiasaan.”

Ia pun merasa terpojok karena di ruangan itu, ia termasuk yang tidak pakai jilbab. Ia Cuma pakai selendang kecil yang ia sampirkan di pundak seperti lazimnya ia pakai saat perayaan hari raya. Dan, ustadz itu dan beberapa orang seperti melihat dirinya dan beberapa orang di ruangan itu yang tidak berjilbab. Ia risih.

Apa yang bisa ia lakukan waktu itu? Ia cuma bisa tersenyum getir.  Beberapa orang temannya yang berjilbab tampaknya mengerti ia sebel dan berusaha membesarkan hatinya. Namanya juga ustadz, hehe. Selow aja, kata seorang. Ia tidak tahu aja, tuh Cintya panitia di depan kan katolik ye, haha, ucul deh, tutur yang lain.

Ia meringis. Meskipun begitu, ia tetap bisa ketawa walau  hatinya masih dongkol. Seolah-olah menjadi muslimah dan tidak memakai jilbab adalah sebuah dosa, sebuah kesalahan besar yang menghinggapi seorang muslimah yang memutuskan untuk bekerja.

Ketika mendapat cerita itu, saya hanya bisa terdiam dan mendengarkan. Kisah Fitri dan temannya, dua muslimah ini begitu dekat dengan kita yang hidup di kota dan berhadapan dengan realitas. Realitas ternyata banyak pemahaman yang berlandaskan agama dan masih mendiskreditkan perempuan beserta pilihan-pilihannya.

Cerita senada juga dialami istri sahabat saya. (Bersambung)

 

*Artikel ini hasil kerjasama Islami.co dan RumahKitaB*