Bunuh diri merupakan tema kompleks yang bermuara pada piranti lunak bernama “nyinyir”, atau secara kasar bisa dilafalkan dengan “olok-olok”. Dari kisah ke kisah sampai bukti termaktub, “olok-olok” secara konsisten terselip sebagai arsenal penggempur kemapanan mental yang ampuh. Seperti mendobrak pintu rumah kuno yang kelihatannya kukuh namun ringkih. Sudah begitu, puing-puing kehancurannya dimaklumi oleh krisis-krisis sebagai alasan melaksanakan hal tersebut.
Menilik statistik WHO, angka bunuh diri laki-laki (40%) lebih tinggi daripada perempuan (31%). Mengapa laki-laki yang dianggap berwatak kuat, bisa diandalkan lebih rentan bunuh diri? Saya menduga, ini hanya soal ekspektasi bentuk maskulinitas ideal yang menjadi blueprint bagi sosok laki-laki. Pandangan tradisional misalnya, menyebut mereka sebagai satu dari jenis populasi yang kuat, secara emosional stabil, dapat diandalkan, dan menjadi tulang punggung keluarga.
Mengomentari itu, Islam memandang persamaan hak antara pria dan wanita tidaklah begitu berarti. Serupa dengan mempersamakan bunga mawar dan bunga yasmin, yang memiliki wangi, warna dan bentuk keindahan tersendiri. Islam memandang peranan mereka bukan sebagai sesuatu yang bersaing melainkan berfungsi komplementer dari tugas dan fungsi tersendiri sesuai sifat dan pembawaan yang berbeda-beda. Sedihnya, ditengah arus feminisme, ternyata ia belum mampu berbicara banyak untuk menetralisir pandangan konvensional atas ide maskulinitas ideal tersebut.
Faktor yang sedikit mengubah pandangan tersebut adalah lingkungan. Keluarga di perkotaan memiliki struktur keluarga yang lebih ramping daripada di pedesaan. Di desa, keluarga adalah sebuah unit ekonomi dan pekerjaan yang dilakukan bersama dengan keluarga yang lebih besar atau dengan kerabat sesuku, kalau keluarga itu beruntung dan mujur. Kalau tidak ia akan menjadi seperti Mbok Jah dalam cerpen Umar Kayam. Nelangsa.
Pengalaman seperti itu persis dialami oleh Ahmad Farid (44) pekerja las besi yang menjadi korban PHK pandemi Covid-19 di Gresik. Sebelum dia di-PHK, istrinya yang seorang perawat magang di Puskesmas Desa, beberapa bulan belakangan sedang bertahan melawan sakit di tubuhnya. Sumber rezeki keluarga itu sedang diamputasi sejadi-jadinya. Lebih parah lagi, mertua korban, menimpali nasib sial itu dengan olok-olok, sampai-sampai kesehatan mentalnya terganggu dan ia benar-benar memutuskan bunuh diri dengan melompat ke Sungai Bengawan Solo dari atas jembatan Sembayat (25/07/2020).
Kejadian memilukan ini sungguh di luar dugaan. Malam sebelum kejadian, dia sempat menulis status di Whatssap bernada depresi yang berbunyi, “Kenapa saya masih diberi hidup?” menjadi bagian dari suicidal thoughts yang tak terkendali hingga memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Jadilah peristiwa itu sebagai “bunuh diri kedua” yang sempat menggegerkan orang-orang di dua kecamatan: Bungah dan Manyar. Di mana upaya “bunuh diri pertama” di tempat yang sama, tubuhnya hingga kini tak kunjung ditemukan. Peristiwa 5 bulan silam itu juga diiringi dengan olok-olok terhadap pelaku dengan sebutan “ndlodhok” oleh sebagian masyarakat dengan tanpa rasa tanggung jawab sama sekali.
Lantas, apakah peristiwa yang berulang ini belum juga menampar rasa kemanusiaan kita? Atau justru membiarkan kultur olok-olok tadi?
Agama Sebagai Ruang Intim Manusia
Dalam artikel terdahulu berjudul Bunuh Diri dan Hijrah Sosial, saya berusaha mengedukasi upaya preventif untuk memperbarui komitmen moral masyarakat dengan menyediakan atap pelindung sebagai wahana menemukan rasa realitas dan jati diri individu di masyarakat.
Syed Hossen Nasr (1966) berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk theomorfis, yang bersimbah aura kesucian tapi tak terlepas dari kesalahan. Menjadi kepanjangan dari itu, hijrah sosial berfungsi sebagai elan kolaboratif antara manusia dengan lingkungan untuk merangsang vitalitas spiritual dan intelektual manusia.
Namun, titik pelik permasalahannya secara garis besar bergeser kepada tekstur kultur masyarakat yang menyimpan pemantik arsenal olok-olok tadi yang sewaktu-waktu bisa saja tersulut. Lantas, lompatan atau “hijrah” kultural seperti apa yang berguna mempererat komitmen moral sekaligus mengentaskan kemiskinan spiritual masyarakat tersebut?
Dari pertanyaan itu, sekilas pikiran kita terbawa pada keharusan untuk kembali mendekati agama. Sebagai katalisator, ritus agama sering dilampauhi guna memperkaya vitalitas spiritual pemeluknya. Peran agama sebagai atap pelindung moral diambil fungsinya sebagai “ruang intim” manusia untuk mendekati iman yang paripurna.
Sebelum itu, perlu diutarakan bahwasannya agama-agama besar dunia melarang bunuh diri. Konsep neraka dan kehidupan pasca kematian di banyak nash agama-agama sangat dipengaruhi oleh prinsip pembalasan amal. Dalam Islam larangan tersebut termaktub dalam al-Quran (2.51; 4.29; 4.69; 18.5) dan hadis Kitabu as-Sittah, yang mengisahkan Nabi Muhammad enggan mensholatkan jenazah bunuh diri.
Meski riwayat dari at-Tirmidzi menyebutkan setiap muslim berhak atas shalat setelah kematiannya, sekalipun ia meninggal sebab bunuh diri. Jalan tengah yang kemudian ditempuh adalah shalat jenazah yang bernilai fardu kifayah diselenggarakan setidak-tidaknya minimal 6 orang.
Secara tersirat, bagi kultur yang menekan dan membuat individu memutuskan bunuh diri berlaku juga balasan yang setimpal, baik sanksi agama ataupun sosial. Olok-olok yang apabila meminjam bahasa al-Qur’an dilafalkan dengan wala taqtulu anfusakum (dan janganlah kalian saling membunuh satu sama lain).
Seperti seperti mata uang, pencegahan itu berlaku dalam dua sisi, korban (individu) dan pelaku (kultur). Indikator tekanan kultur itu dapat dicerminkan dari pendapat Al Farabi yang mengafirmasi filsafat Plato dalam Plato’s Apology and Phaedo perihal apakah kematian lebih disukai daripada kehidupan di bawah martabat manusia.
Daripada itu, Franz Rosenthal mengistilahkannya dengan bunuh diri spiritual spiritual suicide atau jihad al ashgar dalam Man versus Society in Medieval Islam (2014). Otoritas lain yang berupaya menindas keinginan nafsu hewani yang membawa mereka menuju kehancuran, melawan kematian nurani yang berimbas pada kesedihan dan mencela diri sendiri. Karena itu, bunuh diri spiritual menyadarkan manusia dalam menempuh kesempurnaan spiritual dan intelektual.
Merayakan Iman
Bagaimanapun, terjadinya berbagai kasus bunuh diri adalah dan tidak akan bisa dihindari. Bunuh diri lebih parah dari pembunuhan. Sebagai itikad menyegarkan iman dengan menjaga pola keseimbangan antara spiritualitas dan realitas, Gus Dur mengatakan bahwa “guru spiritualitas saya adalah realitas dan guru realitas saya adalah spiritual”.
Gus Dur menunjukkan keluasan rahmat Allah—dalam bahasa al-Qur’an; fatushbihu al ardhu al muhdhorroh (menjadikan bumi kehijau-hijauan). Dan bahwa nilai dan perilaku sosial yang berlaku di masyarakat cenderung mempengaruhi kondisi spiritualitas manusia.
Manusia dibayangkan sebagai penunggang kuda yang berpacu sambil mengayunkan pedang keadilan dan menjaga keseimbangan. Simbolisme itu melambangkan aspek spiritual rasa damai yang diperoleh dari aktifitas dan bukan dari pasifitas. Dari aktifitas itu kita berusaha mengenali arah dan atau orientasi realitas, menghargai setiap kehadiran individu, merangsang ketahanan kultural, dan membantu merekonstruksi diri manusia menemukan kualitas hidup yang bertamaddun.
Alangkah baiknya kita peringati dengan menginsyafi kriteria nilai manusiawi yang berfungsi menciptakan masyarakat yang lentur, tidak bersifat kuantitatif serta tidak meletakkan kualitas manusia di bawah harta kekayaan seperti yang sering kita jumpai saat ini. Sembari mengaburkan keyakinan dalam menilai keterpurukan orang lain sebagai murni kesalahannya sendiri. Karena hal ini sama dengan menghardik keruhnya sumber air sementara kita menebang pohon-pohon penyangga di sekelilingnya.
Sebagai pungkasan, saya ingin mengutip Jose Saramago di salah satu novel terbaiknya, The Year of the Death of Ricardo Reis (1991), “But loneliness is not living alone, loneliness is the inabilitiy to keep someone or something within us company”.
*Afrizal Qosim Sholeh, Esais dan Pegiat di Lingkar Studi Sosiologi Agama