Catatan untuk Fuad Plered: Pantaskah Guru Tua Mendapat Gelar Pahlawan Nasional?

Catatan untuk Fuad Plered: Pantaskah Guru Tua Mendapat Gelar Pahlawan Nasional?

Catatan untuk Fuad Plered: Pantaskah Guru Tua Mendapat Gelar Pahlawan Nasional?
Guru Tua (Sumber: Wikipedia)

Kontroversi pernyataan Gus Fuad Plered terkait usulan Guru Tua, Sayyid Idrus bin Salim Aljufri sebagai pahlawan nasional kembali membangkitkan luka lama dan mencerminkan persoalan yang jauh lebih dalam dari sekadar pilihan diksi yang keliru. Ketika kata “monyet” meluncur dalam konteks kritik terhadap dugaan manipulasi prosedural, bukan hanya mengusik etika publik, tapi juga sejarah dan identitas peranakan Arab yang terganggu secara emosional.

Persoalan utama berkenaan dengan pemberian gelar pahlawan oleh negara kepada Sayyid Idrus bin Salim Aljufri adalah perkara administratif. Dalam proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional ada keraguan terhadap status kewarganegaraannya. Selama bertahun-tahun, sebagian pihak mempertanyakan apakah Guru Tua benar-benar merupakan Warga Negara Indonesia (WNI), mengingat latar belakang keturunannya sebagai seorang Sayyid keturunan Arab dan kedatangan beliau ke Indonesia pada masa penjajahan. Isu ini kerap dijadikan alasan menolak atau menunda pengusulan gelar tersebut, meskipun jasa-jasa beliau di bidang pendidikan dan dakwah sangat nyata dan luas di kawasan Indonesia Timur.

Selain persoalan administratif tersebut, terdapat juga tantangan politis dan kurangnya kesadaran nasional terhadap peran tokoh-tokoh dari kawasan timur Indonesia dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa. Tokoh-tokoh seperti Guru Tua yang kiprahnya lebih banyak dirasakan di masyarakat setempat atau regional, seringkali luput dari perhatian arus utama narasi kepahlawanan nasional yang cenderung berpusat di Jawa dan Sumatera. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengakuan secara formal oleh negara, meskipun pengaruh dan warisan yang ditinggalkan sangat besar.

Membicarakan Sayyid Idrus bin Salim aljufri, atau yang lebih dikenal dengan Guru Tua, tak bisa dilepaskan dari warisan intelektual dan spiritual yang ia bangun di Sulawesi Tengah. Melalui lembaga pendidikan Alkhairaat. Kiprah beliau lebih dari penyebaran agama; ia membangun jembatan antara tradisi lokal dan nilai-nilai inklusivitas Islam yang transformatif. Dalam konteks inilah, nama-nama seperti Prof. Huzaemah Tahido Yanggo dan mantan Presiden PKS, seperti Salim Segaf Aljufri, penting untuk disebutkan.

Prof. Huzaemah Tahido Yanggo (1946-2021) adalah pakar fikih perbandingan mazhab, perempuan Indonesia pertama peraih gelar doktor dari Universitas Al-Azhar, Mesir dan dengan predikat cum laude. Ia merupakan guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, pernah dipercaya sebagai rektor Institut Ilmu Al-Quran, Jakarta (2018-2022). Prof. Huzaemah dibesarkan dalam tradisi intelektual Alkhairaat. Memiliki kontribusi besar dalam studi hukum Islam, aktif sebagai pengurus MUI, Dewan pakar PP Muslimat NU dan dan A’wan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Ia merepresentasikan keberhasilan pendidikan Guru Tua dalam menyiapkan kader-kader perempuan yang kuat secara akademik, spiritual, dan kepemimpinan. Dengan kepakarannya di bidang fikih perbandingan dan perannya dalam Dewan Syariah Nasional serta Majelis Ulama Indonesia, Prof. Huzaemah menjadi sosok yang menjembatani antara tradisi ulama klasik dengan tantangan zaman modern. Ini membuktikan bahwa visi Guru Tua tentang Islam yang ramah, cerdas, dan terbuka tidak berhenti pada satu generasi.

Sementara itu, Salim Segaf Aljufri, yang juga cucu Guru Tua, menapaki jalur dakwah dan kepemimpinan politik melalui PKS. Meski tampil dalam panggung politik nasional, Salim tetap membawa semangat keulamaan dan kultural yang diwariskan dari Alkhairaat. Dalam banyak kesempatan, ia menekankan pentingnya dakwah yang berakar pada nilai-nilai lokal, kelembutan, dan moderasi, sesuatu ruh pendidikan Guru Tua. Baik Prof. Huzaemah maupun Salim Segaf, meskipun menempuh jalur berbeda, sama-sama menjadi cerminan positif dari bagaimana warisan Sayyid Idrus bin Salim aljufri terus hidup dan memberi kontribusi berarti bagi masyarakat dan bangsa.

Gus Fuad dan Tradisi Kritik

Gus Fuad Plered bukan sosok asing dalam perdebatan publik. Latar belakangnya yang mendaku sebagai intelektual pesantren menempatkannya dalam tradisi kritik moral keagamaan yang khas: tajam, satir, dan terkadang mengusik nalar dominan. Namun, dalam kasus ini, ia tampak keliru dalam mengaitkan analogi Al-Qur’an, tentang kaum yang dimurkai Tuhan dan diubah menjadi kera (Al-Baqarah: 65), dengan isu administrasi gelar kepahlawanan.

Dalam klarifikasinya, ia menyatakan, pernyataan tersebut bukan ditujukan kepada Guru Tua, melainkan kepada “sekelompok orang” yang diduga menyiasati aturan mendukung pengangkatan pahlawan nasional meski dokumennya belum lengkap. Namun, bahasa yang telah terucap, dalam ruang publik yang luas dan politis, menyulut kemarahan, terutama di kalangan keluarga besar Alkhairaat dan masyarakat Sulawesi Tengah.

Guru Tua Sejarah yang Terlupakan

Sayyid Idrus bin Salim Aljufri sosok sentral dalam perkembangan Islam di kawasan timur Indonesia. Ia mendirikan Alkhairaat pada 1930 dan menciptakan ekosistem pendidikan yang berakar kuat hingga kini. Dalam buku Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values, Howard M. Federspiel lebih mendalami Persatuan Islam (Persis), namun ia menyebut Guru Tua sebagai salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam berbasis pendidikan yang damai dan progresif di luar Jawa. Bahkan, dalam laporan penelitian LIPI tahun 2009, Alkhairaat disebut sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia timur dengan jaringan pendidikan yang mencapai lebih dari 1 juta siswa.

Namun, problem muncul saat gelar kepahlawanan nasional dibenturkan dengan standar administratif dan bukti “perjuangan fisik”, sebuah kategori yang masih disandera pada narasi kekerasan dan militeristik dalam memori resmi bangsa. Dalam sistem pengusulan pahlawan nasional yang diatur oleh Permensos No. 15 Tahun 2012, memang disebutkan bahwa syarat utama adalah adanya rekam jejak perjuangan dalam merebut atau mempertahankan kemerdekaan. Tapi bagaimana kita memahami “perjuangan” dalam konteks pendidikan dan dakwah?

Jika parameter perjuangan hanya dimaknai secara literal sebagai keterlibatan dalam perang bersenjata, maka sejarah akan mengabaikan para pendidik, ulama, dan penyebar nilai kemanusiaan yang berjasa dalam membentuk kesadaran bangsa. Di sinilah akar problem: birokrasi yang masih rigid dan tertinggal dibanding semangat zaman.

Umar Faruk Al Jufri dalam penelitian tesisnya di Australia National University tahun 2020 berjudul Alkhairaat: A Study on its Hadhrami Background and Roles in Educational Reform in Eastern Indonesia mencatat cukup lengkap bahwa kita tidak bisa menafikan peran Sayyid Idrus bin Salim Aljufri. Di belahan timur Indonesia, berdiri sebuah warisan pendidikan yang membentang melintasi sejarah cukup panjang: Alkhairaat. Didirikan pada tahun 1930 oleh Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, yang dihormati sebagai Guru Tua. Jaringan pendidikan ini mengalami transformasi menjadi salah satu fondasi utama pengembangan intelektual, spiritual, dan sosial masyarakat Islam di kawasan tersebut.

Sayyid Idrus bin Salim Aljufri lebih dari seorang pendakwah atau ulama. Ia adalah arsitek peradaban pendidikan Islam modern di timur nusantara. Di tengah keterbatasan zaman kolonial, ia membangun Alkhairaat dengan visi melampaui sekat mazhab dan geografi. Dari lembaga yang dirintis, kini telah tumbuh setidaknya lebih dari 1.550 madrasah, 49 pondok pesantren, dan sebuah universitas Islam yang menaungi tujuh fakultas. Jaringan ini mendidik lebih dari 200.000 siswa dan dikelola oleh 18.000 guru dan staf, menjadikan Alkhairaat sebagai jaringan pendidikan Islam terbesar di kawasan timur Indonesia.

Namun, kontribusi Guru Tua tak hanya dapat dihitung secara angka. Lebih dalam dari itu, ia menanamkan gagasan besar mengenai reformasi pendidikan Islam. Dalam kurikulum Alkhairaat, ia mengintegrasikan ajaran agama klasik dengan mata pelajaran kontemporer. Selain ilmu fikih juga diajarkan dan matematika. Tafsir Al-Qur’an berpadu dengan ilmu alam dan sosial. Pendekatan ini bukan hanya inovatif pada zamannya, tetapi juga progresif: menjadikan para pelajar mampu menjawab tantangan zaman modern tanpa tercerabut dari akar religiusnya.

Tak hanya di ruang kelas, pengaruh Guru Tua menyentuh denyut nadi kehidupan masyarakat. Ia aktif membangun komunitas berbasis kebudayaan dan keagamaan, menyatukan umat Islam dari latar etnis dan sosial yang beragam. Ia berhasil menjadikan identitas Hadhrami yang ia warisi tidak sebagai tembok pemisah, melainkan jembatan peradaban. Dalam proses ini, nilai-nilai Islam diselaraskan dengan budaya lokal, menciptakan sintesis yang tidak hanya diterima, tapi juga dicintai oleh masyarakat.

Menariknya, pada tahun 1956, Guru Tua mulai menggeser model kepemimpinannya dari sentralistik ke partisipatoris. Ia mendorong pengambilan keputusan secara kolektif di dalam struktur Alkhairaat. Dalam konteks masyarakat tradisional, langkah ini merupakan isyarat kuat bahwa pendidikan dan kepemimpinan bukan milik satu orang atau satu klan, melainkan milik bersama, milik masyarakat. Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dikenal aktif dalam kehidupan spiritual komunitas. Ia bukan ulama yang berjarak dari umat. Ia hadir dalam majelis dzikir, memimpin doa dalam hajat-hajat besar, dan menjadi tempat masyarakat mengajukan pertanyaan, fatwa dan nasihat.

Warisan Guru Tua bukan semata aset fisik atau nama yang terukir dalam sejarah. Ia adalah napas yang terus berhembus di tengah dinamika masyarakat timur Indonesia. Ia adalah gagasan tentang pendidikan yang memanusiakan, tentang Islam yang mencerdaskan dan mempersatukan, tentang kepemimpinan yang melayani.

Kini, ketika namanya kembali ramai dibicarakan dalam wacana kepahlawanan nasional, tak dapat dipungkiri bahwa kontribusinya terhadap bangsa ini terukur, dan bermakna. Lebih dari sekadar tokoh agama, Sayyid Idrus bin Salim Aljufri terbukti sebagai arsitek sekaligus pengembang peradaban melalui pena, papan tulis, dan keteladanan yang hidup hingga hari ini.

Politik Identitas dan Luka Minoritas

Kontroversi ini juga membuka luka-luka lama yang belum sembuh sepenuhnya: marginalisasi simbolik terhadap tokoh-tokoh dari luar Jawa, khususnya dari komunitas Arab-Indonesia dan kawasan timur. Dalam bukunya Becoming Arab: Creole Histories and Modern Identity in the Malay World, Sumit Mandal menjelaskan bagaimana orang Arab, khususnya dari Hadramaut seperti Guru Tua, kerap diposisikan ambigu dalam politik kewarganegaraan dan representasi nasional.

Kritik terhadap Sayyid Idrus bin Salim Aljufri harus dimulai dari sebuah kesadaran etis dan historis: bahwa menyoal tokoh besar bukanlah upaya merendahkan, tetapi justru bagian dari upaya memahami sejarah secara lebih utuh, adil, dan manusiawi. Dalam konteks Indonesia yang majemuk dan cenderung Jakarta-sentris, kritik semacam ini sangat diperlukan guna mengangkat kembali peran pinggiran dalam narasi kebangsaan. Guru Tua adalah sosok monumental dalam pembangunan pendidikan Islam di kawasan Indonesia Timur, namun justru karena besarnya kontribusi itulah, kritik konstruktif menjadi penting agar warisan intelektual dan sosial beliau tidak terjebak dalam mitos, tetapi bisa terus berkembang dalam dialog pengetahuan.

Salah satu kritik utama terhadap figur Guru Tua muncul dari fakta minimnya dokumentasi tertulis terkait keterlibatan langsung beliau dalam perjuangan fisik melawan kolonialisme. Bukan berarti tidak ada kontribusi, tetapi sistem birokrasi pengusulan gelar Pahlawan Nasional di Indonesia cenderung berpihak pada tokoh-tokoh yang dapat dibuktikan melalui jejak administrasi yang rapi dan berbasis arsip formal. Ini merupakan masalah struktural yang seringkali mengabaikan tokoh-tokoh dari kawasan Timur Indonesia, apalagi mereka yang lebih memilih jalur pendidikan sebagai medium perjuangan. Dalam hal ini, kritik terhadap kurangnya dokumentasi bukan ditujukan melemahkan posisi Guru Tua, melainkan justru menjadi argumen meninjau ulang standar nasional tentang siapa yang layak disebut pahlawan.

Lebih jauh, posisi politik Guru Tua dalam periode transisi antara kolonialisme dan kemerdekaan juga masih belum tergambarkan secara eksplisit dalam dokumen sejarah. Tidak seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Achmad Dahlan atau Buya Hamka yang tegas menyuarakan dukungan terhadap Republik, jejak politik Guru Tua terhadap negara-bangsa modern Indonesia tidak terlalu menonjol dalam arsip nasional. Tentu, ini bisa dimaklumi, sebab beliau berkiprah di wilayah marginal seperti Sulawesi, jauh dari pusat-pusat diskursus politik nasional.

Namun kekosongan ini tetap menyisakan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kita membaca peran tokoh seperti Guru Tua dalam pembentukan imajinasi kebangsaan: apakah nasionalisme hanya valid jika diekspresikan dalam bentuk administrasi dokumen negara, atau justru bisa diwujudkan melalui penguatan basis kultural, pengakuan sosial setempat dan pendidikan masyarakat di daerah tempatnya berjuang?

Dimensi identitas juga menjadi bagian dari perbincangan. Guru Tua berasal dari komunitas Hadhrami, yang dalam kajian Sumit K. Mandal dalam Becoming Arab sempat memiliki kecenderungan segregatif terhadap masyarakat lokal. Kritik muncul dari sebagian kalangan tentang bagaimana Alkhairaat pada awalnya cenderung mengadopsi simbolisme keislaman Arab yang kurang membumi. Akan tetapi, justru dalam konteks inilah kejeniusan Guru Tua terlihat. Alih-alih mempertahankan eksklusivitas kultural, beliau berhasil menginkulturasi nilai-nilai Islam ke dalam konteks lokal, menjadikan Alkhairaat sebagai rumah keagamaan yang inklusif dan terbuka bagi masyarakat Indonesia Timur. Ini merupakan transformasi sosial-kultural luar biasa, yang justru menunjukkan kemampuan luar biasa Guru Tua dalam transformasi kebudayaan.

Namun, meskipun Alkhairaat menjadi kekuatan besar di kawasan Timur Indonesia, pengaruhnya dalam kancah politik nasional tidak bisa dibandingkan dengan organisasi yang tumbuh di Jawa seperti NU dan Muhammadiyah. Keterbatasan ini tidak serta-merta menjadi kesalahan Guru Tua, melainkan memperlihatkan kegagalan negara dalam membangun narasi sejarah yang benar-benar adil dan berimbang. Organisasi seperti Alkhairaat kerap kali dipinggirkan dalam peta ideologis bangsa, hanya karena letaknya jauh dari pusat dan tidak memiliki infrastruktur politik cukup kuat. Dalam hal ini, kritik tidak ditujukan kepada Guru Tua sebagai individu, melainkan pada struktur politik dan kultural Indonesia yang masih memandang pinggiran dengan lensa eksotisme atau inferioritas.

Dari seluruh kritik ini, dapat ditarik satu benang merah: sudah waktunya kita meninjau ulang parameter pemberian gelar Pahlawan Nasional dan cara kita menulis sejarah bangsa. Perjuangan berbasis pendidikan dan peradaban seperti dilakukan Guru Tua seharusnya mendapat pengakuan lebih adil dan proporsional. Negara perlu lebih terbuka terhadap narasi-narasi dari kawasan Timur, yang selama ini belum diberi tempat layak dalam panggung nasional.

Untuk itu, Alkhairaat sebagai institusi pewaris perjuangan Guru Tua, perlu membangun pusat riset yang komitmen pada penelitian sejarah lokal, dimanika masyarakat dan transformasi sosial guna menggali narasi-narasi lokal dan arsip lisan masyarakat dari Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua hingga benar-benar dijadikan sebagai rujukan. Ini penting tidak hanya memperteguh pengembangan institusional, tetapi juga menjadikan Alkhairaat sebagai aktor kebudayaan yang turut membentuk penulisan arah sejarah nasional.

Lebih dari penghormatan simbolik, kita membutuhkan rekonsiliasi epistemik dan simbolik antara pusat dan pinggiran. Sebab bangsa ini tidak akan pernah utuh jika hanya dibentuk oleh satu narasi dominan. Dan dalam upaya itulah, warisan Guru Tua harus terus digali, dikritisi, dan dihidupkan kembali, sebagai penerang bagi masa depan peradaban yang lebih adil dan beradab.

Memulai Proses Menyembuhkan Luka

Polemik mengenai status admininstrasi kewarganegaraan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri akhirnya menemukan titik terang setelah munculnya dokumen resmi dari Kantor Imigrasi Manado tahun 1965 yang menyatakan bahwa beliau adalah sah sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Dokumen bertajuk “Surat Keterangan Kependudukan” itu menyebutkan secara eksplisit bahwa Guru Tua merupakan penduduk Indonesia berdasarkan Undang-Undang Darurat RI No. 9 Tahun 1955 Pasal 4 Ayat L, lengkap dengan foto, cap resmi, dan merujuk pada surat-surat dari Direktorat Imigrasi tahun 1959 dan 1962.

Dalam proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri, peran Kementerian Sosial, dipimpin oleh Saifullah Yusuf saatnya merekomendasikan tokoh-tokoh yang berjasa kepada negara. Dengan adanya dokumen tersebut seharunya tidak ada lagi kendala administratif serius berupa keraguan terhadap status kewarganegaraannya, yang menjadi syarat mutlak dalam mekanisme pemberian gelar. Saifullah Yusuf perlu mendorong persiapan formal oleh pihak pengusul. Kini, dengan terbitnya dokumen resmi dari Kantor Imigrasi Manado tahun 1965 yang menegaskan bahwa Guru Tua adalah Warga Negara Indonesia yang sah sesuai UU Darurat No. 9 Tahun 1955, hambatan utama tersebut telah teratasi dan membuka jalan lebih terang bagi pengakuan negara terhadap jasa-jasa besar beliau, sejalan dengan semangat Kemensos untuk memberi ruang lebih adil bagi tokoh dari kawasan timur Indonesia.

Namun, berkenaan dengan pernyataan Gus Fuad Plered membuka kembali perdebatan lama yang kerap terpendam dalam rekaman sejarah nasional: siapa yang layak disebut pahlawan, dan bagaimana cara bangsa ini menyusun ingatan kolektifnya. Ucapan Gus Fuad Plered yang mengkritik Guru Tua, Sayyid Idrus bin Salim Aljufri, memang telah direspons dengan klarifikasi dan permintaan maaf. Namun, momen ini tidak bisa berhenti pada titik maaf belaka. Ia harus menjadi pintu masuk menuju pembelajaran lebih dalam, tidak hanya bagi Gus Fuad sebagai individu, tetapi bagi seluruh figur publik, terlebih lagi mereka yang memposisikan diri sebagai ulama atau cendekiawan.

Sebagai figur yang memiliki akses terhadap ruang publik dan wacana keislaman, Gus Fuad Plered memikul tanggung jawab moral yang besar. Ucapan yang menyinggung figur kharismatik seperti Guru Tua bukan hanya melukai perasaan komunitas Alkhairaat, tetapi juga mencerminkan bagaimana ketimpangan narasi sejarah masih menjadi luka terbuka dalam tubuh bangsa ini. Kritik terhadap tokoh sejarah memang sah dan penting, bahkan sangat diperlukan dalam membangun demokrasi pengetahuan. Namun, kritik yang berangkat tanpa empati dan kepekaan historis hanya memperdalam jurang ketidakpercayaan antara pusat dan pinggiran, antara narasi dominan dan suara yang lama terbungkam atas ketidakseimbangan pembangunan.

Di sinilah Gus Fuad Plered perlu mengambil pelajaran penting: menyadari bahwa etika publik seorang ulama tidak cukup hanya berbekal kejujuran intelektual, tetapi juga menuntut standar moral atas kesanggupan memahami bahwa setiap kata harus dipertanggungjawabkan, dan setiap tokoh yang dikritik menyimpan emosi kolektif yang hidup dalam jutaan jiwa. Guru Tua tidak hanya bisa dipandang sebagai sosok pendiri lembaga pendidikan; ia adalah simbol kultural yang merawat martabat manusia di kawasan yang selama ini dilupakan oleh pusat kekuasaan. Mengkritiknya tanpa konteks seperti menebang pohon rindang yang memberi keteduhan tanpa pernah menapaki akarnya.

Negara perlu membuka ruang dialog yang setara dengan institusi pendidikan di sejumlah daerah luar Jawa, seperti Universitas Alkhairaat, dan mulai membongkar ulang arsip-arsip sejarah yang terlalu Jakarta-sentris. Pengakuan terhadap Guru Tua harus dibaca sebagai pengakuan terhadap sejarah Islam Nusantara di Indonesia Timur, lebih dari legitimasi berbasis dokumen administratif yang selama ini hanya menjadi catatan kaki dalam narasi besar bangsa. Di saat yang sama, para ulama dan cendekiawan yang berperan dalam ruang wacana publik harus menyadari bahwa kritik, betapapun tajamnya, tetap harus lahir dari kepeduliaan, bukan karena egosentrisme identitas primitif: pribumi dan non pribumi.