Malam hampir berakhir. Dinginnya bahkan belum tanggal. Pak Karto masih sibuk dengan urusan memperbaiki posisi tidur dan selimut. Sesekali merapat ke arah istrinya yang semakin terdesak di pojok kasur.
Jam 4 pagi. Jam Pak Karto berdentang empat kali. Pak Karto berdiri. Sedikit geram ia menjulurkan tangan ke arah pendulum jam yang tadi berdentang. Setelah yakin jam itu tidak akan berbunyi lagi ia kembali ke kasurnya. Mengambil posisi terbaik lalu tidur lagi. Jam tua itu sebenarnya tidak bersauara terlalu keras. Namun pagi sepi dan dingin membuat suara jam seperti jarum yang menusuk telinga.
Sedikit lagi jam berputar pasti bebunyian dari masjid akan terdengar. Kadang pujian, terkadang bacaan al-Qur’an. Seperti biasa, setiap suara-suara itu berbunyi Pak Karto akan menutup telinganya dengan bantal. Sesekali mengomel dan kembali ke tidurnya yang lelap sampai terang.
****
Benar saja, baru sepuluh menit Pak Karto terlelap suara al-Qur’an mulai terdengar dari masjid. Tidak terlalu keras. Masjid ini punya aturan keras soal membunyikan toa alias pelantang. Pengurus masjid, siapa pun, dilarang membunyikan pelantang yang berlebihan. Masyarakat kampung ini punya ukuran pas soal suara toa yang sudah disepakati, berikut jam saat suara boleh diperdengarkan. Tapi orang seperti pak Karto tetap akan terganggu seminimal apa pun suara yang terdengar dari masjid.
Sepuluh menit kaset dibiarkan membaca al-Qur’an. Tak lama bedug berbunyi. Subuh sudah datang. Tapi ada yang aneh pagi itu. Setelah membaca ayat yang biasa dilantunkan sebelum azan, sang muazzin melantunkan azan yang janggal di telinga. Azan yang biasanya berbahasa arab tiba-tiba terdengar berbahasa Jawa. Siapa pun, meski tak pernah azan di masjid tentu tahu lafaz-lafaz azan. Tak usah telinga kiayi atau ulama, azan ini di telinga orang biasa saja akan menjadi aneh. Paling tidak karena azan umumnya terdengar berbahasa arab.
“Sugeng gendeng, “ gumam Pak Karto sambil bangkit dari kasurnya. Entah enersi apa yang membuat Pak Karto bangun. Biasanya dia hanya akan mengomel lalu tidur lagi setelah azan selesai.
Pak Karto beranjak ke kamar mandi. Mencuci muka lalu mengenakan jaket kulit yang tebal. Dengan geram ia berangkat ke masjid.
*****
Azan selesai. Masjid tidak seperti biasanya. Kali ini banyak orang datang ke masjid. Tidak masuk ke masjid, mereka hanya duduk di beranda menunggu sang muezzin selesai sembahyang qobliyah subuh. Begitu sang muezzin selesai, mulailah mereka berteriak menyuruh Sugeng sang Muazzin untuk keluar. Pak Karto juga ikut dalam rombongan itu.
Sugeng yang tahu betul apa yang dilakukannya melangkah ringan menghadap masa yang mulai mengeluarkan umpatan. Air mukanya tidak munjukkan ketakutan. Petani ini bahkan, seperti biasa, menebar senyum yang selalu lekat di bibirnya.
“Heh, wong gendeng,” ternyata Pak Karto yang memulai bentakan ke Sugeng.
“Sudah gila kamu ya? Azan yang suci kamu beraninya kamu buat mainan? Siapa yang mengizinkan azan berbahasa Jawa? “ timpalnya lagi.
“Kamu tahu agama tidak? Beraninya Kamu merubah tatanan yang sudah baik” lanjut pak RT yang ternyata sudah hadir di forum pengadilan itu.
Sugeng masih cengar-cengir tak berdosa. Di pojok masjid Kang Jan juga sedang asyik cengar-cengir menyaksikan pengadilan pincang dan tidak tentu hakimnya itu. Kang Jan menunggu saat yang tepat saja. Ia kenal betul dengan siapa Sugeng. Petani itu jujur dan tidak aneh-aneh. Jadi kalau dia berbuat sesuatu pasti ada alasannya. Kang Jan hanya mengawasi dari kejauhan agar tidak terjadi kekerasan.
“Kalau kamu memang sudah tidak bisa azan, jangan azan! Azan berbahasa Jawa itu ndak ada di agama, yang ada berbahasa Arab” Suara Pak Karto tambah lantang. Sesekali ia mununjuk Sugeng dengan telunjuknya.
Sugeng tak bergeming. Tidak pula muncul ketakutan seperti laikya orang yang terdesak. Ia tetap mengulum senyum. Ia bukan tidak mau berbicara. Hanya menunggu hitungan detik yang tepat untuk angkat suara.
Sikap Sugeng ini memancing emosi demosntran ternyata. Beberapa bapak yang tidak sabar mulai meringsek hendak memukul Sugeng. Kang Jan yang sudah sigap langsung mengambil peran. Seperti superhero ia berdiri menghadapng laju bogem dan tangan para bapak yang sudah emosi itu. Bapak-bapak yang mulanya marah berhenti saat tahu siapa yang berdiri di hadapan mereka. Bukan karena Kang Jan itu orangnya sakti, mereka merasa segan dengan Kang Jan yang terkenal baik di kampung ini.
“Kang, biarkan orang ini diberi pelajaran” Pak Karto menghardik Kang Jan.
Seperti Sugeng, Kang Jan hanya tersenyum.
“Sebentar” suara tegas Sugeng tiba-tiba membelah kericuhan yang mulai bergulir.
“Saya ini setiap hari azan subuh. Berbahasa Arab. Dan masjid jamaah hanya dihadiri 4 orang. Pagi ini saya azan Jawa dan kalian datang hanya untuk mengumpat dan marah. Bukan jamaah subuh,” mata Sugeng mulai meruncing seperti mnunjuk mata orang-orang yang berkumpul di halaman masjid.
“Coba jawab, siapa yang jamaah di masjid ini kalau subuh selain Kang Jan, Mbah Mina dan Lek Kartiwa? Adakah? Terusnya Sugeng. Para bapak mulai terdiam.
“Azan itu panggilan ibadah, bapak-bapak. Jadi kenapa bapak-bapak lebih terpanggil untuk marah saat saya azan Jawa tinimbang terpanggil untuk jamaah saat saya azan berbahasa Arab?” tanya Sugeng dengan nada yang mulai turun.
Bapak-bapak mulai terdiam. Kang Jan Masih mengulum senyum. Ia membiarkan Sugeng berkarya pagi itu.
“Tolong jawab saya! Kemana bapak-bapak pada hari biasa saat waktu jamaah subuh? Kalau hari ini bapak bisa datang untuk memarahi saya berarti bisa datang pada hari biasa untuk berjamaah. Tapi ke mana? Pak Karto dan Pak RT ke mana?” giliran mata Sugeng yang mengarah ke mata para bapak yang berkumpul.
Suasana menjadi ganjil. Mimik marah di wajah para bapak berganti mimik malu yang berusaha disembunyikan.
“Sudah, sudah, “ Kang Jan angkat bicara.
“Sekarang kita jamaah subuh karena waktunya pendek. Saya minta tolong Pak Karto atau Pak RT untuk memberi contoh azan yang benar pada muazzin kita satu ini supaya besok tidak salah lagi. Sugeng, besok jangan azan Jawa lagi. Itu hanya buat geger. Barang baik sampaikan dengan apik. Sekarang kamu beri contoh jamaah yang baik supaya besok bapak-bapak bisa berjamaah subuh,” seloroh Kang Jan sambil mengulum senyum.
“Sugeng, tugasmu meminta maaf pada para bapak. Ulahmu pagi ini membuat subuh menjadi seram, “ terus kang Jan sambil melirik pada petani sederhana itu.
Wajah kharismatik pedagang angkringan ini membuat semuanya bergerak kecuali Pak RT dan Pak Karto. Mereka berdua seperti masih belum bisa menerima. Tapi hati kedua orang ini juga mengakui kalau apa yang dikatakan Sugeng ada benarnya.
“Lho, kalau Pak RT atau Pak Karto ndak mau Azan, ya biar saya atau sugeng lagi yang Azan. Tapi jangan salahkan dia kalau besok azannya masih salah. Wong kita ndak mau memberi contoh azan yang benar,” seloroh Kang Jan sambil masuk ke masjid dan mengulang azan.
Para bapak sudah mulai mengambil wudhu. Tak ayal Pak Karto dan Pak RT akhirnya mengikuti. Jamaah pun dimulai.
****
Subuh hampir menjelang, suara kaset menghilang dari pelantang masjid digantikan suara pak Kaji Kemad dan Rokim yang sudah tadarus sebelum subuh. Sugeng kembali azan berbahasa Arab. Sejak subuh itu masjid kampung ramai di waktu subuh.
——————————-
Tulisan ini juga saya muat di blog pribadi www.kabartersiar.web.id