Heboh nian media sosial kita hari-hari ini. Dari facebook, instagram, twitter, hingga youtube, banyak diriuhkan oleh kasus kesalahan penulisan ayat Al-Qur’an oleh salah satu stasiun televisi kenamaan. Acara bertajuk Syiar Kemuliaan yang diasuh ustadzah Nani Handayani, terekam dua kali menayangkan ayat Al-Qur’an yang keliru, yakni Q.S. Al-‘Ankabut ayat 45 dan Q.S. Al-Ahzab ayat 21.
Sontak saja para netizen, terutama umat Islam, risih dengan fenomena tersebut. Jelas saja riuh, sebab itu ayat Al-Qur’an lho…, Pedoman umat Islam dalam kehidupan. Qur’an ini menggunakan bahasa Arab yang kompleksitasnya luar biasa. Salah harokat saja bisa merubah makna, apalagi salah kata atau kurang huruf. Kalau maknanya berubah, tentu isi kandungan ayatnya juga berubah. Kan kacau to?
Maka disinilah memang kehati-hatian dalam menuliskan Al-Qur’an harus diperhatikan. Begitu juga para dai yang berceramah, semestinya juga memiliki kemampuan yang baik dalam babakan agama, mulai dari yang paling dasar seperti penulisan Al-Qur’an sampai masalah-masalah yang njlimet dan butuh pemikiran tinggi.
Beberapa kasus ceramah di televisi yang pernah mengundang keriuhan bisa menjadi instrospeksi bersama. Seperti ceramah seorang ustad muda yang mengatakan bahwa kenikmatan terbesar di surga adalah pesta seks. Ceramah tersebut ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi kenamaan pada bulan Juli 2017 lalu dan sontak membuat riuh para netizen.
Jika kita melihat tayangan youtube, malah semakin beragam ceramah-ceramah ustad yang tidak jarang membuat kuping panas. Bukan tambah adem hidup, tapi kadang malah memompa sentimen sosial. Kehidupan keberagamaan yang sejuk, berubah menjadi keruh dan sensitif. Ini tentu jadi problem tersendiri, mengingat Indonesia terdiri dari ragam suku, budaya, agama, dan kompleksitas identitas lainnya.
Kadang saya malah bertanya-tanya, apakah mereka ini benar-benar ustad yang mumpuni ilmu agamanya? Karena saat ini menjadi ustad itu gampang kok! Tinggal bikin channel di youtube, ceramah cas-cis-cus dengan menyitir ayat, pakai baju yang rapi dan islami, pakai surban yang rapi, gunakan diksi kata yang menarik, maka selesai sudah. Jadilah dia ustad.
Mainkan juga media sosial, mulai dari facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Isi dengan ceramah-ceramah, kata-kata mutiara, atau meme-meme yang bercitra islami. Buatkan juga aplikasi kumpulan ceramah di play store biar bisa didownload publik. Kalau namanya kira-kira kurang arab, diubah dikit biar ada kesan ke-arab-araban. Wah, bisa jadi ustad yang kondang jaya. Apalagi kalau sudah tampil di televisi, ratingnya langsung tinggi. Undangan ceramah akan berdatangan, baik dari dalam negri sampai luar negri.
Tapi apa benar jadi ustad segampang itu? Apalagi hanya dibesarkan oleh media sosial, yang sayangnya kadang tidak mencerminkan realitas sejati. Media sosial ini kan alat untuk memodifikasi. Apalagi dengan bantuan teknologi yang super canggih, segalanya bisa diatur. Teknologi ini, sebagaimana kata Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan (2011), mampu menampilkan citra semu menjadi tampak nyata.
Contoh sederhana, kita setiap hari memposting kata-kata bijak di facebook. Tentu kawan-kawan akan mengomentari : wah…, hebat, alim, bijak, luar biasa, dan lain-lain. Tapi apakah realitasnya pribadi kita seperti yang disangkakan kawan-kawan? Belum tentu! Karena kita hanya menyitir kata-kata yang sumbernya bisa dari google. Bukan dari kepribadian sejati. Belum lagi kalau kita rajin selvie-selvie di tempat pengajian, santunan anak yatim, atau di masjid, lalu diposting dan dibumbui kata-kata yang menarik. Bisa jadi kita langsung dipanggil ustad. Wow banget bukan?
Kita tak perlu repot-repot mencari ilmu ke pesantren-pesantren, ngaji dari guru satu ke guru yang lain, belajar agama sampai timur tengah. Cukup lihat google, sudah bisa jadi bahan ceramah. Ngapain kita ribet-ribet menghafal bait-bait alfiyah, memahami kitab fathu al-qarib yang njlimet, menghafal hadis arba’in, sebagaimana anak-anak di pesantren? Lha tinggal klik saja dapat materi ceramah kok! Tinggal dirangkai yang indah bisa buat ceramah berjam-jam. Simpel bukan jadi ustad itu?
Makanya banyak kita jumpai mantan artis jadi ustad, mantan musisi jadi ustad, mantan politisi yang gagal nyalon jadi ustad, mualaf yang baru belajar agama jadi ustad. Semua mendadak jadi ustad. Lama-lama bisa jadi ustad kita banyak nian, lebih banyak dari umatnya. Jika dahulu Kiai Zainuddin MZ dikenal sebagai dai sejuta umat, lama-lama sepertinya akan muncul umat dengan sejuta dai.
Saya jadi teringat selentingan KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus soal fenomena ustad atau kiai di Indonesia. Beliau bilang bahwa ustad atau kiai ada tiga jenis. Ada ustad yang tumbuh dan dibesarkan di tengah masyarakat. Mereka ini diakui ilmunya, dirasakan jasa-jasanya, dan senantiasa ditunggu petuahnya. Ada ustad partai yang memang dibentuk oleh parpol untuk jadi ustad. Tugasnya berkampanye agar partainya menang pemilu.
Yang terakhir, ini yang banyak terjadi, adalah ustad yang dibentuk oleh media. Mereka tumbuh dan dibesarkan bukan dari masyarakat, tapi dari media. Untuk ustad model ini sekarang mulai menjamur. Lagi-lagi karena media sudah bermetamorfosa dengan begitu banyak jenis. Maka problem pun mulai bermunculan, terutama kualitas keilmuan yang kadang dipertanyakan. Ustad media ini kan yang penting pinter dalam urusan public speaking. Soal kemampuan agama bisa dipoles.
Yang bingung akhirnya masyarakat awam. Mana ustad yang beneran, mana ustad yang karbitan. Mana yang bisa dijadikan panutan karena ilmunya mendalam, mana yang hanya polesan. Semua serba baur dan menimbulkan kepusingan.
Lalu, harus bagaimana? Sederhana saja, bijaklah dalam memilih dan memilah ustad!
Fattkhul Anas, Penulis adalah aktifis NU yang seneng ngopi, tinggal di Yogyakarta