Salah satu ayat al-Quran yang seringkali dikutip oleh sebagian saudara kita sesama umat Islam untuk menegaskan eksklusifitas antar sesama Muslim adalah Q.S al-Fath [48] ayat 29 yang bunyinya sebagai berikut:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.
Yang perlu digaris bawahi adalah pada kalimat asyidda’u ‘ala al-kuffar ruhama’ bainahum yang secara harfiah dapat diterjemahkan dengan bersikap tegas kepada non-Muslim dan kasih sayang di antara orang Muslim.
Dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita karya Abdurrahman Wahid, Gus Dur—sapaan akrab Abdurrahman Wahid—menceritakan di salah satu bagian buku tersebut bahwa ia pernah satu panel dengan Yusril Ihza Mahendra di suatu diskusi bedah buku di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Pada acara tersebut, Gus Dur dikritik oleh Yusril karena dianggap terlalu dekat dengan Non-Muslim. Yusril melandaskan kritiknya itu dengan mengutip ayat yang sedang kita bahas disini.
Bagi Gus Dur, Yusril kurang tepat memahami ayat tersebut. Menurutnya, kafir dalam ayat tersebut bukan dialamatkan untuk seluruh non-Muslim. Akan tetapi sebab turunnya adalah dalam konteks pengusiran umat Muslim oleh orang-orang kafir Quraisy di Mekah.
Tulisan ini tidak hendak mendiskusikan perdebatan antara Gus Dur dan Yusril. Terlebih siapa yang benar di antara mereka berdua dalam memahami ayat al-Quran. Baik Gus Dur dan Yusril kita hormati sebagai tokoh Nasional yang kiprahnya tidak diragukan lagi untuk bangsa ini.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa terjadi perbedaan penafsiran di antara keduanya? Padahal ayat al-Quran adalah diakui oleh keduanya sebagai sumber pedoman hidup. Pertanyaan inilah yang kemudian akan dieksplorasi lebih jauh oleh penulis.
Dalam kajian ilmu tafsir kontemporer terdapat konsep yang disebut dengan “pra-pemahaman”. Pra pemahaman adalah sebuah konsep yang meniscayakan pemahaman seseorang terhadap Kitab Suci, dalam hal ini adalah al-Quran, sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu berinteraksi dan membentuk pola pikirnya. Pra-pemahaman merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan latar belakang seseroang—pendidikan, pengalaman hidup dan lingkungan sosial—akan ikut andil dalam pemahamannya atas al-Quran.
Oleh sebab itu, para ulama semisal Imam Badruddin al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran dan juga Imam Jalaludin al-Suyuthi dengan al-Itqan fi Ulum al-Quran mengajukan banyak sekali prasyarat bagi seseorang ketika hendak menafsirkan al-Quran. Di antaranya adalah penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, penguasaan kaidah-kaidah tafsir termasuk ilmu sabab nuzul, muhkam mutasyabih, kemudian kaidah ushul dan ilmu-ilmu lain. Sehingga, lagi lagi ditekankan disini bahwa tidak cukup ntuk menyimpulkan penafsiran atas ayat al-Quran hanya berlandaskan pada terjemahannya semata.
Kembali pada pertanyaan yang diajukan tadi, jawabannya jelas adalah karena latar belakang keilmuan dan lingkungan sosial keduanya amat berbeda. Gus Dur, selaku Kiai NU dan mantan ketua umum PBNU, bergaul dengan lintas lapisan masyarakat. Ia tidak hanya berbaur dengan warga Pesantren dan nahdliyyin akar rumput yang mayoritas orang desa, akan tetapi juga sebagai mantan Presiden juga bergaul dengan semua rakyatnya tanpa memandang agamanya. Oleh karenanya, bagi Gus Dur, ayat mengenai bertindak tegas terhadap orang kafir tidak tepat untuk digeneralisir pemaknaannya.
Ternyata pendapat Gus Dur dapat ditemukan pula dalam kitab tafsir. Adalah Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam tafsir Mahasin al-Ta’wil yang menjelaskan bahwa kafir yang dimaksudkan di atas adalah kafir yang memerangi umat Islam dan terang-terangan menghalangi dakwah.
Lebih lebih, Rasulullah saw pun amat baik terhadap non-Muslim. Sebagaimana diriwayatan oleh Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari bahwasanya ketika ia bersama para sahabat berkumpul dengan Rasulullah saw, lewat ke hadapan mereka Thufail bin Amr al-Dusi, seorang kafir Quraisy. Seketika para sahabat berkata, “ Sungguh celaka, berdosa dan binasa al- Dusi.”
Rasulullah saw meresponnya dengan do’a, “Allahumma Ihdi Dausan.” Ya Allah, berilah petunjuk untuk Daus.