Ketika saya membaca papan pengumaman “mamnu’ ad-dukhul” saya ingat lelucon Gus Dur. Dalam bahasa Arab klasik, ad-dukhul yang banyak tertera di kitab-kitab kuning dipakai untuk arti bersenggama (jima’).
Maka, cerita Gus Dur, seorang kiai kampung terbengong-bengong mengapa orang-orang Arab melakukannya di tempat umum dan harus ada larangan terbuka.
Padahal maksudnya “dilarang masuk”.
Saya belajar bahasa Arab sejak sekolah dasar. Ala kadarnya. Tsanawiyah belajar, aliyah belajar, dan di kampus menjadi satu mata kuliah. Tak mahir, namun sedikit-sedikit mengerti.
Di Mekkah dan Madinah, papan-papan pengumuman merusak sebagian pemahaman saya akan beberapa kosa kata.
Misalnya pengumaman ini: mamnu’ wuquf qathiyyan.
“Di larang wukuf secara qathi.”
Jika dipahami ala kadarnya, maknanya bisa begitu.
Padahal maksudnya “dilarang keras berhenti”. Beruntung ada gambar yang menbantu memberi konteks. Pantas-pantasnya lawan kata qathi adalah zhanni. Begitu yang tertera dalam pelajaran ulum al-Quran.
Ada lagi papan pengumuman bertuliskan “Markaz al-a’mal” yang bisa saja saya artikan “pusat amal kebaikan”, padahal “pusat bisnis”. Memang rumit bahasa itu.
Saya teringat lagi bahasa Arab yang digunakan beberapa teman santri secara selebor saat mondok dulu. Ia baru saja jalan-jalan dari luar pesantren lalu turun hujan. Karena tak membawa payung ia kehujanan.
Lantas ia bercerita dengan mengatakan ini: “ana thariq-thariq ke-mathar-an, saya jalan-jalan dan kehujanan”.
Bahasa bagi sebagian orang memang rumit. Itu yang membuat saya tak suka IELTS. Gara-gara itu saya tak lolos mendapat beasiswa luar negeri.
Kejam sekali dunia ini, tapi tetap harus dijalani.
Mekkah, 30 November 2024