Beberapa waktu lalu, saya mendengarkan sebuah ceramah dari Ustadz Khalid Basalamah yang mengangkat tentang perempuan. Katanya, pekerjaan yang tepat untuk seorang perempuan sebagai guru dan perawat di akun youtubenya. Ceramah tersebut mengangkat tentang 70 kekeliruan yang dilakukan oleh perempuan. Tentunya ceramah tersebut membuat saya berpikir ulang tentang pekerjaan publik yang telah ditempati oleh perempuan.
Bagaimana jika seorang yang menjadi jurnalis? Haramkah pekerjaan tersebut? Haruskah ditinggalkan pekerjaan tersebut? Ya, sejumlah pertanyaan tersebut terus muncul dalam kepala saya.
Dari ceramah tersebut, saya kembali mengingat perkataan dari Arthur Schopenhauer yang mengatakan jika perempuan secara kasat mata cocok sebagai perawat dan guru dalam kehidupan manusia karena mereka sendiri pada faktanya kekanak-kanakan, sembrono dan picik. Bahkan, Achopenhauer mengatakan bahwa perempuan adalah anak-anak. Hal itu terlihat ketika para perempuan bermain dengan anak-anak. Mulai dari bermain dan manari. Secara sinis Schopenhauer secara sinis membayangkan bagaimana hal-hal tersebut dilakukan oleh laki-laki.
Dalam beberapa tulisannya, dia juga menilai jika perempuan merupakan makhluk yang inferior. Atas hal itu, perempuan tidak memiliki kemampuan intelektual dan rasa keadilan. Secara gamblang, dia menyebukan jika perempuan harus mematuhi suamimnya dan juga tergantung padanya. Apa yang saya dapatkan dari ceramah dan perkataan dari Scopenhauer tentu saja tidak tepat dengan apa yang sudah Nabi Muhammad lakukan.
Baca juga: Saya terganggu ceramah Ustadz Khalid Basalamah soal perempuan
Dalam Kitab Al-Thabaqat-Kubra adalah memuat 4.250 entri tokoh-tokoh awal Islam hingga abad ketiga hijriah. Dari jumlah tersebut, ada 629 tokoh perempuan yang ditulis. Jumlah ini cukup banyak mengingat sangat sulit dijumpai tokoh-tokoh perempuan dijumpai. Dalam kitab lainnya, Kitab Al-Dhaw’ al-Lami’ fi A’yan al-Qarn at-Tasi’ ada 11.691 tokoh yang ditulis dan 1.075 orang tokoh perempuan dimuat dalam kitab tersebut. dari 1.075 ada 411 ulama perempuan yang berpendidikan agama yang cukup tinggi.
Dari Apa yang dilakukan oleh para filsuf dan ceramah yang saya dapatkan melihat bahwa pendefinisian perempuan lewat tubuhnya melegitimasi perannya seperti pendefinisian biologis. Atas pendefinisian tersebut, perempuan ditetapkan sebagai mahkluk yang tidak berdaya. Isu-isu ini membuat perempuan harus dibatasi dan dikekang di ruang-ruang publik. Hal ini dimainkan nampaknya untuk stabilitas moral masyarakat, persisnya para laki-laki. Padahal ruang publik, milik perempuan dan laki-laki.
Bagaimana dengan sejarah yang di Indonesia?
Sebenarnya ada banyak tradisi lokal di Indonesia yang mengangkat keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Misalkan dalam konsep Ambu, Nyi Pohaci, dan pikukuh (aturan) yang merupakan keseimbangan yang mampu menetralisasi kekuasaan laki-laki dalam tradisi masyarakat patriakat. Kearifan lokal lainnya yang cenderung membebaskan perempuan adalah dalam pelaksanaan upacara pertanian rahengan yakni upacara penghormatan pada Dewi Sri yang dilangsungkan jelang musim panen pada masyarakat Citatah, Cipatat.
Sebagaimana umumnya masyarakat Sunda pedesaan masih memelihara keyakinan karuhun (leluhur) yang sudah ada sejak masa praIslam. Upacara tersebut biasa disebut dengan upacara rahengan yang dilakukan masyarakat Desa Citatah, Kecamatan Cipatat (Kampung Banceuy). Tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur pada dewi padi (Sri Pohaci) dan Tuhan YME atas hasil panen yang didapat dan mengharapkan keberhasilan panen yang mendatang agar berlimpah tidak ada bencana apapun.
Di samping itu juga sebagai permohonan agar masyarakat petani di Desa Citatah diberi keselamatan dijauhkan dari malapetaka. Upacara rahengan adalah upacara yang ada kaitannya dengan pertanian dan kesuburan tanah, biasanya dilakukan oleh masyarakat petani di pedesaan atau masyarakat agraris di Indonesia pada umumnya. Upacara ini umumnya bertujuan sebagai ucapan syukur pada Tuhan YME termasuk juga Dewi Sri (Sri Pohaci – dewi padi) dan penghormatan pada para leluhur (karuhun).
Perempuan dan laki-laki terlibat bersama-sama sepanjang ritual dari mulai persiapan upacara, saat pelaksanaan hingga berakhirnya acara ritual. Bahkan peran perempuan terasa menonjol dalam ritual prosesi tari tarawangsa dengan beberapa sinden dan penari perempuan, memasak untuk hidangan tamu, dan membuat sesajen. Peran perempuan yang lebih dominan dalam ritual ini menjadi simbol masyarakat dan penghargaan yang tinggi bagi perempuan.
Ritual Dewi Sri sebagai wujud rasa syukur berkat limpahan kesuburan dan panen yang melimpah seperti milik kaum perempuan adat. Kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai simbol kekuatan yang melimpahkan kesuburan membentuk konstruksi identitasnya dalam suasana ritual suci. Terjadi relasi gender dan agama yang kuat dalam ritual ini dan perempuan menjadi bagian penting di dalamnya.
Jadi, bagaimana menurutmu terkait pekerjaan perempuan? Harus saya akui, ceramah dari Ustadz Khalid menarik, tapi terkait perempuan, tampaknya harus dikaji lagi.