Tidak hanya orang awam, tokoh agama pun sering keliru, bahkan ngawur kalau berbicara tentang agama yang bukan agamanya. Sebabnya sederhana saja: tidak punya referensi dan pemahaman yang obyektif, bahkan sumbernya subyektif.
Dengan subyektifitasnya itu, kalau dia mengkritik atau merendahkan agama orang lain, sebenarnya dia sedang mengkritik pemahamannya sendiri yang keliru. Kita saja, yang muslim, bisa marah dan tersinggung kalau ada orang lain yang ngomong tentang agama kita secara subyektif, tidak obyektif.
Satu agama saja rumitnya bukan main: ada aspek teologi/akidah, hukum, etika, mistisisme, mazhab-mazhabnya, perkembangannya, dan seterusnya. Luar biasa rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dulu tahun 80an, Profesor Mukti Ali, Allah yarham, memberikan pembelajaran bahwa kalau ingin memahami agama orang lain ada syarat-syaratnya. Minimal memiliki feeling, punya empati dan simpati, serta menguasai bahasa asli kitab sucinya. Berat, kan?
Jika tidak mampu, minimal orang tersebut mau belajar secara obyektif, mendengarkan langsung dari pemeluknya. Kalau gak mau juga, minimal dia mau menghormati keyakinan orang lain dengan tidak ngomong sesuatu yang tidak dia pahami.
Apakah kasus merendahkan agama orang lain akan berakhir setelah kasus Ust Abdul Somad yang sedang viral ini? Belum tentu. Orang beragama, terutama yang sedang semangat-semangatnya beragama, gemar sekali memandang agama orang lain dengan ukuran agamanya. Ukuran subyektif yang disampaikan dalam wilayah publik ini rentan jadi bibit konflik antar umat beragama.
Dulu Max Muller, bapak ilmu perbandingan agama di Eropa, sudah wanti-wanti melalui ucapannya, “He who knows one, knows none.” (Orang yang hanya tau satu agama dan tak mau tahu agama-agama lain, sebenarnya dia tidak tahu apa-apa.
Wallahu a’lam.