Bagaimana Cebong dan Kampret di bulan suci ini? Terkadang saya membayangkan bahwa semua elemen dan identitas yang berbeda dan hidup di bumi pertiwi ini bersepakat untuk hidup rukun. Tidak ada kekerasan, tidak ada saling serang, tidak ada penindasan, dan tidak ada monopoli. Sehari saja.
Seperti dalam film The Jungle Book (2016), misalnya. Ada monumen yang mereka kenal sebagai batu perdamaian. Di sekitarnya terdapat semacam mata air yang kemudian disebut air perjanjian damai. Ya, di saat itu semua jenis hewan yang mukim di rimba yang sama berkumpul dan bersepakat untuk “gencatan senjata”. No hunting, just playing. Rukun sekali. Indah sekali.
Meskipun memang yang demikian itu hanya berlangsung selama kemarau. Artinya, begitu hujan turun, hukum rimba ya berlaku lagi. Tapi setidaknya hal itu memberi kita ilustrasi bahwa terkadang hewan lebih beradab dari manusia.
Saya jadi teringat dua nama hewan yang belakangan ini menjadi idiom politik nasional: cebong sama kampret. Terlepas apakah mereka masuk dalam daftar hewan dalam film The Jungle Book atau tidak, nyatanya “keduanya” sampai hari ini masih bertikai.
Malahan sekarang ada evolusi baru. Ulama cebong!!!
Ntah dari mutasi genetika yang seperti apa, makhluk ini merujuk pada pernyataan ketua Organizing Commitee Ijtimak Ulama III, Slamet Ma’arif yang bilang kalau ia (saat itu) akan mengundang semua ulama dan tokoh yang hadir pada Ijtimak Ulama I dan II.
Meski begitu, “ulama dan tokoh yang sudah menjadi cebong tidak akan kami undang”, ujarnya di Resto Hayam Wuruk, Jakarta pada Senin (29/4).
Seperti diketahui, baru-baru ini Ijtimak Ulama III digelar untuk menyoroti dugaan kecurangan pada gelaran Pilpres 2019. Ada lima butir rekomendasi. Namun, yang cukup mengejutkan adalah desakan agar KPU mendiskualifikasi salah satu Paslon, dalam hal ini Jokowi-Ma’ruf.
Sialnya, forum ini belakangan mulai dipertanyakan banyak pihak. Pasalnya, Ijtimak Ulama dinilai berpenghuni relawan politik, alih-alih ulama. Sebut saja Yusuf Martak, Bachtiar Nasir, Neno Warisman, Slamet Ma’arif dan sebagainya yang, kita tahu kalau-kalau mereka itu berstatus sebagai bagian Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Memang, di sana ada (komando) Habib Rizieq Syihab (HRS)—meski lewat siaran video—selaku pengarah atau penasehat forum tersebut. Dan, HRS, walau-bagaimanapun, bagi saya adalah seorang ulama. Sekurang-kurangnya ulamanya FPI, kalau bukan jema’ah 212.
Lagi pula, jika ulama adalah mereka yang ahli agama, maka kurang ahli apa HRS yang lulus dengan status cumlaude dan menyabet gelar doktor. Selain itu, tidak mungkin dia bukan ulama, kalau pada kenyataannya ia bisa mengumpulkan massa yang ditaksir jutaan hanya untuk menumbangkan Gubernur Basuki Tjahja Purnama (BTP) pada 2017 lalu, terlepas dari aliansi para politisi oposisi tentu saja.
Masalahnya, ulama, seperti kata Rasul, “adalah pewaris para nabi”. Sedangkan pada saat yang sama Nabi Muhammad juga pernah bilang kalau dirinya itu diutus untuk menyempurnakan akhlak. Lalu pertanyaannya, watak nabi yang seperti apa yang mengajarkan umatnya untuk haus kekuasaan atau pengen menang-menangan?
Apakah ketika Nabi Muhammad kalah di perang uhud, misalnya, kemudian menyalahkan Khalid bin Walid yang waktu itu bermanuver keliling bukit untuk memukul balik pasukan Nabi?
Ok, mungkin permasalahannya adalah kecurangan. Lalu dengan menggunakan logika pertandingan pada umumnya, pihak yang curang mustinya didiskualifikasi. Dan tentu saja, selain itu kebenaran harus ditegakan. Allahu Akbar!!!
Saya mengerti, tidak ada kekalahan yang menyenangkan. Apalagi kalau itu dicurangi. Tapi mbok ya sekali-kali melirik kedalam atau bahasa takwanya muhasabah diri, dan bukannya mengumpat atau mencari kesalahan lawan.
Tidakah kita menyadari bahwa situasi kali ini terlampau panas? Gara-gara siapa coba? Atau, tidak bisakah kita bersabar sedikit untuk, misalnya, menunggu Pemilu berikutnya sembari konsolidasi kebenaran sistem? Perlahan demi perlahan. Kalem. Selow.
Lagian, bukan rahasia lagi kok kalau sistem politik kita tidak sesempurna Fahri dalam ayat-ayat cinta. Dan karenanya, terlepas dari siapa yang menang, hampir mustahil rasanya untuk menuntut Pemilu sebesar ini nihil dari praktik “kezaliman”.
Di tambah lagi urusan politik, bil khusus politik kekuasaan ini memang tidak pernah selesai. Jangankan ulama cebong vs ulama kampret, sekelas Sayyidina Ali dengan Mu’awiyah saja untuk urusan ini juga mentok, terlepas dari siapa yang benar dan salah tentu saja.
Tapi setidaknya kita bisa belajar dari situ, bahwa perkara kekuasaan ini kalau tetap dipaksakan apalagi pakai sentimen agama, ongkos kemanusiaannya terlalu besar, bong!! eh Bung!! maksud saya.
Oleh sebab itu ulama, sebagai pihak yang mengerti agama, mestinya mampu meredam amarah umat. Bukan sebaliknya. Apalagi kita telah memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan yang secara harfiah bermakna “panas yang membara” sehingga digadang-gadang sebagai pembakar dosa.
Jadi, mbok ya kita gunakan momentum ini sebagai monumen kasih-sayang, kerukunan, suka-cita, atau apalah itu laksana “batu perdamaian”. Wong hewan pemangsa dengan yang biasa dimangsa aja bisa akur kok. Apalagi cuma cebong-kampret, 01-02, dan bila perlu FPI-PKI. Kendati ntah setelah ini Anda mau bertikai lagi atau tidak, itu soal lain.
Yang jelas, cukuplah bulan puasa ini disesaki oleh Satpol PP yang senantiasa awas mensiaga hotel kelas melati. Atau, promo-promo dan potongan harga di pusat-pusat perbelanjaan yang bersenyawa dengan musik reliji.
Begitupun baliho-baliho atau spanduk-spanduk di musala-musala atau masjid-masjid yang semakin meriah saja mengucapkan “Marhaban Yaa Ramadhan”. Bahkan, ketika tulisan ini dibuat, sebuah warung kopi memasang sandi WiFi: menujukemenangan!!!