Al-Qur’an menyatakan:
ادع إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan “hikmah” dan nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl, [16]:125).
Melalui ayat ini Allah menyarankan atau memerintahkan kita bahwa jika kita ingin mengajak orang lain ke jalan Tuhan atau agar mengikut apa yang kita anggap benar dan baik, maka lakukan dengan tiga cara/metode. Yaitu dengan : “hikmah”, “mau’izhah Hasanah” dan “mujadalah billati hiya Ahsan”.
Kata “al-Hikmah”, bisa berarti “kebijaksanaan”, (bijaksana), atau “ilmu pengetahuan”, “pemikiran yang mendalam” atau “berpikir filosofis”.
Imam Nawawi menjelaskan makna kata ini (bil hikmah):
بنفاذ البصيرة وتهذيب النفس و تحقيق الحق
“bi Nafadz al-Bashirah wa Tahdzib al-Nafs wa Tahqiq al-Haqq wal-‘Amal bih”, (dengan ketajaman mata hati, kebeningan jiwa, dan menyatakan kebenaran).
Dari kata ini muncul kata : “al-Hakiim”. Ia sering diterjemahkan sebagai “filsuf”, atau “sufi”, “sang bijakbestari”.
Jadi mengajak dengan hikmah berarti mengajak dengan memggunakan ilmu pengetahuan dan kecerdasan intelektual, bukan dengan asal ngomong apalagi dengan “safsatah” (sofistik).
“Mau’izhah Hasanah” berarti menyampaikan nasehat, pesan, usul atau menawarkan pandangan yang baik, dengan lembut, sopan dan santun. Bukan dengan cara yang kasar, memaksa apalagi marah-marah atau menyalah-nyalahkan. Cara yg disebut akhir ini malahan melahirkan antipati dan phobia.
Ada banyak ayat al-Quran yang menyerukan ajakan dengan santun dan lembut di atas. Ketika nabi Musa dan nabi Harus hendak mengajak Firaun ke jalan Allah, ke jalan Islam atau ke agama Tauhid, Allah mengatakan :
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS Thaahaa, 43-44).
Al-Qur’an juga menyatakan :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Jika saja kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka untuk menyelesaikan urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka pasrahkan kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang pasrah kepada-Nya”. (Q.S. Ali Imran, 159).
“Mujadalah” secara literal biasanya diartikan berdebat. Akan tetapi “mujadalah billati hiya Ahsan” maksudnya adalah berdiskusi dan mengajak bertukar pikiran dengan pikiran yang jernih dan jujur, guna mencari kebenaran. Jadi bukan dengan cara menang-menangan, debat kusir dan marah-marah.
قال الحافظ ابن كثير-رحمه الله-: (من احتاج منهم إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب
Ibnu Katsir mengatakan : jika ingin berdebat, maka hendaklah dengan cara yang baik, lembut, santun dan kata-kata yang baik.