Sebagai umat Islam, kita dikenai kewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Amar ma’ruf merupakan mengajak-ajak kepada orang lain untuk berbuat kebaikan, sementara nahi munkar adalah ketika kita berbuat sebuah tindakan untuk mencegah terjadinya kemunkaran. Akan tetapi, terkadang semangat amar ma’ruf nahi munkar ini membuat kita terbawa situasi, karena saking semangatnya, sampai ketika melihat kemunkaran kita merasa wajib untuk membasminya saat itu juga.
Benarkah demikian?
Salam sebuah video yang diunggah oleh channel Santri Gayeng, KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha) memberi keterangan yang praktis, tentang bagaimana kita seharusnya menangani kemungkaran – dengan cara yang baik, yang ma’ruf, dan tidak menimbulkan kerusakan baru.
“Jadi tidak seperti Ekstremis,” Demikian ungkap ulama asal Rembang ini dalam pengajian tersebut.
Dalam Fiqih terdapat kaidah “Dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil-masaalih.” Yang artinya kurang lebih adalah menghindarkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengejar kemaslahatan. Ini merupakan prinsip yang perlu kita pegang pertama kali.
Gus Baha kemudian memberikan ilustrasi: Bayangkan jika kita berjalan bersama anak istri, atau berjalan sendiri tapi di rumah punya keluarga yang harus kita nafkahi. Kemudian melihat orang mabuk-mabukan di tengah jalan. Sementara kita tahu orang mabuk itu adalah seorang Muslim. Kita juga tahu, orangtua pemabuk itu adalah orang yang soleh dan solehah.
Dosa pemabuk ini semula hanyalah dosa mabuk.
Namun, jika kemudian kita mengingatkan di tempat saat dia sedang mabuk, sehingga terjadi perkelahian dan kita terbunuh, madharatnya malah justru akan lebih besar daripada dosa mabuk. Yaitu dosa membunuh bagi orang itu. Selain itu, madharat yang terjadi adalah kesedihan dari orangtuanya yang sebenarnya soleh dan solehah. Sudah mabuk, ditambah terjadi perkelahian dan sampai membunuh.
Menurut Gus Baha, Jika kita berkelahi dan kemudian terbunuh, misalnya, kita juga akan jadi orang yang disalahkan oleh syariat. Kenapa? Karena yang tadinya jadi tulang punggung keluarga, malah nafkah keluarga justru akan terbengkalai. Dengan ilustrasi ini terlihat, melakukan nahi munkar juga berpotensi menimbulkan risiko, yang tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga kepada orang tua si pemabuk itu dan keluarga kita.
Jika situasinya demikian, kita wajib tidak nahi munkar. (Ingat, ini berbeda dengan tidak wajib nahi munkar!)
Demikianlah yang dimaksud oleh Imam Nawawi dan hampir semua ulama berpendapat, bahwa nahi munkar itu wajib. Sekali lagi, wajib. Kecuali, jika dengan nahi munkar menyebabkan terjadinya madharat yang lebih besar. Gus Baha menyebut dengan istilah madharat yang “a’dhama minhu”.
Tetap harus diingat, bahwa jangan pernah kita menyebut bahwa nahi munkar itu bisa gugur, atau tidak wajib. Bagaimanapun, nahi munkar itu tetap lah wajib dan menjadi tugas seorang Muslim.
Lalu, kapan waktu yang tepat untuk melawan kemungkaran? Menurut Gus Baha, kita perlu memiliki jadwal tersendiri, dengan rute dan perhitungan sendiri. Yakni, misalkan, ketika seorang pemabuk yang kita temui ini sudah sadar, kita kunjungi rumahnya, dan kemudian kita ajak bicara baik-baik. Atau bicarakan secara baik-baik kepada orangtuanya.
Karena bagaimana pun, dalam mempraktikkan ilmu Fiqih, tidak bisa asal serampangan. Ilmu Fiqih punya hitung-hitungan yang disesuaikan dengan situasi tertentu. Dengan demikian, jangan sampai semangat kita untuk nahi munkar jangan sampai dilakukan dengan sembarangan, apalagi malah menimbulkan madharat yang baru. Hendaknya dalam mengubah kemungkaran, kita memakai metode, cara dan hitung-hitungan yang matang dan efektif.