Saya membaca artikel singkat yang sungguh menarik berjudul Belajar dari Cerita Berantai Kerbau, yang Berakibat Fatal. Sisi menariknya, kisah itu sangat cocok dengan situasi kita di era medsos, sebab satu sumber informasi penting kita adalah berita berantai. Artikel itu dibuka dengan kisah tentang seekor kerbau yang kelelahan habis bekerja dan ingin istirahat di esok harinya.
“Saya sungguh capai dan besok mau istirahat sehari,” katanya kepad anjing yang mengajaknya jalan-jalan.
Si anjing kemudian bercerita kepada kucing bahwa kerbau capek karena bosnya terlalu keras mempekerjakannya. Kucing kemudian berkata kepada kambing bahwa si kerbau juga mengeluh karena bosnya terlalu keras mempekerjakannya. Cerita terus bergulir dari satu mulut ke mulut lain dengan penambahan informasi yang kian melenceng dari semula. Ketika cerita itu sampai ke telinga si bos kerbau, informasi itu berubah menjadi “si kerbau mau meninggalkan bosnya untuk bekerja dengan bos baru.” Si bos kerbau merasa tersinggung dan marah sehingga membunuh si kerbau yang dianggap telah mengkhianatinya.
Dalam konteks tradisi lisan, penyebaran informasi dilakukan dari lisan ke lisan hingga menjadi berita publik yang tersebar secara luas. Kisah di atas adalah ilustrasi penyebaran berita yang terjadi dalam masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan. Tapi dalam masyarakat budaya tulis, informasi tersebar melalui tulisan. Dalam budaya lisan, organ tubuh terpenting dalam menyebarkan informasi adalah mulut, dalam budaya tulis, organ tubuh terpenting dalam menyebarkan gagasan adalah jari.
Jari, terutama jempol, menjadi organ tubuh yang sangat penting. Ketika seseorang mau mengakses informasi melalui gadget, jempol akan beraksi. Ketika orang mau chatting melalui gadget-nya, jempol akan menari-menari. Ketika seseorang hendak menyebarkan berita yang dia dapatkan, jempotllah yang akan mengambil peran. Intinya, jempol adalah segala-galanya dalam memperoleh dan menyebarkan sebuah gagasan atau informasi.
Nah, salah satu karakter penting di era internet adalah kecepatan dianggap lebih penting dari ketepatan. Akibatnya, karena menekankan pada kecepatan, produsen berita lengah dalam hal akurasi. Produsen berita tahu persis bahwa kekuasaan atas kesadaran publik ditentukan oleh siapa yang tercepat menyebarkan berita. Di era di mana akses terhadap berita hanya memerlukan jentikan jari, tiap orang juga berlomba-lomba untuk jadi terdepan mendapatkan informasi. Penguasaan atas informasi menentukan siapa yang akan memnguasai dunia. Jadilah informasi adalah alat kekuasaan. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan berkuasa.
Lalu, mari kita bayangkan, siapa yang akan berkuasa jika para produsen informasi dan gagasan yang disebar ke ruang publik itu adalah para pembohong? Jika para pembohong menjadi produsen informasi, maka yang akan disebar ke khalayak luas adalah berita-berita bohong.
Berita bohong ini kemudian dimakan para konsumen berita yang sudah tidak lagi merasa perlu untuk memastikan akurasinya. Konsumen itu langsung melahap informasi yang diterimanya karena dengan itu dia juga merasa sebagai orang yang paling tahu tentang kebenaran. Kebenaran tiba-tiba sinonim dengan kecepatan mengakses sebuah berita atau gagasan. Kebenaran tidak lagi ada pada ketepatan, tapi kecepatan.
Apalagi, media sosial menjadikan siapa saja bisa menjadi konsumen sekalipun produsen hanya dengan turut menyebarkan konten Bayangkan si konsumen yang sudah merasa tahu sebuah kebenaran lalu menyebarkan ke sepuluh temannya, masing-masing dari sepuluh temannya menyebarkan ke sepuluh yang lain. Berapa ribu orang yang akan terpapar oleh kebohongan dalam satu hari?
Rangkaian berita yang tereduksi dalam tradisi lisan mengakibatkan terbunuhnya kerbau oleh bosnya, bisakah Anda bayangkan malapetaka kemanusiaan apa yang akan terjadi akibat kita tidak bisa mendidik jempol kita? Apalagi, jika kebohongan itu diproduksi secara sengaja dan memengaruhi publik? Dan, kebohongan itu diakui sebagai kebenaran dan efeknya publik turut menyebarkan, bisa dibayangkan tragedi kemanusiaan apa yang akan terjadi?
Kalau hanya seekor kerbau yang disembelih, mungkin tidak mengapa, bagaimana kalau yang dipertaruhkan adalah nasib sebuah bangsa?Jadi, betapa pentingnya kita mendidik jempol agar dia sadar akan bahaya yang diakibatkan dari jentikannya pada sebuah gadget. Jempolmu adalah harimaumu![]