Beberapa selenting mengatakan, “jika anda membawa agama ke ranah politik, maka anda merusak politik, dan jika anda membawa politik ke ranah agama, maka anda mengotori agama”. Dikotomi ini meletakkan agama sebagai hal yang sakral, transenden, suci, dan sebagainya. Sebaliknya politik dimasukkan sebagai praktik yang kotor, penuh tipu daya, dan merusak.
Melalui kerangka ini, buku Islam & Politik: Perilaku Politik Berkeadaban dengan tegas mengatakan, “Agama dan politik itu berkelindan. Keduanya saling melengkapi untuk mewujudkan kesejahteraan dunia dan kebahagiaan ukhrawi”. M. Quraish Shihab, sang penulis buku, melalui buku ini, mengingatkan bahwa politik saat ini sudah mengalami distorsi dan pergeseran makna yang membuat orang memandang politik sebagai sesuatu yang negatif.
Peringatan tersebut dibarengi dengan redefinisi politik dengan term siyasah dan mengkorelasikan siyasah dengan hikmah. Melalui kajian-kajian literatur Arab yang kuat, Quraish Shihab akhirnya mensistesiskan satu terminologi kuat bahwa politik adalah instrumen untuk mewujudkan manusia yang berkeadaban.
Sang penulis buku memang mencanangkan buku ini untuk menyambut Pemilihan Umum 2024. Sebagai tokoh tafsir dan studi Al-Qur’an di Indonesia, Quraish Shihab memberikan sentuhan interpretasi kontekstual ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengurai relasi Islam dan politik sambil berusaha menjelaskan tentang perubahan dinamika politik yang merupakan keniscayaan tanpa mengubah prinsip-prinsip ajaran agama.
Buku ini juga mengungkap bahwa keputusan-keputusan keagamaan dalam Islam justru hanya bisa diselesaikan lewat jalur politik. Misalnya adalah keputusan mushaf Utsmani yang ditetapkan pada zaman pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Mushaf Utsmani adalah jawaban atas ragam bacaan Al-Qur’an yang justru membuat umat Muslim yang saat itu sudah sangat banyak menjadi bingung.
Buku ini dibuka dengan uraian mendalam soal politik Nabi dan para Sahabatnya. Bahasan ini berfungsi untuk membangun otoritas keagamaan supaya argumentasi Islam dan politik memiliki landasan kuat dan teruji validitasnya, bahwa Rasulullah dan para Sahabat memberi ruang yang sama terhadap agama dan politik. Otoritas keagamaan ini, menurut Ismail Fajri Alatas penting untuk membangun kepercayaan publik (umat) terhadap sebuah argumentasi relijius. Dalam Islam, generasi Nabi dan para sahabat adalah puncak dari otoritas keagamaan terutama dalam aspek sosial politik.
Buku ini secara eksplisit membincang demokrasi sebagai salah satu anasir sistem politik modern. Quraish Shihab menyinggung demokrasi sebagai mekanisme politik yang membuka belenggu tirani di era negara bangsa. Mengutip cendekiawan Mesir kenamaan, Abbas Mahmud Al-Aqqad, ide demokrasi dibentuk pertama kali dalam sejarah dunia oleh Islam melalui tiga unsur pokok, yaitu persamaan, tanggung jawab individu, dan tegaknya hukum berdasarkan musyawarah dan atas dasar kesetaraan. Tiga elemen ini yang akhirnya membentuk apa yang disebut masyarakat madani.
Quraish Shihab kemudian membredel konsep-konsep itu secara merata dan komprehensif dengan nuansa relijius melalui banyak kutipan ayat Al-Qur’an, hadis-hadis, dan qaul ulama. Yang menarik dari buku ini adalah, sang penulis tidak sedang mendiskusikan apa lebih penting dari apa. Islam dan politik diasumsikan memiliki konstribusi yang setara untuk membentuk masyarakat yang berkeadaban. Peran sakral agama tetap digunakan sebagai koridor moral dan, dalam bahasa Quraish Shihab, pelepas gersang dengan tetap menjalankan politik sebagai organisasi yang mengatur lalu lintas kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Adapun topik yang bersinggungan dengan Pemilu 2024, buku ini membahas tentang kampanye. Para pakar hukum Islam masa lalu mengharamkan kampanye karena nabi melarang seseorang meminta jabatan. Namun Quraish Shihab melakukan kontekstualisasi dengan mengutip pendapat ulama yang membolehkan kampanye karena pemilih membutuhkan informasi sebagai pertimbangan untuk menentukan pemimpin yang dikehendaki.
Selanjutnya, buku ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, mengalir, dan mencerahkan. Quraish Shihab dalam bukunya menjelaskan istilah kunci dalam politik dan pemerintahan yang selama ini masuk wilayah ikhtilaf, seperti khilafah, khalifah, dan siyasah syar’iyyah. Penjelasan-penjelasan ini jarang ditemukan dalam kajian-kajian keislaman mainstream sehingga menjadi nilai tambah dalam buku.
Penjelasan term yang ikhtilaf ini dijelaskan secara konsisten oleh Quraish Shihab dalam karya-karyanya yang lain seperti Islam & Kebangsaan, Khilafah: Peran Manusia di Bumi, Toleransi: Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman, dan yang lainnya. Karya-karyanya ini bersinggungan dengan topik agama, politik, dan sosial.
Pesan buku ini relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia. Politik kotor yang sering ditampilkan di media mainstream terjadi karena distorsi dan dipisahkan dari akhlak. Belum lagi persoalan diksi khilafah dan khalifah sudah dimonopoli oleh kelompok radikal terorisme di media sosial dengan membenturkannya dengan demokrasi dan politik itu sendiri. Dalam pengertian ini, buku Islam & Politik dapat menjadi angin segar bagi narasi-narasi eksklusif dan radikal yang bersliweran di media sosial yang menjadi ancaman demokrasi terutama menjelang Pemilu 2024.
Melalui buku ini, Quraish Shihab mengatakan bahwa pemerintahan itu penting, tapi bagaimana bentuk pemerintahan itu wilayah ijtihad yang manusia punya kewenangan untuk menentukan apa bentuk negaranya, siapa nama pimpinannya, dan bagaimana mekanisme pemilihannya. Penjelasan ini dibarengi dengan uraian pergeseran pengertian khilafah dari era Abu Bakar hingga Muawiyah dan seterusnya.
Akhirnya, Buku Agama & Politik dapat memberikan pandangan bagi masyarakat tentang pentingnya partisipasi politik karena praktik politik dalam pandangan Islam adalah termasuk pengelolaan kebutuhan masyarakat untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Pun edukasi bahwa demokrasi dan sistem pemilu bukan praktik yang bertentangan dengan Islam. Justru khilafah di era pasca Nabi menggunakan semangat demokrasi untuk menjalankan roda politik kekuasaan.