Mungkin bagi banyak orang, terutama sebagian besar laki-laki, catcalling adalah hal yang remeh; hanya memanggil, hanya bersiul, hanya menatap, hanya menjulurkan lidah. Tetapi bagi orang yang mengalami, terutama perempuan, catcalling membuat mereka merasa tidak aman, terancam, dan rendah. Banyak perempuan yang memilih perjalanan jauh dan memutar, termasuk juga penulis, untuk menghindari catcalling karena rasa tidak aman dan rasa takut.
Catcalling adalah salah satu pelecehan seksual dalam bentuk verbal atau psikis sebagaimana disampaikan oleh Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan pada Kompas.com. Dalam kamus Merriam Webster, catcalling didefinisikan dengan: “The act of shouting harassing and often sexually suggestive, threatening, or derisive comments at someone publicly“. Definisi tersebut dapat diterjemahkan dengan: “Teriakan yang melecehkan dan seringkali mengandung pesan seksual, mengancam, atau memberikan komentar yang mencemooh seseorang dan dilakukan di tempat publik.” Bahkan meski tanpa teriakan dan siulan, catcalling juga bisa berupa melakukan gerakan tertentu, seperti menatap dan menjulurkan lidah. Hal tersebut adalah perbuatan yang mengancam dan jelas melecehkan orang lain. Dengan kata lain, isi dan konteks dari catcalling adalah pelecehan seksual.
Catcalling bukanlah hal yang sepele. Menolelir catcalling berarti menyuburkan kekerasan seksual terhadap perempuan. Catcalling juga bagian dari rape culture di mana individu atau kelompok merasa leluasa mengganggu dan melecehkan orang lain di ruang publik. Terlebih catcalling sering kali dilakukan secara kelompok. Studi menunjukan bahwa orang akan hilang kesadaran dan identitasnya sebagai individu dan bertindak lebih anarkis dan berani ketika mereka berada di dalam kelompok (lihat Le Bon, 2009). Itulah sebabnya kejahatan yang dilakukan dalam kelompok cenderung amat sadis dan dapat melewati batas.
Dampaknya pun tidak kecil bagi korban. Menurut studi Avezahra, Kamila, Maulana, Kravvariti, Sa’id, dan Noorrizki (2023), catcalling menyebabkan perasaan yang negatif dan merusak persepsi individu tersebut (destructive-self perception). Menurut mereka, dalam jangka pendek korban merasa cemas, ketakutan, dan waspada akan ancaman. Sedang dalam jangka panjang korban akan merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri, serta merasa malu menjadi perempuan.
Melihat dampaknya yang begitu besar, maka tidak ada satu alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan catcalling, termasuk alasan bahwa ‘menggoda perempuan adalah hal wajar yang dilakukan laki-laki, namanya juga laki-laki’.
Setengah Lebih Populasi Masyarakat Terdampak
Perempuan adalah setengah dari populasi manusia, ini berarti setengah dari masyarakat merasa tidak aman, cemas, waswas, dan bahkan trauma.
Di antara identitas baru seorang Muslim yang dibangun oleh Rasul adalah menghormati dan melindungi perempuan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud beliau mengatakan bahwa perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Arti dari saudara dalam kitab Aunul Ma’bud berarti rekan (an-nazhair) dan setara (al-amtsal) (Faqihuddin Abdul Qodir, 2020). Lompatan yang luar biasa, perempuan yang dahulu, pada masa jahiliyah menjadi komoditas yang dapat diwariskan dan kelahirannya tidak diharapkan kini menjadi seorang individu yang setara; tidak lagi barang, tetapi saudara laki-laki. Sebaliknya, merendahkan dan melecehkan perempuan adalah identitas jahiliyah yang ingin dihapuskan oleh ajaran Islam.
Orang beriman digambarkan oleh Rasul seperti lebah; ke manapun dia pergi dia tidak menyakiti, malah membawa kebaikan bagi sekitarnya. Muslim pun beliau gambarkan sebagai: “Orang yang tidak melukai orang lain dengan ucapan dan perbuatannya”. Catcalling adalah bentuk ucapan dan perbuatan yang menyakiti, merendahkan, mengancam, dan menimbulkan trauma dan ketakutan bagi korbannya.
Kita seringkali diingatkan untuk tidak mendekati zina, yakni melakukan hal-hal yang dapat mengantarkan kita melakukan zina. Semestinya, tak kalah sangat penting, kita juga menjauhi hal-hal yang dapat mengantarkan kita melakukan kekerasan seksual, bagaimanapun bentuknya, seperti membahas hal-hal vulgar tentang lawan jenis dengan kawan atau berkirim meme tidak senonoh dalam pesan. Maka tidak semestinya menganggap catcalling seabagai hal yang remeh dan wajar, karena termasuk kekerasan seksual yang merugikan korbannya dan dapat menimbulkan trauma.
Menjadi mukmin saja semestinya sudah cukup menjadi alasan untuk tidak menganggap catcalling dan pelecehan seksual pada wanita sebagai hal yang remeh dan “seolah” wajar. Menghormati dan membela perempuan adalah identitas orang yang beriman yang membedakan mereka dengan identitas jahiliyah yang melecehkan dan merendahkan perempuan. Semestinya ini adalah identitas setiap muslim sepanjang masa, karena merendahkan dan melecehkan perempuan itu jahiliyah!
(AN)