Skripturalisme adalah penafsiran yang hendak mencerabut nash, baik ayat Quran maupun hadits, dari konteksnya. Istilah lainnya penafsiran yang literal, leterlek, harfiyah, dlsb. Skripturalisme ini bahaya, sebab jika diterapkan ke setiap nash, maka Quran bisa kacau, bahkan bertentangan satu sama lain.
Quran bukan “konstitusi” yang dibuat dengan model pasal per pasal. Quran itu jumble-mumble: bahasan dan temanya loncat-loncat. Sedikit bicara hukum. Kebanyakan tentang kisah. Ayat yang bicara hukum hanya sekitar duaratusan—ini boleh jadi berarti bahwa Quran hendak mengajari pembacanya untuk lebih banyak memahami, ketimbang menghakimi.
Bahasa Quran pun banyak yang bersifat majazi, kiasan. Sedikit yang muhkamât (bermakna terang), kebanyakan mutasyabihât (bermakna ambigu). Maka dari itu, mengambil hukum dari Quran tanpa tahu konteks, apalagi cuma dari terjemahan, rentan mencederai nilai-nilai Qurani.
Kebanyakan ayat Quran bersifat lokal: sebagai respon terhadap apa yang menimpa Nabi dalam dakwahnya. Tidak banyak ayat Quran yang bersifat universal, yang melintasi batas ruang dan waktu.
Contoh dari bahaya skripturalisme adalah apa yang terjadi pada film Fitna (2008) bikinan Geert Wilders. Film Fitna itu menukil ayat-ayat yang bernada “bunuhlah mereka di manapun kalian temui mereka” (faqtulûhum haitsu wajadtumûhum atau dalam redaksi ayat lain tsaqiftumûhum). Ayat dengan redaksi yang mirip dengan itu, antara lain, ada di QS 2:191, 4:89, 4:91, dll.
Bila ayat itu ditarik dari konteksnya, maka bahaya: Islam bisa disimpulkan sebagai agama “teroris” sebab mengajarkan pembunuhan terhadap siapa saja yang berbeda. Kaum skripturalis, tanpa disadari, ikut mengonfirmasi model penafsiran ala Geert Wilders itu.
Padahal, konteksnya sangat perlu dilihat. QS 2:191, misalnya, merespon kaum kafir Mekkah yang mengusir Muslim dari tanah air mereka. QS 4:89 & 4:91 menanggapi Munafiq dan Ahlul-Kitab Madinah yang melanggar kontrak untuk saling melindungi saat musuh menyerang.
Pelanggaran kontrak Piagam Madinah paling parah terjadi di Perang Khandaq. Umat Islam dikepung koalisi banyak “partai” (ahzâb) dari luar, dan ditusuk dari belakang oleh orang dalam (Munafiqin & sebagian Ahlul-Kitab). Maka pada mereka yang berkhianat pada janji itu, muncul perintah: “bunuhlah!” Tentu ayat ini bersifat lokal, tak bisa semena-mena dibawa ke zaman sekarang.
Contoh lainnya, misal, QS 2:120. “Walan tardha ‘anka al-yahûd wala an-nashârâ hatta tattabi’a millatahum” (Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai kamu mengikuti agama mereka). Ayat ini banyak ditafsiri secara skripturalis di masa kini. Sehingga yang muncul selalu adalah kecurigaan: seolah tak ada niat baik sama sekali dari Yahudi-Nasrani saat bergaul dengan Muslim. Ayat ini laris untuk menjustifikasi teori konspirasi (yahudi, zionis, freemason, illuminati, dsb.).
Bila kita buka tafsir, misalnya, di tafsirnya Ibn ‘Abbas, jelas diterangkan bahwa Yahudi di situ adalah Yahudi Madinah. Sedangkan Nasraninya adalah Nasrani Najran. Itu tafsiran Ibn ‘Abbas, sahabat ahli Quran yang pernah didoakan Nabi dengan “Allhumma faqqihhu fid-dîn wa ‘allimhu at-ta’wîl” (Ya Allah, fahamkan dia dalam agama, dan ajari dia tentang takwil).
Ini berarti QS 2:120 itu berlaku spesifik: sasarannya adalah Yahudi-Madinah dan Nasrani-Najran. Ia ayat lokal, bukan ayat universal.
Konteks sosial Madinah sangat perlu dicermati. Kita tahu, Nabi Muhammad dan Muhajirin adalah pendatang di Madinah. Di tahun pertama di Madinah, jumlah umat Islam masih minoritas: 1500 orang. Sedangkan Yahudi ada 4000-an orang. Beberapa kebun kurma yang tadinya miliki Yahudi berpindah ketangan orang Islam. Di sini ada ketegangan antara orang pribumi dan orang pendatang. Kondisi psikis ini disinyalir ikut bermain di balik kebencian Yahudi-Madinah kepada umat Islam.
Maka benar ayat Quran saat mengatakan: “latajidanna asyaddan-nâs ‘adâwatan lilladzîna âmanû al-yahûd.” “Sungguh akan Engkau temui manusia yang paling keras permusuhannya pada orang beriman adalah Yahudi.” (QS 5:82) Ayat itu, sekali lagi, berlaku untuk Yahudi Madinah, yang mengalami kondisi psikis pribumi yang ditekan pendatang.
Dalam catatan sejarah, Islam pernah bekerjasama dengan Yahudi. Di pengantar buku “Muhammad” karya Karen Armstrong, diterangkan bahwa saat di Andalusia, justru Yahudi sangat kooperatif dengan umat Islam untuk melawan Kristen. Yahudi di Andalusia, yang suka saat diasosiasikan dengan orang Arab ketimbang Eropa, kata Karen Armstrong, waktu itu disebut Yahudi-mozarabs.
Begitulah, hubungan Islam-Kristen-Yahudi itu fluktuatif, tergantung konteks sosial dan kepentingan politis. Tidak bisa digeneralisasi dengan QS 2:120 itu bahwa setiap Yahudi dan Nasrani pasti menyimpan benci.
Walhasil, skripturalisme itu bisa jadi bumerang: rentan balik menyerang pemakai metodenya. Tidak setiap orang mengacu pada Al-Quran dan hadis lantas menghasilkan kesimpulan yang sama. Jangankan tak melihat konteks, hanya dengan melihat teks saja, tiap orang merujuk Quran, besar kemungkinannya untuk menghasilkan tafsiran yang berbeda.