Belakangan, jagat maya dihebohkan dengan berita rumah tangga Lesti dan Rizky Billar, di mana Billar diinfokan melakukan KDRT terhadap istrinya, Lesti. Persoalan KDRT jika dibaca di dalam hukum Islam biasa dikaitkan dengan tema nusyuz.
Di dalam fikih klasik, tema nusyuz biasa dialamatkan kepada istri. Nusyuz diartikan sebagai pembangkangan atau ketidak-patuhan istri kepada suami dalam hal yang wajib. Nusyuz berimplikasi kepada gugurnya hak nafkah untuk istri. Dalam kajian Hukum Keluarga kontemporer, nusyuz suami menjadi tema yang sering dibicarakan sebagai kritik atas tema nusyuz istri, hal ini karena memang di dalam QS. An-Nisa` ayat 128, kata-kata nusyuz digunakan untuk suami.
Prof. Nasaruddin Umar adalah salah seorang tokoh yang mengkritik bahasan nusyuz yang termuat di dalam kitab-kitab fikih. Di dalam bukunya “Ketika Fikih Membela Perempuan”, Prof. Nasar bahkan mengatakan:
“Hampir di semua kitab fikih, para fuqaha memberi penegasan praktis mengecam perbuatan nusyuz yang didefinisikan sebagai perbuatan menentang dan bentuk ketidaktaatan istri terhadap suami, hingga menyinggung perasaan suami, baik melalui ucapan maupun tingkah laku”.
Di sini, Prof. Nasar mengklaim bahwa definisi yang beliau utarakan terdapat di hampir semua kitab fikih. Hal ini tentu memberikan stigma yang sangat negatif terhadap kitab fikih dan fuqaha. Seakan-akan para fuqaha sangat memarginalkan perempuan dan menempatkan perempuan begitu tertindas, sehingga ketika perempuan mengucapkan kata-kata yang tidak disukai suaminya, ia sudah dikatakan nusyuz.
Padahal tidak demikian adanya. Bagi pengkaji kitab fikih klasik di dalam kitab Fathul Mu’in karya al-Malibārī (w 987 H) yang hampir dikaji di semua pesantren salaf di Indonesia, dijelaskan:
وليس من النشوز شتمه وإيذاؤه باللسان وإن استحقت التأديب
Artinya: “tidak termasuk ke dalam kategori nusyuz: mencacinya (suami), begitu juga menyakitinya dengan lisan, sekalipun dia (istri) berhak untuk dididik”.
Dari teks kitab fikih Fathul Mu’in ini sudah jelas bahwa nusyuz tidak seperti konsep yang diterangkan Prof. Nasar. Beliau menganggap, di dalam fikih, ucapan istri yang menyinggung suami adalah nusyuz. Nyatanya, sebagaimana data di atas, dalam Fathul Mu’in (sebagai kitab fikih yang dianggap bias gender) tidaklah demikian.
Ketika ditelusuri catatan kaki tulisan Prof. Nasar ini, ternyata beliau menisbatkan konsepnya kepada Imam Fakhruddin al-Rāzī di dalam tafsirnya Mafātīh al-Ghaib.
Setelah ditelusuri kembali tafsir tersebut, ternyata Imam al-Rāzī tidak bermaksud seperti yang dijelaskan Prof. Nasar. Imam al-Rāzī mengatakan:
وَاللَّاتِي تَخافُونَ نُشُوزَهُنَّ النُّشُوزُ قَدْ يَكُونُ قَوْلًا، وَقَدْ يَكُونُ فِعْلًا، فَالْقَوْلُ مِثْلَ أَنْ كَانَتْ تُلَبِّيهِ إِذَا دَعَاهَا، وَتَخْضَعُ لَهُ بِالْقَوْلِ إِذَا خَاطَبَهَا ثُمَّ تَغَيَّرَتْ، وَالْفِعْلُ مِثْلَ أَنْ كَانَتْ تَقُومُ إِلَيْهِ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا، أَوْ كَانَتْ تُسَارِعُ إِلَى أَمْرِهِ وَتُبَادِرُ إِلَى فِرَاشِهِ بِاسْتِبْشَارٍ إِذَا الْتَمَسَهَا، ثُمَّ إِنَّهَا تَغَيَّرَتْ عَنْ كُلِّ ذَلِكَ، فَهَذِهِ أَمَارَاتٌ دَالَّةٌ عَلَى نُشُوزِهَا وَعِصْيَانِهَا
Bagian kalimat Prof. Nasar itu benar adanya dinyatakan oleh al-Rāzī, namun al-Rāzī bukan sedang menjelaskan definisi nusyuz, tetapi menjelaskan tentang amārāt dāllah ‘alā nusyuz (tanda-tanda yang mengarah kepadan nusyuz) yang dikhawatirkan akan merembet kepada nusyuz, sebagaimana ayat yang sedang dijelaskannya.
Nusyuz dan amārāt nusyuz adalah dua hal yang berbeda, dan memiliki implikasi hukum yang jauh berbeda. Amārāt nusyuz bukanlah nusyuz, sehingga tidak berpengaruh apa-apa terhadap hak nafkah istri.
Nampaknya Prof. Nasar kurang teliti dalam pengutipan ini. Hal ini tentu sangat bahaya, karena memberikan stigma yang sangat buruk terhadap fikih. Apalagi beliau memilik kata “hampir di semua kitab fikih”.
Sungguhpun demikian, bukan berarti boleh nyakitin dengan kata-kata. Perlu diingat, bahwa di dalam UU tentang KDRT, kekerasan verbal termasuk ke dalam bentuk KDRT, sekalipun di dalam fikih, omelan istri pada suami bukan termasuk nusyuz. Wallahu A’lam.