Akhir-akhir ini netizen ramai memperbincangkan masalah hukum meminum air kencing unta. Diawali dari video yang diunggah di youtube menampilkan sosok UBN yang meminum air kencing dan susu unta kemudian menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. pernah memerintahkan sekelompok orang untuk meminum air kencing dan susu unta. Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ فَاجْتَوَوْا الْمَدِيْنَةَ، فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِلِقَاحٍ، وَأَنْ يَشْرَبُوْا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا، فَانْطَلَقُوْا فَلَمَّا صَحُّوْا قَتَلُوْا رَاعِيَ النَّبِيِّ، وَاسْتَاقُوْا النَّعَمَ، فَجَاءَ الْخَبَرُ فِيْ أَوَّلِ النَّهَارِ، فَبَعَثَ فِيْ آثَارِهِمْ، فَلَمَّا ارْتَفَعَ النَّهَارُ جِيْئَ بِهِمْ، فَأَمَرَ فَقَطَعَ أَيْدِيَهُمْ وَأَرْجُلَهُمْ وَسُمِرَتْ أَعْيُنُهُمْ وَأُلْقُوْا فِيْ الْحَرَّةِ يَسْتَسْقُوْنَ فَلَا يُسْقَوْنَ، الحديث. (رواه البخاري)
Dari Anas ra. berkata: Sekelompok orang datang dari Suku ‘Ukl atau ‘Urainah, lalu mereka merasa tidak nyaman di Madinah (hingga sakit). Kemudian Nabi Muhammad saw. menyuruh mereka untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya, lalu mereka pergi menuju kandang unta. Ketika sudah sembuh, mereka membunuh penggembala unta Nabi saw. dan membawa kabur unta-unta tersebut. Kemudian kabar tersebut datang kepada Nabi saw. menjelang siang, lalu beliau mengutus orang untuk menelusuri jejak mereka. Ketika matahari sudah meninggi, utusan tersebut datang membawa mereka. Kemudian Nabi saw. memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka, lalu mereka dibuang di padang pasir yang panas. Mereka meminta minum namun tidak diberi (minum). (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis yang berakhir tragis diatas, Nabi saw. menyuruh sekelompok orang tersebut untuk meminum air kencing dan susu unta. Hal inilah yang sengaja dipraktekkan oleh UBN, mencampur air kencing dan susu unta kemudian meminumnya. Berdasarkan fakta tersebut, banyak yang merespon tentang bagaimana cara memahami dan mengamalkan substansi suatu hadis.
Pemahaman terhadap teks hadis merupakan salah satu aspek yang harus menjadi perhatian, disamping juga mengetahui bagaimana keorisinilan hadis untuk dapat diamalkan. Selain itu, perlu adanya konfirmasi terhadap literatur syarah (penjelas) suatu hadis apakah bisa diamalkan atau tidak.
Dalam Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Batthal menjelaskan bahwa terdapat dua pendapat yang merespon hadis tersebut. Pertama, air kencing unta tersebut dihukumi suci menurut Atha’, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Sirin, Malik bin Anas, dan lain sebagainya. Kelompok yang pertama ini berpendapat bahwa hadis tersebut menunjukkan tentang bolehnya meminum air kencing dan memposisikannya seperti air susu. Mereka menganggap bahwa tidak mungkin Nabi saw. memerintahkan meminum air kencing unta apabila memang dihukumi najis. Kedua, air kencing unta tersebut dihukumi najis menurut Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Hammad, dan lain sebagainya. Kelompok yang kedua ini berpendapat bahwa air kencing dihukumi najis dan―berdasarkan hadis tersebut―hanya boleh diminum bagi orang yang sakit.
Selanjutnya, mengamalkan suatu hadis juga perlu dikonfirmasi konteks yang melatarbelakanginya, syari’at pengamalannya, maupun tujuan yang menyertainya. Lebih lanjut, dalam kitab Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah, Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan tentang tiga prinsip dasar dalam memahami dan mengamalkan suatu hadis, yaitu sebagai berikut:
- Meneliti dengan seksama kesahihan hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang kredibel.
- Memastikan bahwa teks tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis lainnya yang lebih kuat kedudukannya.
- Memahami dengan benar teks-teks hadis yang berasal dari Nabi saw sesuai dengan makna tekstual, kontekstual, serta sebab munculnya hadis tersebut.
Berdasarkan poin pertama, hadis tentang air kencing unta tersebut memang shahih, mengingat diriwayatkan―setidaknya―dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim―yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya.
Berdasarkan poin kedua, hadis tersebut tampak bertentangan dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi sesuatu yang najis dan menjijikkan. Dalam Ma’ayir al-Halal wa al-Haram, Ali Mustafa Yaqub mengelompokkan air kencing ke dalam kategori sesuatu yang najis dan menjijikkan, bahkan term menjijikkan terkadang bisa dimaknai dengan najis. Selain itu, meminum air kencing juga dianggap mengkonsumsi sesuatu yang najis dan menjijikkan.
Berdasarkan poin ketiga, hadis tersebut harus dimaknai tidak hanya secara tekstual, melainkan juga secara kontekstual serta aspek-aspek yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Aspek munculnya kebolehan minum air kencing unta dalam hadis tersebut disebabkan kondisi darurat yang dialami oleh sekelompok orang. Kondisi darurat adalah ketika terjadi suatu hal yang mengancam jiwa dan keselamatan. Apabila hanya sekedar sakit saja, maka belum bisa diklaim sebagai kondisi darurat. Perlu diperiksa kembali oleh ahli kesehatan apakah sakit tersebut mengancam jiwa dan keselamatan seseorang.
Secara kontekstual, Yusuf al-Qaradhawi mengkritik banyak orang yang keliru memahami hadis dengan mencampuradukkan antara sarana dan tujuan. Jika memang air kencing unta diklaim sebagai bagian dari ath-thib an-nabawi, maka hal tersebut seharusnya lebih cenderung dipahami sebagai sarana saja. Lebih lanjut, setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya, bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat manusia dengan sarananya.
Berdasarkan kontekstualisasi diatas, perkembangan obat-obatan dari masa ke masa mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Konteks air kencing unta tersebut kurang relevan jika diterapkan sebagai obat-obatan pada jaman sekarang, mengingat industri farmasi sudah berhasil mengembangkan obat-obatan yang jauh dari unsur najis dan menjijikkan. Oleh karenanya, tujuan utama dari pengobatan adalah agar tubuh kembali sehat seperti sedia kala, bukan sekedar terpaku pada jenis pengobatannya saja.