Di antara sekian suku bangsa yang memiliki tradisi anjangsana antar keluarga calon besan, adalah bangsa Indonesia. Tidak hanya lamaran (khitbah), masih ada acara pra-nikah yang harus dilakukan.
Di antaranya tunangan atau pengikatan dengan simbol tukar cincin, seserahan berwujud hadiah dan biaya perkawinan, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam Kompilasi Hukum Islam tidak diatur ketentuan adat pra-nikah termasuk masalah mahar karena pertimbangan pluralisme adat istiadat pra-nikah di Indonesia.
Persoalannya ketika dalam kompilasi hukum Islam tidak ada aturan, –sementara terdapat kasus raibnya calon istri padahal ia telah menerima barang-barang hantaran sebelum akad nikah– maka apakah calon suami berhak menariknya kembali? Atau bahkan apa dibolehkan meminta dikembalikan berlipat-lipat dari benda yang diserahkan sebagai denda pembatalan pertunangan?
Bisa jadi ada yang beranggapan tidak etis menarik kembali pemberian, sebab tak ubahnya menjilat ludah sendiri. Apalagi kalau raibnya calon istri nyata-nyata musibah, bukan sengaja melarikan diri.
Akan tetapi karena masalah ini berhubungan dengan kepemilikan (tamlikul mal) yang dijamin secara hukum, maka penting dipahami kedudukan hukumnya: Apakah barang hantaran itu menjadi hibah dan pemberian atau hanya barang titipan? Jika terang-terangan disebut sebagai barang yang dititipkan untuk digunakan di waktu kemudian maka benda itu statusnya titipan. Akan tetapi biasanya saat penyerahan tidak ada kejelasan pernyataan.
Dalam kasus seperti ini, kaidah dasar yang digunakan adalah bahwa secara zahir orang yang menguasai harta, dialah yang lebih berhak. Artinya keluarga calon istri peluangnya lebih besar dalam status kepemilikan harta benda itu karena ketidakjelasan sewaktu penyerahan. Oleh sebab itu, selama pihak laki-laki tidak bisa menunjukkan bukti bahwa harta itu semata titipan maka harta itu menjadi milik keluarga calon istri.
Terlebih jika keluarga calon istri bersumpah menyatakan bahwa dirinya menerima hibah dan pemberian dari pihak laki-laki atau menyangkal dititipkan barang maka pegakuannya itu memperkuat haknya atas barang tersebut.
Oleh karenanya, untuk menghindari timbulnya masalah seperti itu, seyogyanya pihak laki-laki pada saat menyerahkan barang agar menjelaskan secara rinci. Seperti ini barang hadiah untuk calon istri; ini barang yang dititipkan untuk dipergunakan saat pesta perkawinan; ini modal barang calon suami untuk membina keluarga; ini barang mahar perkawinan; dll.
Jika pihak calon suami merasa malu menjelaskan secara rinci tujuan barang yang diserahkan maka seharusnya malu pula jika dirinya menarik kembali barang hantaran.
Wallahu A’lam.