Ini soal doa Kiai kita yang digugat, diejek dan direndahkan sesuai kepentingan. Kasus kedua setelah sebelumnya terjadi kasus serupa pada Kiai kita yang lain dalam doa PILPRES.
Penggunaan ‘alayka dalam redaksi doa, misalnya, “Allâhumma ‘alayka bi Fulan”, wajarnya memang berkonotasi negatif; mendoakan keburukan; laknatan. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Ini tidak bisa disangkal.
Tetapi, mengejek seorang Ulama yang menggunakan redaksi doa serupa namun tidak semestinya adalah perbuatan yang tidak mencerminkan keadaban.
Terhadap ulama/guru/orang tua yang secara zahir terlihat tergelincir, sikap-beradab kita adalah mencari alternatif pembenaran meskipun jauh (ta’wil ba’id). Terkait penggunaan redaksi doa oleh Kiai kita, misalnya, jika kita anggap salah menurut tradisi penggunaannya, takwilkan saja dengan pendekatan-pendekatan lainnya, mulai dari bahasa hingga ‘rasa’. Pasti bisa. Bahkan jika dari 70 potensi alasan pembenaran yang ada kita tidak menemukan satu alasan saja, jangan salahkan kecuali diri kita sendiri yang tidak pandai menemukannya.
Dari sisi bahasa sudah banyak teman-teman saya melakukan penakwilan. Dari sisi ‘rasa’, saya mau nyoba ya (itu pun jika ketergelinciran-zahir doa Kiai kita itu disepakati).
Begini. Suasana saat Kiai kita mendoakan negeri tercinta ini tentu khidmat. Saya yang cuma nonton videonya saja merasakannya. Nah, waktu itu mungkin saja beliau tenggelam dalam khusyuk dengan berbagai rasa yang beraduk; harap-cemas, suka-duka, dan seterusnya.
Dalam kondisi seperti itu, mungkin saja lisan tiba-tiba sempit untuk mengutarakan keluasan rasa (tanpa sedikit pun meragukan kehati-hatian Kiai kita). Kasusnya serupa yang diriwayatkan Imam Muslim tentang seorang yang mengatakan “Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhan-Mu” (اللهم أنت عبدي وأنا ربك). Kata-kata itu dia utarakan dalam kondisi rasa yang terlampau senang (من شدة الفرح), di luar kontrol, sehingga tidak berkonsekuensi hukum apapun. Ucapannya tidak dihukumi, tapi kesyukurannya nyampe kepada-Nya.
Kita perlu sering-sering ingat, boleh jadi sefasih-fasihnya doa kita tak sejengkal pun melampaui segagap-gagapnya doa orang tua dan guru kita. Karena doa tidak semata kata, tapi rasa. Mohon maaf.